Pendekar Wanita Baju Putih Chapter 20

NIC

Malam tiba! Giok Cu telah bersiap-siap. Sore tadi ia telah makan dan berpakaian serba ringkas. Seperti biasa pakaiannya berwarna putih. Dengan pedang terhunus di tangan kanan dan sabuk suteranya di tangan kiri tergulung dalam kepalannya, ia menanti dalam kamarnya.

Pada waktu menjelang tengah malam, guru silat she Kwa datang di atas genteng rumah penginapan itu. Tindakan kakinya terdengar oleh Giok Cu yang lalu loncat ke atas. “Lihiap, agaknya dia tidak datang, karena waktu sudah hampir tengah malam. Barangkali dia takut kepada Lihiap!” katanya senang:

“Waspadalah saja tuan Kwa.” Giok Cu memesan dan guru silat itu kembali ke tempat penjagaannya. Pada saat Giok Cu hendak loncat turun ke kamarnya, tiba-tiba dari jauh terdengar suara ketawa yang nyaring dan aneh. Sekejab kemudian suara ketawa itu telah datang dekat. Kini suara itu sangat menyeramkan hingga diam-diam Giok Cu terkejut ketika ia merasa betapa tubuhnya hampir limpung. Ia segera tetapkan hati dan semangat dengan kerahkan lweekangnya, karena ia tahu bahwa siluman itu tertawa sambil gunakan tenaga dalam yang sangat hebat. Sungguh lawan yang berat, pikirnya. Tapi ia tidak takut dan dengan penuh perhatian ia memandang ke arah dari mana suara itu datang.

Suara tertawa itu lalu disusul suara yang parau dan keras:

“Ha, ha, ha! Pek I Lihiap telah menunggu pada pinto?? Bagus. Kali ini kalau bisa dapatkan kau, pinto berjanji akan tinggalkan kota ini dan pindah ke kota lain. Ha, ha, ha!”

Suara itu telah terdengar nyata tapi orangnya belum tampak! Giok Cu memandang ke sana kemari dengan hati tegang. Pada saat itu bayangan tubuh yang tinggi besar datang dan menyambarnya! Giok Cu gunakan tipu loncat Koay-lion-hoa-sin atau Siluman naga jumpalitan untuk hindarkan diri dari tubrukan hebat itu, kemudian secepat kilat kedua tangannya bekerja, pedang di tangan kanan berkelebat menyambar leher bayangan ibu sedangkan sabuk suteranya meluncur ke arah pinggang orang! Gerakan Giok Cu adalah gerakan campuran, yakni tangan kanan yang pegang pedang bergerak dengan Lya-lion-sin-yauw atau Naga-mas-ulur pinggang, sedang sabuk sutera di tangan kirinya bergerak dengan tipu Tiang-khing-king- tian atau Pelangi panjang melengkung di langit. Tentu saja serangan kombinasi ini berbahaya sekali karena Giok Cuyang tahu akan kelihaian lawan gunakan gerakan mematikan ini. Tapi tak dinyana bahwa bayangan itu benar-benar hebat. Sambil perdengarkan suara ketawa keras, bayangan itu secepat kilat mendekam ke bawah hingga kedua senjata Giok Cu memukul angin, kemudian dari bawah bayangan itu maju pula menubruk. Gerakan bayangan itu sembarangan saja seakan-akan bukan gerakan seorang ahli silat, tapi gerakannya mendatangkan angin menandakan bahwa ia memiliki tenaga yang hebat! Giok Cu melawan dengan mati-matian dan keluarkan seluruh kepandaiannya untuk merobohkan lawan yang aneh ini.

Benar bagaimana kata guru silat she Kwa tadi. Gerakan siluman itu benar-benar cepat hingga tubuhnya yang tinggi besar berkelebat ke sana kemari dan sukar untuk dapat dilihat mukanya. Yang terlihat oleh Giok Cu hanya rambutnya yang riap-riaoan berkibar dan sepasang mata yang tajam dan besar. Giok Cu melawan sedapat-dapatnya sampai puluhan jurus, tapi setelah bersilat lima puluh jurus lebih ia merasa lelah. Pukulan-pukulan lawannya terlampau berat baginya dan gerakannya terlampau gesit. Ia tahu bahwa lawannya jauh lebih pandai darinya dan bahwa jika dikehendaki oleh lawan itu sudah dari tadi ia dapat dirobohkan. Agaknya lawan itu sengaja mempermainkannya karena sambil bergerak, tiada hentinya ia tertawa keras. Beberapa kali tangan lawannya telah dekat dengan tubuhnya, tapi sebelum memukul, segera tangan itu ditarik kembali dibarengi suara tawa menyeramkan.

Akhirnya Giok Cu tak tahan lagi. Ia berteriak: “Tuan Kwa, hayo maju bantu kepung siluman ini!”

Dari tempat sembunyinya guru silat Kwa dan kawan-kawannya telah melihat jalannya pertandingan yang hebat itu. Kini mendengar seruan Giok Cu, mengertilah mereka bahwa gadis itu terdesak. Dengan sorakan keras dua puluh orang yang pandai silat menerjang dengan senjata tajam di tangan!

Bayangan itu melejit ke sana-sini, menyambar-nyambar di antara golok dan pedang sambil tertawa dan berkata: “Ha, ha, ha! Sekalian gentong kosong! Pinto telah bosan melayani kalian! Hayo Pek I Lihiap kau ikut pinto!”

Dengan sekali terjang, robohlah empat orang pengeroyok dan sebelum dapat hindarkan diri, Giok Cu kena tertotok jalan darah Tay-twi-hiat hingga dengan kedua senjata masih di tangan gadis itu menjadi kaku tak berdaya! Kemudian sekali saut saja bayangan itu telah dapat pondong tubuh Giok Cu dibawa lari! Orang- orang ribut mengejar tapi sekejab saja bayangan itu telah lenyap dari pandangan mata.

Mereka bingung sekali dan kembali untuk merawat kawan-kawan yang terluka. Lebih-lebih guru silat Kwa, ia merasa bingung dan cemas memikirkan nasib Pek I Lihiap dan diam-diam ia merasa menyesal mengapa ia ajak gadis itu menempuh bahaya maut ini. Tapi ia teringat akan kata-kata siluman tadi bahwa setelah mendapat Pek I Lihiap, siluman itu akan pergi dari situ, maka diam-diam iapun bergirang karena dengan adanya korban seorang Pek I Lihiap, banyak orang lain akan terhindar dari bahaya maut.

Biarpun tubuh Giok Cu kaku tak berdaya, namun pikiran dan panca inderanya masih bekerja. Matanya masih dapat melihat. Ia merasa dibawa lari cepat sekali di atas genteng-genteng rumah lalu turun dan memasuki hutan. Pada saat itu sesosok bayangan lain menghadang di depan dan membentak:

“Tosu siluman! Lepaskan korbanmu!”

Tosu yang dianggap siluman itu tertawa keras. “Ha, ha, ha! Kau Bu-eng-cu hendak lancang ikut campur dalam urusanku? Ketahuilah, aku bisa bikin kau si tanpa bayangan menjadi si tanpa nyawa!”

Karena Giok Cu berada dalam panggulan di pundak tosu itu hingga mukanya berada di belakang maka ia tak dapat melihat muka orang yang menghadang di depan. Ia hanya mendengar suara orang itu dan hatinya girang sekali ketika tosu menyebut namanya Bu-eng-cu! Jadi dia adalah Koayhiap yang telah berkali-kali menolongnya. Apakah dia Thian In? Ia dengarkan dengan teliti ketika orang itu menjawab:

“Gak Ong Tosu! Ternyata kau masih ambil jalan sesat! Sebentar lagi tentu suhengmu akan menangkapmu dan memberi hukuman yang setimpal!”

“Gila kau! Jangan kau takut-takuti aku dengan nama Gak Bong! Kau kira aku takut padanya? Ha, ha, ha! Anak muda, lebih baik kau pergi sebelum datang marahku.”

“Hm, kau kira akupun takut padamu? Bagi orang lain mungkin kau dianggap siluman lihai, tapi bagiku tak lain hanya seorang pertapa yang rendah martabatnya! Lepas Pek I Lihiap!”

Diam-diam Giok Cu merasa heran. Dan suaranya ia tak dapat menetapkan apakah orang itu Thian In atau bukan. Tapi barusan ia mendengar nama Gak Bong dan teringatlah ia bahwa dulu Thian In pernah menyatakan bahwa dia adalah murid Gak Bong Tosu. Kalau begitu, tosu siluman yang menculiknya ini adalah sute atau adik seperguruan dengan gurunya Thian In! Tak heran ia demikian lihai! Dan siluman ini adalah susiok atau paman guru sendiri dari Thian In. Kalau begitu, tak mungkin pemuda yang disebut Bu- eng-cu itu adalah Thian In. Ia menjadi bingung.

Pada saat itu Cak Bong Tosu menjadi marah sekali. Dengan menggerang keras ia menyerang Bu-eng-cu. Agaknya ia memandang rendah karena ia menyerang dengan Giok Cu masih dipanggulnya di pundak. Tapi ketika pemuda itu berkelit dan balas menyerang, kagetlah Tosu itu. Serangan pemuda itu demikian cepat dan gerakannya tak kalah gesit dengan dia sendiri, sedangkan dari tangan yang menyerang itu keluarlah tenaga yang hebat! Apalagi ketika Cak Ong menangkis dan kedua lengannya beradu, ia merasa betapa tangannya bergetar, ia terkejut sekali. Tenyata lengan lweekang lawannya tidak kalah lihai! Cepat ia lempar tubuh Giok Cu ke pinggir untuk dapat menghadapi Bu-eng-cu yang lihai itu dengan leluasa.

Sayang sekali kebetulan jatuhnya tubuh Giok Cu dengan punggung menghadapi pertempuran itu hingga ia tak dapat menonton. Hati gadis itu gemas sekali. Ia mencoba kerahkan tenaga dalamnya untuk melepaskan diri, tapi sia-sia, urat-uratnya lumpuh! Maka dengan diam saja hanya pasang telinga untuk mendengarkan mereka yang sedang bertempur, sedangkan hatinya hanya berdoa supaya Bu-eng-cu beroleh kemenangan. Ia mendengar suara beradu dan mengerti bahwa mereka sedang bertempur menggunakan senjata tajam.

Tapi ternyata selihai-lihainya Bu-eng-cu, ilmu silatnya masih kalah setingkat oleh Gak Ong Tosu hingga setelah bertempur puluh jurus ia mulai terdesak. Pada saat itu tiba-tiba terdengar suara halus.

“Terima kasih, terima kasih, Bu-eng-cu Koay-hiap! Kau telah menahan iblis ini. Nah, serahkanlah ia padaku.” Berbareng dengan suara itu entah dari mana datangnya, tiba-tiba seorang tosu berambut putih tahu-tahu sudah berada di situ dan menghadapi Gak Ong Tosu!

“Gak Bong lo-cian-pwee! Bagus kau datang. Silahkan memberi hajarang kepada sutemu yang tersesat ini.” Dan Bu-eng-cu segera mencelat mundur ke arah Giok Cu yang masih rendah miring. Dengan perlahan ia gunakan du jari tangannya menotok pundak Giok Cu hingga gadis itu terlepas dari pengaruh totokan. Setelah jalan darahnya pulih kembali dan tubuhnya sembuh dari rasa kesemutan, cepat gadis itu bangkit dan duduk dan menengok untuk memandang wajah Bu-eng-cu. Tapi ternyata pemuda itu telah lenyap dari situ! Giok Cu memandang ke sana kemari, tapi ternyata pemuda itu telah pergi dari situ setelah meninggalkan lawannya kepada Gak Bong Tosu dan setelah lepaskan Giok Cu dari totokan.

Giok Cu merasa kecewa sekali dan ia memandang ke arah kedua tosu yang masih berdiri berhadapan. Kini ia dapat melihat macamnya siluman yang jahat itu. Ia merupakan seorang tosu dengan rambut hitam kaku dan riap-riapan menutup muka dan leher. Mukanya penuh cambang hingga sebagian mukanya tak tampak, yang kelihatan hanya sepasang matanya yang tajam dan mengeluarkan sinar kejam. Pakaiannya mewah dan jubahnya berwarna kuning keemasan. Sepatunya pun baru dan mengkilat. Di rambut yang tak karuan itu terselip hiasan dari emas yang penuh dengan batu permata. Ia berdiri dengan mata melotot dan mulut menyeringai. Giok Cu alihkan pandangan matanya kepada tosu yang baru datang.

Cak Bong Tosu adalah seorang pendeta gemuk pendek yang telah putih semua rambutnya. Pakaiannya dari kain kasar warna abu-abu dan kakinya telanjang. Tangan kirinya memegang sebuah kipas yang dipakai untuk mengipasi tubuhnya yang gemuk. Mulutnya tersenyum tapi sepasang matanya yang bersinar lembut itu kini ditujukan kepada sutenya dengan penuh sesal.

“Gak Ong sudah tahukah akan kesalahanmu?” Berbeda dengan senyumnya suaranya terdengar tegas dan berpengaruh.

Gak Ong Tosu tundukkan kepala sambil bibirnya bergerak-gerak gugup. “Sujeng kau ampunilah sutemu kali ini.” Ia berkata perlahan.

“Ampuni? Gak Ong lupakah, kau akan larangan suhu dulu? Lupakah kau bahwa sekali membunuh nyawa tidak berdosa maka kita harus tebus dengan nyawa kita pula? Kau tidak hanya melanggar larangan suhu, tapi kau bahkan melanggar pantangan Yang Maha Tunggal!! Kau telah terpikat oleh pengaruh jahat, kau mempelajari ilmu hitam, ilmu siluman, kau menjadi sejahat siluman sendiri. Bahkan lebih jahat! Aku tahu, kau hendak penuhi syatat ilmu itu dengan makan tiga belas jantung bayi dan menganiaya tiga belas orang gadis suci. Kau tersesat jauh sekali, Gak Ong. Perbuatan itu terkutuk sekali dan entah sampai kapan jiwamu akan terhukum karena perbuatan ini!!”

“Sudahlah suheng tak perlu kita bertengkar. Sekarang terangkan maksudmu, apa yang kau kehendaki dariku?”

Posting Komentar