Kisah Sepasang Naga Chapter 03

NIC

Ia suka sekali memandang awan-awan yang bergerakgerak dan membentuk lukisan binatang aneh.

Ia suka mengkhayalkan betapa di antara awan-awan hitam itu tampak terbang melayang dua ekor naga hitam dan putih saling berkejaran memperebutkan mustika, yaitu matahari yang hampir tenggelam dan berwarna merah keemasan! Seringkali Sin Wan memikirkan dengan hati tertarik sekali di mana gerangan sepasang naga itu.

Kalau saja ia bisa memiliki pedang itu, alangkah senangnya! Tidak jarang kakeknya menyusul ketempat itu karena Sin Wan sering pulang terlambat hingga didahului kerbaunya yang pulang lebih dulu.

Selain duduk melamun dan mengkhayal, Sin Wan juga senang sekali meniup suling bambunya.

Ia memang mempunyai bakat akan seni suara, hingga tiupan sulingnya terdengar merdu sekali dan ia dapat memainkan beberapa lagu yang digubahnya sendiri.

Bahkan seringkali ibunya diam-diam mengalirkan airmata karena terharu mendengar suara suling puteranya di tengah malam, membikin nyonya muda itu teringat akan suaminya yang juga pandai meniup suling! Juga Kang-lam Ciuhiap, seorang pendekar tua yang telah banyak mengalami pertempuranpertempuran hebat dan hatinya menjadi keras, jika mendengar tiupan suling cucunya, diam-diam ia bengong dan terpesona.

Seakan-akan dirinya dibawa terbang melayang-layang oleh suara suling yang mengalun itu, dibawa terbang kedunia halus dan suci! Beberapa kali Sin Wan nyatakan keinginannya kepada kakeknya untuk naik mendaki puncak Kam-hong-san tapi selalu Kang-lam Ciuhiap mencegahnya dan bilang bahwa di atas Kam-hong-san banyak terdapat hutan-hutan lebat yang penuh dengan binatang buas dan keadaannya berbahaya sekali.

"Sin Wan, ketahuilah.

Beberapa tahun yang lalu aku sendiri pernah naik ke puncak itu," kata kakeknya sambil menunjuk ke arah puncak gunung yang dikelilingi awan putih itu, "aku tidak takut segala binatang buas, tapi aku sungguh-sungguh ngeri melihat jurang-jurang yang curam sekali dan dataran dataran palsu." "Apakah dataran palsu itu engkong?" tanya Sin Wan heran.

"Tampaknya seperti tanah datar yang ditumbuhi rumput-rumput hijau segar dan gemuk, tapi kalau kau kurang hati-hati dan menginjaknya, maka kakimu akan terjeblos dan tubuhmu akan tenggelam dalam tanah lumpur yang berbahaya sekali karena sekali tubuh kita diisap olehnya sukarlah kita dapat melepaskan diri dari bahaya maut." Tapi Sin Wan adalah seorang anak yang semenjak kecilnya mengalami banyak kesukaran ketika ia dengan ibunya dibawa mengungsi oleh kakeknya hingga hidup secara sederhana dan sengsara di tempat sunyi, maka hatinya tabah sekali.

Mendengar cerita kakeknya ini, ia tidak merasa takut atau ngeri, bahkan timbul keinginan yang besar dalam hatinya untuk melihat dengan mata sendiri semua keanehan itu! Sebetulnya Kang-lam Ciuhiap tidak berkata bohong.

Memang beberapa tahun yang lalu pernah ia naik ke Kam-hong-san untuk mencari tempat yang lebih enak, tapi ia hanya ketemukan tempat-tempat berbahaya, maka ia turun kembali.

Ia hanya membohong ketika ia berkata bahwa hatinya merasa ngeri melihat keadaan-keadaan berbahaya itu.

Seorang dengan kepandaian setinggi dia tak perlu merasa ngeri dan takut hanya menghadapi bahaya seperti itu saja.

Memang kakeknya itu sengaja membohong untuk membikin cucunya merasa jeri dan batalkan keinginannya mendaki bukit tinggi itu.

Ia sama sekali tidak sangka bahwa cerita yang seram-seram itu bahkan menjadi pendorong bagi Sin Wan untuk melaksanakan keinginan hatinya! Dan pada suatu hari, pagi-pagi sekali Sin Wan tinggalkan rumahnya dan pergi naik ke gunung Kam-hong-san yang mengandung penuh rahasia-rahasia ganjil dan menarik baginya itu.

Tadinya ibu dan kakeknya tidak menyangka akan hal ini.

Memang biasanya Sin Wan bangun pagi-pagi sekali dan anak itu tentu berlatih silat di pekarangan belakang atau berlatih ginkang sambil meloncati anak sungai berkali-kali seperti yang diajarkan kakeknya, karena menurut kakeknya, berlatih silat di waktu hari masih pagi sekali adalah sangat bermanfaat bagi kesehatan dan baik sekali bagi kemajuan kepandaiannya.

Sin Wan tak pernah abaikan petunjuk ini.

Karena itulah, maka pagi hari itu, ibu dan kakeknya tidak menyangka sedikit juga bahwa anak yang mereka sayang itu telah pergi mendaki gunung yang berbahaya itu.

Setelah matahari naik tinggi, barulah hati ibu Sin Wan merasa heran karena anaknya belum juga pulang.

"Ayah," katanya kepada Kang-lam Ciuhiap yang sepagi itu telah minum arak buatannya sendiri, "mengapa Sin Wan belum juga pulang? Bukankah pagi ini ia harus bantu meluku sawah dengan kerbaunya?" "Anakku, kuharap kau jangan terlampau keras kepada Sin Wan.

Anak itu cukup rajin dan ia perlu hiburan.

Biarkanlah ia bermain sebentar lagi, nanti ia tentu datang." Nyonya muda itu hanya menghela napas, ia tahu bahwa ayahnya sangat sayang kepada cucunya itu hingga agak memanjakan.

Ia khawatir sekali kalau Sin Wan kelak meniru kebiasaan ayahnya yang hanya minum arak saja kerjanya itu! Menurut keinginannya, ia akan suka sekali melihat puteranya menjadi seorang terpelajar, seorang ahli surat dan memangku jabatan tinggi seperti ayahnya.

Tapi hatinya makin sedih melihat betapa Sin Wan, biarpun tekun mempelajari ilmu surat, namun agaknya lebih menyukai ilmu silat.

Pernah ia mengemukakan suara hatinya ini kepada ayahnya, tapi Kang-lam Ciuhiap berkata dengan sungguh-sungguh kepada anak perempuannya itu.

"Kau agaknya tidak ingat bahwa karena tidak pandai ilmu silat tinggi maka suamimu sampai mengalami fitnahan dan hukuman mati.

Masa sekarang banyak orang jahat yang tak mungkin dilawan dengan menggunakan coretan pit dan tinta hitam belaka.

Gantilah pit dengan pedang tajam, maka kau akan dapat menjaga dirimu lebih baik daripada gangguan orang jahat.

Aku ingin sekali melihat cucuku itu menjadi seorang hohan yang gagah perkasa dan membasmi para manusia-manusia rendah yang suka ganggu orang lain!" Mendengar ucapan yang bersemangat dari ayahnya, nyonya muda itupun di dalam hati membenarkan, maka ia tidak mau ganggu lagi kesukaan Sin Wan belajar silat.

Tapi tetap ia merasa kurang puas melihat betapa kakek itu memanjakan Sin Wan.

Setelah hari hampir siang, maka ibu yang mencinta anaknya ini makin gelisah bahwa Kang-lam Ciuhiap yang biasanya tenang, nampak heran dan curiga.

Ia lalu tunda guci araknya dan pergi mencari Sin Wan.

Ketika di mana-mana tak dapat menemukan anak itu, Kang-lam Ciuhiap Bun Gwat Kong menjadi gelisah juga dan ia berdiri di tebing jurang sambil layangkan pandangannya ke arah gunung.

Timbul dugaannya bahwa cucunya itu tentu telah nekad dan mendaki Kam-hongsan.

Ia maklum akan ketabahan dan kekerasan hati cucunya yang pantang mundur menghadapi apapun untuk melaksanakan cita-citanya.

Dengan hati mulai cemas ia lalu gunakan kepandaiannya mendaki gunung yang sukar di lalui itu.

Ketika pagi hari itu Sin Wan tinggalkan rumahnya menuju ke gunung yang menarik hatinya, ia merasa gembira sekali dan dadanya berdebar karena tertarik oleh pengalaman-pengalaman dasyat yang ia harapkan akan ditemukan di puncak gunung.

Mula-mula perjalan mendaki gunung itu tidak sesukar yang diceritakan kakeknya.

Hutan-hutan kecil yang dilaluinya bahkan indah menarik, penuh dengan burung-burung yang berkicau merdu dan indah warna bulunya.

Beberapa ekor monyet hitam berlari cepat dan bergantungan di puncak pohon karena takut melihat Sin Wan.

Anak itu merasa gembira sekali dan ia geli melihat betapa monyet kecil bergelantungan di dada induknya sambil perdengarkan suara cecowetan lucu.

Karena jalan masih mudah dilalui bahwan penuh pemandangan indah, Sin Wan lari cepat seenaknya saja, terus mendaki sebuah lereng yang hijau penuh rumput.

Di pundaknya tergantung seutas tali yang kuat dan besi pengait, karena dari engkongnya ia pernah diberitahu bahwa untuk mendaki gunung yang tinggi perlu membawa tambang dan besi seperti itu.

Karena maksudnya mendaki puncak Kam-hong-san telah lama terkandung dalam hatinya, maka Sin Wan telah siapkan segalanya.

Bahkan tidak lupa ia membawa roti kering di dalam kantongnya! Ketika ia sedang berlari terus naik makin tinggi, tiba-tiba ia melihat bayangan seorang anak perempuan berlari cepat dari balik lereng dan dengan sigapnya anak perempuan itu berloncat-loncatan menuju keatas! Sin Wan merasa heran sekali dan ia segera gunakan kepandaiannya mengejar, tapi biarpun ia lari secepatnya, ternyata ia tidak mampu mengejar anak perempuan itu! Anak perempuan itu agaknya melihat Sin Wan dan sengaja mempermainkannya, karena ia sering menengok sambil tertawa, lalu loncat dan lari pula ke atas makin tcepat, Sin Wan merasa penasaran sekali.

Masak ia harus kalah oleh seorang perempuan yang tidak lebih besar darinya? Ia kerahkan ginkangnya dan mengejar makin cepat pula.

Dalam kejar-mengejar ini, mereka naik makin tinggi dan jalan juga tidak semudah tadi.

Kini jalan mereka banyak terhalang jurang-jurang yang curam dan batu-batu cadas dan karang yang tinggi bagaikan menara.

Tapi gadis cilik itu agaknya telah hafal akan jalan disitu, karena ia dapat memilih jalan dengan cepat.

Sin Wan tidak mau mengalah dan mengikuti jejaknya.

Ia bertekad takkan berhenti mengejar sebelum dapat menyandak anak perempuan itu.

Tiba-tiba di tempat yang tinggi sekali, anak perempuan itu berhenti dan berdiri sambil bertolak pinggang menghadapi Sin Wan sambil tertawa menghina.

Sin Wan juga berusaha naik secepatnya, tapi ia telah merasa lelah sekali.

Ketika ia tiba di hadapan gadis cilik itu, ia memandangnya dengan penasaran dan mendongkol.

Gadis cilik itu berpakaian warna biru, dan senyumnya manis sekali.

Dua titik lesung pipit menghias kanan kiri bibirnya yang kecil merah, dan rambutnya yang hitam panjang itu diiikat merupakan jambul diatas kepala sebelah kanan dan kiri, lalu terurai kebelakang.

Wajahnya tampak berseri dan kemerah-merahan, agaknya iapun lelah juga.

Dengan mendongkol, mau tidak mau Sin Wan harus mengaku bahwa ilmu meringankan tubuh anak perempuan itu masih menang sedikit darinya! "Hei, kenapa kau kejar-kejar aku?" tegur gadis cilik itu dengan suara yang nyaring dan tinggi.

"Kenapa kau belari-lari seperti maling kesiangan?" Sin Wan balas bertanya.

Gadis cilik itu tertawa geli mendengar pertanyaan Sin Wan, suara ketawanya merdu dan bebas, dan Sin Wan melihat dua baris gigi yang kecil rata dan mengkilap putih hingga wajah anak perempuan itu tampak makin manis.

"Kau tidak kuat mengejarku mengapa memaksa? Ah, kasihan kakimu tentu lelah sekali." Gadis itu menyindir.

Posting Komentar