Kisah Si Bangau Merah Chapter 06

NIC

"Soalnya hanya ini. Kita lebih sayang Sian Li ataukah lebih sayang Yo Han. Keduanya memang kita sayang, akan tetapi mana yang lebih berat bagi kita?"

Sin Hong menarik napas panjang. Isterinya mengajukan pertanyaan yang jawabannya hanya satu.

"Tentu saja kita lebih memberatkan Sian Li. Bagaimanapun juga, ia adalah anak kita, darah daging kita. Akan tetapi aku pun tidak ingin melihat Yo Han terlantar, aku tidak mau menyia-nyiakan anak yang tidak mempunyai kesalahan apapun itu."

"Tentu saja! Kita bukan orang-orang jahat yang kejam demi kepentingan anak sendiri lalu membikin sengsara orang lain. Sama sekali tidak. Maksudku, bagaimana kalau kita mencarikan tempat baru untuk Yo Han? Memberi dia kesempatan untuk mendapatkan guru yang baru, atau melihat bakatnya, bagaimana kalau kita menitipkan dia di kuil, dimana terdapat orang-orang pandai dan saleh? Tentu saja kita dapat membayar biaya pendidikannya setiap bulan atau setiap tahun."

Sin Hong mengangguk-angguk. Dia pun tahu bahwa isterinya cukup bijaksana. Isterinya adalah seorang pendekar wanita tulen, cucu dari Naga Sakti Gurun Pasir! Ayahnya putera Naga Sakti Gurun Pasir, dan ibunya cucu Pendekar Super Sakti! Ia pun setuju dengan usul isterinya itu. Memang, jalan terbaik adalah memisahkan Yo Han dari Sian Li, dan cara pemisahan yang sebaiknya adalah menyingkirkan Yo Han dari rumah mereka dengan memberi jaminan terhadap kehidupan Yo Han selanjutnya. Paling baik kalau dititipkan di kuil agar dapat belajar lebih lanjut. Siapa tahu dibawah pimpinan para pendeta kuil, ketidak-wajarannya itu akan berubah dan Yo Han akan menjadi seorang anak yang biasa. Kalau sudah begitu tentu tidak ada halangannya bagi Yo Han untuk kembali kepada mereka.

"Ah, aku teringat sekarang! Bagaimana kalau kita minta tolong kepada Thian Sun Totiang?"

Dia berkata.

"Maksudmu, kepala kuil di lereng Pegunungan Heng-san itu? Bukankah Thian Sun Tosu itu seorang tokoh Kun-lun-pai?"

Kata Hong Li mengingat-ingat.

"Benar sekali. Selain ilmu silatnya tinggi juga beliau adalah seorang pendeta yang hidup saleh dan tentu dia dapat membimbing Yo Han dalam ilmu kerohanian. Juga beliau adalah sahabatku. Tentu saja kita dapat memberi sumbangan untuk kuilnya sebagai pengganti biaya yang dikeluarkan untuk keperluan Yo Han."

"Bagus, aku pun setuju sekali!"

Kata Hong Li.

Keduanya merasa lega dengan keputusan itu dan Sin Hong meniup padam lilln di atas meja, tanda bahwa keduanya akan tidur. Di dalam hujan yang lebat, dalam udara yang amat dingin itu. Yo Han keluar dari dalam kamarnya. Dia sendiri tidak mengerti mengapa dia keluar dari dalam kamarnya. Akan tetapi dia tidak peduli dan hanya menyerah dorongan yang membuat kakinya berjalan keluar dari dalam kamar, keluar melalui pintu belakang ke dalam hujan! Tentu saja rambut dan pakaiannya basah kuyup, namun dia tidak peduli karena kakinya terus melangkah. Bahkan hawa dingin itu tidak dirasakannya sama sekali, kalau pun ada perasaan di tubuhnya, maka yang ada bahkan perasaan sejuk segar dan nikmat! Seperti dituntun, kedua kakinya menuju ke jendela kamar suhunya! Jejak kakinya tentu akan terdengar oleh suhu dan subonya kalau saja malam itu tidak ada hujan.

Suara hujan jatuh ke atas genteng dan tanah, juga ke atas daun-daun pohon, jauh lebih berisik daripada jejak kakinya, maka biar andaikata suami isteri pendekar itu memiliki ketajaman pendengaran sepuluh kali lipat, belum tentu akan mampu mengetahui bahwa ada orang melangkah di luar jendela kamar mereka. Dan Yo Han mendengar semua percakapan mengenai dirinya itu! Dia memejamkan matanya, dan setelah lilin dalam kamar itu tertiup padam, dia pun kembali ke kamarnya dengan tubuh terasa lemas. Dia mendengar percakapan suhu dan subonya. Dia tidak sengaja ingin mendengarkan percakapan mereka. Entah bagaimana kedua kakinya bergerak membawa dia ke dalam hujan dan mendekati kamar mereka sehingga dia mendengar percakapan mereka. Suhu dan subonya tidak menghendaki dia tinggal lebih lama di rumah mereka!

Mereka ingin memisahkan dia dari Sian Li! Dia akan dititipkan di sebuah kuil! Setelah memasuki kamarnya, dia duduk di atas kursi seperti patung. Rambut dan pakaiannya yang basah kuyup tidak dipedulikannya. Dia merasa sedih bukan main. Dia harus meninggalkan mereka yang dia kasihi. Harus meninggalkan Sian Li! Tak terasa lagi, dua titik air mata turun ke atas pipinya, mencair dan menjadi satu dengan kebasahan air hujan. Tidak, dia tidak boleh menangis! Menangis tidak ada gunanya, bahkan hanya membuat hatinya menjadi semakin sedih! Ketika mendengar kematian ayah bundanya dahulu, lima tahun yang lalu, dia pun mengeraskan hatinya, tidak membiarkan diri menangis berlarut-larut. Pada keesokan harinya, dengan muka agak pucat dan rambut agak kusut, pagi-pagi sekali Yo Han sudah memondong Sian Li yang sudah dimandikan ibunya.

"Subo, teecu hendak mengajak adik Sian Li bermain di kebun,"

Kata Yo Han kepada subonya yang sudah keluar dari dalam kamar bersama suhunya. Kedua orang suami isteri itu saling pandang. Mereka merasa tidak tega untuk sepagi itu menyatakan keinginan mereka menitipkan Yo Han ke kuil. Biarkan anak itu bermain-main dulu dengan Sian Li.

"Ajaklah ia bermain-main, akan tetapi nanti kalau waktu sarapan, pagi, ajak ia pulang,"

Kata Hong Li dan Sin Hong mengangguk setuju.

"Baik, Subo,"

Kata Yo Han. Dia menurunkan Sian Li, menggandeng tangan anak itu dan keduanya berlari-lari meninggalkan rumah, menuju ke belakang rumah. Melihat betapa gembiranya Sian Li diajak bermain-main oleh Yo Han, suami isteri itu saling pandang lagi dan keduanya menghela napas panjang.

Mereka maklum betapa mereka semua, terutama sekali Sian Li, akan merasa kehilangan Yo Han kalau anak itu pergi meninggalkan rumah mereka. Akan tetapi apa boleh buat. Demi kebaikan Sian Li, mereka harus menegakan hati, Yo Han harus dipisahkan dari anak mereka. Biasanya, pagi-pagi sekali Yo Han sudah rajin bekerja. Bekerja pagi-pagi sebelum matahari terbit menjadi kesukaannya. Bekerja apa saja, menyapu pekarangan, membersihkan jendela-jendela rumah dari luar. Bekerja apa saja asal di luar rumah karena yang dinikmatinya bukan hanya pekerjaan itu, melainkan terutama sekali suasana di pagi hari. Pagi hari baginya merupakan saat yang paling indah, munculnya matahari seolah-olah membangkitkan semangat, gairah dan tenaga kepada segala makluk di permukaan bumi.

Akan tetapi, pagi hari itu dia ingin sekali mengajak Sian Li bermain-main. Dia sudah mengambil keputus-an untuk pergi, seperti yang dikehendaki suhu dan subonya. Dia mengerti betapa beratnya bagi mereka untuk menyuruh dia pergi. Maka dia harus membantu mereka. Dialah yang akan berpamit sehingga tidak memberatkan hati mereka. Pula, dia tidak mau kalau dititipkan di kuil mana pun juga. Kalau dia harus berpisah dari suhu dan subonya, dari Sian Li yang dikasihinya, lebih baik dia berkelana dengan bebas daripada harus berdiam di dalam kuil seperti seekor burung dalam sangkar. Dan sebelum pergi, dia ingin mengajak Sian Li bermain-main, ingin menyenangkan hati adiknya itu untuk yang terakhir kalinya. Dia mengajak Sian Li ke tepi sungai, tempat yang paling disenanginya karena tempat itu memang indah sekali.

Sunyi dan tenang. Mendengarkan burung berkicau dan air sungai berdendang dengan riak kecil, sungguh amat merdu dan menyejukkan hati. Duduk di atas rumput di tepi sungai, menatap langit yang amat indah, langit di timur yang mulai kemerahan, mutiara-mutiara embun di setiap ujung daun. Tak dapat digambarkan indahnya. Dia duduk dan memangku Sian Li yang memandang ke arah air di sungai dengan wajah berseri. Dia menunduK dan mencium kepala anak itu. Betapa dia amat menyayang adiknya. Dicium kepalanya, Sian Li memandang dan merangkulkan kedua lengannya yang kecil di leher Yo Han. Sejak kecil dia diajar menyebut suheng (kakak seperguruan) kepada Yo Han. Melihat kakaknya itu memandang kepadanya dengan sepasang mata penuh kasih sayang, anak itu tersenyum.

"Aku sayang suheng...."

Katanya lucu, Yo Han mencium pipinya.

"Aku pun sayang kepadamu, adikku...."

Hatinya terharu sekali karena dia dapat merasakan kasih sayang di antara mereka yang menggetarkan hatinya. Dan dia harus berpisah dari anak ini!

Bahkan karena adiknya inilah dia harus meninggalkan rumah suhunya! Suhu dan subonya tidak ingin kelak Sian Li mencontoh sikap dan wataknya! Begitu burukkah sikap dan wataknya? Dia mengerti bahwa guru dan subonya amat kecewa karena dia tidak suka berlatih silat. Dan membayangkan betapa adik yang bersih ini kelak menjadi seorang gadis yang perkasa, seperti ibunya dahulu, hidupnya penuh bahaya dan acaman musuh, hidup selalu waspada, membunuh atau dibunuh, ingin dia menangis. Adiknya akan menjadi pembunuh! Akan memenggal leher orang dengan pedangnya, atau menusukkan pedang menembus dada dan jantung orang. Atau sebaliknya, disiksa dan dibunuh orang!

"Ihhh, Suheng.... menangis?"

Anak itu memandang ketika dua titik air mata turun ke atas pipi kakaknya, dan tangannya menyentuh air mata di pipi itu sehingga runtuh. Sentuhan lembut yang menggetarkan hati Yo Han.

"Sian Li...."

Dia merangkul, menyembunyikan mukanya di atas kepala anak itu.

"Suheng, Ayah dan Ibu melarang kita menangis...."

Kata anak itu lagi.

"Apakah Suheng menangis?"

Suaranya masih belum jelas dan terdengar lucu, namun justeru mengharukan sekali. Yo Han mengeraskan hatinya dan diam-diam mengusap air matanya, lalu dia membiarkan adiknya dapat memandang mukanya yang tadi disembunyikan di rambut kepala Sian Li. Dia menggeleng.

"Aku tidak menangis, sayang."

Anak itu tertawa dan alangkah manis dan lucunya kalau ia tertawa,

"Hore Suheng tidak menangis. Suheng gagah perkasa!"

Yo Han merasa jantungnya seperti ditusuk. Sekecil ini sudah menghargai kegagahperkasaan! Sekecil ini sudah menjadi calon pendekar wanita, seorang calon hamba kekerasan! Sudah terbayang olehnya Sian Li menjadi seorang gadis yang selalu membawa pedang di belakang punggungnya. Dia cepat dapat menguasai kesedihan dan keharuannya, dan teringat bahwa dia mengajak adiknya pagi ini ke tepi sungai untuk bermain-main dan menyenangkan hati adiknya.

Posting Komentar