Jenderal itu memandang dengan mata tajam kepada Liem Siang Hong, “Saudaraku, tahukah kau betapa bahayanya tugas ini?”
“Tentu saja aku tahu!” jawab panglima itu dengan gagah. “Akan tetapi, perasaan takut merupakan pantangan besar bagi seorang perajurit seperti aku!”
“Bagus! Ketahuilah, memang terkandung maksud dalam hatiku menyuruh seorang mewakiliku menghadap kaisar, dan kalau ada orang itu, hanya engkaulah, saudaraku! Bukan aku tidak berani menghadap sendiri, akan tetapi kalau sampai di kota raja aku terkena malapetaka dari para dorna, habis siapakah yang akan dapat memimpin pasukan-pasukan untuk menyerbu dan meruntuhkan kerajaan yang sudah bobrok itu? Kau berangkatlah, bawalah surat nasehatku kepada kaisar dan jangan khawatir, aku telah siap dengan seluruh anak buahku. Kalau ada yang berani mengganggu selembar rambutmu di kotaraja, aku bersumpah untuk mengganti kerugian dengan menduduki Tiang-an dan membasmi para dorna!”
Demikianlah, setelah menerima surat dari jenderal itu, Liem Siang Hong lalu pulang ke rumahnya. Ia tidak berani menceritakan tugasnya yang penting dan rahasia ini kepada isterinya, akan tetapi ia merasa terharu juga.
Pertemuan dengan isterinya ini mungkin sekali untuk yang terakhir. Ia merasa rindu kepada puteranya yang masih berada di Kun-lun-san belajar ilmu kepada Beng To Siansu.
“Isteriku!” katanya pada malam hari itu, “besok pagi aku akan pergi melakukan tugas pekerjaanku. Tak usah kau tahu ke mana, karena memang belum ada ketentuan. Akan tetapi mungkin sekali agak lama. Keadaan negara sedang kalut seperti ini dan siapa tahu kalau di kota inipun akan ada huru-hara yang besar. Pesanku kepadamu, kalau sampai terjadi sesuatu dan aku belum kembali, kau mintalah tolong kepada jenderal Li Goan dan apabila kelak kau berada dalam keadaan yang membutuhkan pertolongan, kau dan putera kita berlindunglah kepada saudara kita Kwee Siong. Hanya dia seoranglah yang akan dapat menerima kau dan anakmu sebagai keluarga sendiri!”
Isterinya memandang kepadanya dengan mata terbelalak dan suaranya gemetar ketika bertanya. “Suamiku, mengapa kau berkata demikian? Seakan-akan kau berpamit untuk pulang ke alam baka saja. Apakah yang terjadi, dan kau hendak pergi kemanakah?”
Melihat wajah isterinya menjadi pucat, Liem Siang Hong lalu menghiburnya dan tersenyum untuk membikin tenang hati isterinya. “Soal mati hidup, siapa yang tahu? Aku hanya bicara sebagai penjagaan dan persiapan saja. Siapa yang akan tahu perkembangan keadaan yang makin lama makin panas ini. Aku bukan maksudkan kalau aku mati, akan tetapi misalnya kalau perjalananku ini menjadi terputus oleh kerusuhan dan pemberontakan sehingga kita terpisah jauh. Nah, kepada Kwee Siong dan jenderal Li Goan saja kau boleh dan dapat berlindung.”
Pada keesokkan harinya, pagi-pagi sekali, di antar oleh lima orang perwira, berangkatlah Liem Siang Hong ke kota raja. Panglima yang gagah berani ini telah berhasil menghadap kaisar dan menyampaikan surat dari jenderal Li Goan yang isinya mengecam pedas kepada Kaisar, mengajukan tuntutan-tuntutan agar supaya kaisar suka insaf dan jangan menuruti bujukan dan hasutan para pembesar dorna.
Sebelum menghadap kepada kaisar, Liem Siang Hong menyuruh kelima orang perwira yang mengawaninya itu untuk bersembunyi di rumah gedung Kwee Siong dan kepada adik angkatnya ini ia memberi surat.
Kwee Siong menerima lima orang perwira dari Tai-goan yang sudah dikenalnya itu dan alangkah kagetnya ketika ia membaca surat Liem Siang Hong yang berbunyi singkat.
Adikku Kwee Siong yang baik,
Aku sengaja tidak berhenti di rumahmu agar kau jangan ikut terbawa-bawa dalam perkara ini. Aku sedang menjalankan tugas membawa surat Jenderal Li Goan kepada kaisar dan karena isi surat ini merupakan kecaman dan nasehat, tidak terlalu dilebihkan apabila aku mungkin takkan kembali dengan selamat dari dalam istana.
Hanya satu pesanku, apabila aku benar-benar sampai binasa oleh kaisar dan para pembesar dorna, kau peliharalah baik-baik isteriku dan puteraku.
Selamat Tinggal. Kakakmu,
Liem Siang Hong
Bukan main sedihnya hati Kwee Siong. Ia maklum dan telah yakin akan nasib kakak angkatnya itu, oleh karena pada masa itu, “menasehati” kaisar merupakan pantangan besar bagi mereka yang masih ingin hidup. Telah banyak para pembesar jujur yang menasehati kaisar dan mereka ini dicap sebagai pemberontak dan hanya satulah hukuman bagi mereka yang berani lancang menasehati kaisar, yakni hukuman mati. Kwee Siong lalu berkemas dan ia memerintahkan seorang perwira pengiring Liem Siang Hong untuk diam-diam membawa isteri dan puteranya, yakni Kwee Cun yang baru berusia sembilan tahun, untuk diam-diam melarikan diri ke Tai-goan.
Benar saja, tak lama sesudah Liem Siang Hong menyerahkan surat itu kepada kaisar, kaisar ini dan beberapa orang menteri dornanya menjadi marah sekali dan pada saat itu juga Liem Siang Hong ditangkap dan dihukum penggal kepala.
Empat orang perwira pengikut Liem-ciangkun, ketika mendengar akan hal ini, bersama Kwee Siong lalu melarikan diri secepatnya keluar dari kotaraja, kembali ke Tai-goan. Ketika mendengar bahwa Kwee Siong melarikan diri, kaisar menjadi marah sekli dan menyuruh para pengawal mengejarnya, akan tetapi Kwee Siong dan empat orang perwira itu telah jatuh dan tidak dapat dikejar lagi.
Jenderal Li Goan mengepal-ngepal tinju, menggigit-gigit bibir dan air matanya tak tertahan lagi, terutama setelah mendengar laporan tentang dibunuhnya Liem Siang Hong.
“Kaisar lalim, pembesar-pembesar dorna! Kalian benar-benar telah buta dan telah kemasukkan iblis. Saudaraku Liem Siang Hong, jangan mati penasaran, lihat saja betapa tak lama lagi aku akan menghancur leburkan Tiang-an!”
Jenderal besar ini lalu menghimpun seluruh balatentaranya, ditambah pula dengan rakyat jelata yang menyokong pemberontakannya dan segera memimpin ratusan ribu balatentara menyerbu Tiang-an.
******
Kita tinggalkan dulu barisan Jenderal Li Goan yang mengamuk dan berusaha menggulingkan pemerintahan kaisar yang lalim itu, dan marilah kita mengikuti perjalanan Liem Sian Lun, putera tunggal dari Liem Siang Hong yang gugur sebagai seorang patriot bangsa yang gagah perkasa itu.
Setelah setahun melatih diri, dengan tekunnya dan telah dapat menguasai ilmu silat yang diajarkan oleh Liang Gi Cinjin dengan sempurna, Liem Sian Lun mendapat izin dari Beng To Siansu untuk turun gunung.
“Muridku, pertama-tama kau harus pergi menghadap suhumu Liang Gi Cinjin sebagaimana telah ia pesan dulu. Kemudian, kau harus membuka matamu baik-baik dan melihat keadaan dunia di sekelilingmu. Kalau aku tidak salah tafsir, kerajaan yang sekarang telah mendekati keruntuhannya dan sepanjang pendengaranku, di mana-mana telah timbul pemberontakan hebat. Ayahmu adalah seorang panglima, maka kau harus dapat mempertimbangkan keadaan ayahmu. Kemudian sudah menjadi tugasmu pula untuk membantu perjuangan, hanya harus kau berhati-hati dan dapat memilih pihak yang benar! Nah, kau berangkatlah.
Setelah menerima banyak nasehat dari gurunya, Sian Lun lalu turun dari Kun-lun-san dan langsung menuju ke kota Ceng-tu. Tidak sukar baginya untuk mencari rumah perkumpulan Pek-sim-kauw, karena rumah ini merupakan sekelompok bangunan yang besar dan banyak, terkurung pagar tembok warna kuning yang tinggi. Sian Lun maklum bahwa ia akan menghadapi ujian suhunya, akan tetapi ia tidak takut karena selama ini ia telah melatih diri dengan rajin dan sepanjang ingatannya semua pelajaran ilmu silat dan ilmu pedang dari Liang Gi Cinjin telah dipelajari dan dilatihnya dengan baik.
Dengan tabah ia melangkah memasuki pintu gerbang di depan dan ia melihat banyak sekali pendeta yang berpakaian dengan gambar hati putih di dada, akan tetapi semua pendeta ini seakan-akan tidak melihatnya sehingga ia menjadi heran dan melangkah terus.
Ketika ia tiba di tengah halaman yang luas itu, tiba-tiba dari dalam keluar lima orang pendeta tua yang berwajah angker. Pendeta-pendeta ini menghadang di tengah jalan, lalu seorang di antara mereka bertanya garang.
“Saudara siapakah dan ada keperluan apakah masuk ke dalam rumah kami?”
Melihat lima orang pendeta yang memakai tusuk konde perak ini, Sian Lun yang sudah mendapat keterangan dari Beng To Siansu, dapat menduga bahwa mereka ini tentulah lima orang murid suhunya yang disebut Pek-sim Ngo-lojin. Ia cepat memberi hormat dan menjawab,
“Siauwte adalah Liem Sian Lun dan siauwte datang mohon bertemu dengan suhu Liang Gi Cinjin.”
Lima orang pendeta itu memang Pek-sim Ngo-lojin. Mereka ini masih merasa amat penasaran dan marah karena telah dikalahkan oleh Ling Ling dan ibunya pada tiga hari yang lalu.
Mereka masih merasa mendongkol terhadap suhu mereka karena mereka telah mendapat marah dan teguran, akan tetapi suhu mereka masih memesan agar supaya mereka menjaga di tempat penjagaan masing-masing dan menyerang orang yang ingin menghadap Liang Gi Cinjin.
“Kalau ada orang datang mencariku, kalian harus mencoba dan menguji ilmu kepandaiannya, akan tetapi berhati-hatilah. Jangan sampai melukai orang itu sehingga kalian menanam permusuhan lagi dengan orang lain. Aku hanya ingin kalian menguji kepandaiannya saja.”
Kini datanglah orang muda ini yang ingin bertemu dengan Liang Gi Cinjin. Lima orang pendeta itu baru tiga hari yang lalu telah menderita kekalahan, maka kini setelah saling pandang dengan kawan-kawan sendiri, serentak mereka mencabut pedang dan berkatalah Pek Thian Ji yang galak.
“Mau bertemu dengan guru kami! Tidak mudah, anak muda. Kalau kau tidak dapat mengalahkan pedang kami, kau lebih baik pergi saja dan jangan mencoba untuk mengganggu suhu!”
Sian Lun tidak merasa heran mendengar ini dan ia memang telah bersiap untuk menghadapi ujian ini. Hanya ia merasa heran pendeta-pendeta yang menjadi murid gurunya ini nampak galak dan agaknya hendak maju semua mengeroyoknya. Ia lalu mencabut keluar pedang pemberian Beng To Siansu dan sambil memalangkan pedang di depan dada, ia berkata.
“Kalau ngo-wi hendak menghalangiku, terpaksa siauwte akan berlaku kurang ajar!” Lima orang pendeta Pek-sim-kauw itu lalu maju mengepungnya dan berytempurlah mereka dengan ramai. Akan tetapi baru saja mereka bertempur sepuluh jurus, bukan main kaget dan herannya Pek-sim Ngo-lojin ketika melihat bahwa ilmu pedang yang dimainkan oleh pemuda tampan ini bukan lain adalah ilmu pedang Pek-sim-kiam-hoat.
Kalau saja kelima orang pendeta itu menghadapi Sian Lun dengan ilmu silat lain, mungkin pemuda itu akan repot juga menghadapi keroyokan lima orang pendeta yang lihai itu. Akan tetapi Pek-sim Ngo-lojin menyerangnya dengan ilmu pedang Pek-sim-kiam-hoat yang baru mereka miliki delapan bagian, sedangkan pemuda itu sudah mewarisi sepenuhnya, maka tentu saja Sian Lun dapat melayani mereka dengan baik sekali.
Bahkan ketika ia mainkan bagian akhir dari ilmu pedang itu, yang paling sulit dan paling lihai sehingga pedangnya berkelebatan bagaikan segulung awan putih menyelimuti tubuh kelima pengeroyoknya, murid-murid Liang Gi Cinjin ini menjadi terkejut dan bingung sekali.