Wanita Iblis Pencabut Nyawa Chapter 23

NIC

Pukulan Thai-lek-kim-kong-jiu yang mengandung tenaga lweekang luar biasa besarnya itu tidak perlu memukul dari dekat. Tak usah kepalan tangan mengenai tubuh orang, baru mendorong dengan angin pukulan saja sudah dapat melukai tubuh orang bagian dalam. Maka dapat dibayangkan betapa berbahayanya menghadapi angin pukulan ini dari jarak satu tombak, dengan berdiri di atas sebuah batu. Akan tetapi, sebagai seorang gadis gagah, Ling Ling tidak mungkin mundur atau menolak.

“Ling Ling, biarlah aku yang maju menghadapinya!” kata Sui Giok kepada puterinya, karena nyonya ini khawatir kalau-kalau puterinya akan terluka oleh pukulan lawan yang lihai. Dalam hal ilmu silat dan ilmu pedang, memang Sui Giok sudah tertinggal jauh oleh puterinya, juga dalam hal ginkang, ia sudah kalah setingkat. Akan tetapi, tenaga lweekang nyonya ini agaknya tidak berada di sebelah bawah tingkat Ling Ling.

Betapapun juga, tentu saja hati Ling Ling tidak mengijinkan ibunya yang menghadapi lawan tangguh ini, akan tetapi, untuk menyatakan kekhawatirannya dihadapan lawan, ia merasa malu. Ia lalu mendekati ibunya dan berbisik perlahan.

“Ibu, aku takut kau akan terpukul dan luka!”

Akan tetapi Sui Giok tersenyum dan berbisik kembali, “Jangan khawatir, aku mempunyai akal untuk mengalahkannya!”

Sebelum Ling Ling dapat membantah, nyonya yang cantik itu telah melompat ke atas batu menghadapi Pek Yang Ji. Pendeta ini tertawa bergelak dan bertanya,

“Tidak tahu apakah toanio ini Toat-beng Mo-li ataukah Cialing Mo-li?”

“Apa sajapun boleh! Bagiku lebih baik disebut iblis daripada disebut seorang yang hanya kedoknya saja nampak sebagai pendeta namun hatinya busuk. Nah, silahkan kau mencoba untuk menurunkan aku dari batu ini!”

Pek Yang Ji tertawa mengejek, lalu ia menggerak-gerakkan kedua lengannya ke atas dan ke bawah, mengumpulkan tenaga lweekang. Tulang-tulangnya sampai berbunyi berkerotokan dan kedua lengannya nampak berkilat penuh peluh, tanda bahwa seluruh tenaga telah berkumpul di kedua lengannya. Kemudian, ia memandang dengan mata mencorong ke arah Sui Giok, lalu mendorongkan kedua lengannya dengan sekuat tenaga, memukul dengan tenaga Thai-lek-kim-kong-jiu.

Hawa pukulan yang luar biasa kuatnya menyambar ke arah dada Sui Giok, akan tetapi nyonya ini cepat berjongkok di atas batu dan berbareng mengirim dorongan dengan kedua lengannya ke arah lawan itu. Ia bergerak dengan ilmu pukulan “Dewi Mendorong Batang pohon”, mengumpulkan tenaga lweekangnya untuk mendorong roboh lawannya. Inilah yang ia katakan sebagai akalnya untuk mengalahkan lawan.

Benar-benar Pek Yang Ji tidak mengira akan kecerdikan nyonya ini dan hampir saja ia terkena tipuan ini. Hawa pukulannya sendiri tidak mengenai sasaran, sebaliknya pukulan Sui Giok dengan tepat menyambar dari bawah ke arah lambungnya. Akan tetapi, ahli lweekeh ini mengerahkan tenaganya dan ketika hawa pukulan menyambar, tubuhnya hanya menjadi miring saja, tidak sampai terdorong roboh. Sui Giok terkejut sekali. Tadinya ia merasa girang karena akalnya telah berhasil, akan tetapi siapa kira lawannya demikian kuat sehingga dapat mempertahankan pukulannya yang dapat merobohkan sebatang pohon tadi. Kembali Pek Yang Ji memukul, kini ke arah perut Sui Giok sehingga nyonya ini cepat melompat ke atas menghindarkan angin pukulan dan membalas dengan pukulan dari atas.

Berkali-kali mereka main pukulan, dan kalau Sui Giok selalu berusaha mengelak, adalah pendeta itu dengan beraninya menerima hawa pukulan lawan tanpa terpukul roboh. Bahkan ia lalu mengirimkan serangan pukulan bertubi-tubi sehingga sukar bagi Sui Giok untuk mengelak di atas batu yang tidak berapa luas itu. Hampir saja nyonya ini terpukul roboh dan hanya masih dapat menjaga keseimbangan badannya dengan melancarkan hawa pukulan dari samping untuk menolak dan mengurangi tenaga pukulan lawan.

Ling Ling memandang pertandingan ini dengan wajah pucat. Ia merasa pasti bahwa kali ini ibunya akan kalah, maka ia memandang dengan jidat berkerut dan hati berdebar. Akan tetapi, Sui Giok adalah seorang yang cerdik sekali dan telah banyak mempelajari ilmu dari Bu Lam Nio, di samping kesukaannya membaca buku-buku ketika dulu ia masih berada dengan suaminya. Banyak buku-buku ilmu perang dibacanya sehingga ia menjadi cerdik dan penuh akal.

Kini ia memutar otaknya untuk mencari jalan mengalahkan lawannya yang benar-benar tangguh ini. Tenaga lweekangnya sudah mulai lemah karena banyak dipergunakan dan kini peluh telah memenuhi jidatnya.

Tiba-tiba ia mendapat akal dan dengan keras sekali ia berseru.

“Pendeta busuk, kau rebahlah!” Sambil berkata demikian, ia cepat mendorong dengan gerak tipu “Dewi Mendorong Batang Pohon” lawannya seperti tadi, akan tetapi pukulkannya ini bukan ditujukan ke arah tubuh pendeta itu melainkan ke arah batu besar yang diinjak Pek Yang Ji.

Sui Giok telah mengerahkan tenaga terakhir dan batu yang berat itu terkena dorongannya tak dapat bertahan dan bergerak lalu menggelundung ke belakang. Serangan seperti ini sama sekali tak pernah terduga oleh Pek Yang Ji sehingga pendeta ini terkejut sekali. Terpaksa ia lalu melompat turun kalau tidak mau ikut menggelinding dan jatuh terjengkang.

Merahlah mukanya dan dengan tersenyum pahit ia lalu menjurah ke arah Sui Giok sambil berkata, “Toanio, otakmu yang cerdik telah membuat aku yang tolol tertipu! Aku mengaku kalah.”

Akan tetapi Sui Giok tidak dapat membalas penghormatan ini karena nyonya ini telah menggunakan terlalu banyak tenaga dan setelah akalnya berhasil, ia berdiri sambil memeramkan mata dan menghatur napas. Setelah ia membuka mata kembali, ternyata pendeta itu telah mengundurkan diri ke dalam pos penjagaannya dan Ling Ling telah membimbing tangannya.

“Ibu, kau hebat sekali!” gadis itu memuji, “Kalau tadi aku yang maju, belum tentu aku dapat mengalahkan pendeta yang kuat itu.” Sementara itu, seorang pendeta tingkat dua dari Pek-sim-kauw menghadap Liang Gi Cinjin dangan wajah pucat.

“Sucouw, celaka, orang yang datang telah mengalahkan Sam-suhu, Si-suhu, dan Ngo-suhu!”

Akan tetapi Liang Gi Cinjin yang mendengar laporan ini tersenyum saja. Ia melambaikan tangannya menyuruh murid itu pergi sambil berkata, “”Pergilah keluar dan biarkan orang yang menang sampai ke sini!” Kakek yang sakti ini lalu duduk bersila dan dengan hati gembira ia mengira bahwa “orang yang datang” itu tentulah Liem Sian Lun, muridnya yang baru.

Kini Ling Ling dan ibunya telah berhadapan dengan penjaga keempat, yakni Pek Hong Ji. Murid kedua dari Liang Gi Cinjin ani adalah ahli senjata rahasia dan ia memiliki kepandaian melepas senjata rahasia yang disebut Pek-lian-ci (Bijih Teratai Putih). Begitu berhadapan dengan Ling Ling dan Sui Giok, pendeta ini menantang.

“Kalian baru boleh masuk menemui suhu apabila dapat menghadapi senjata rahasiaku!”

Ling Ling dan Sui Giok terkejut sekali. Mereka belum pernah mempelajari tentang senjata rahasia, dan biarpun mereka tidak takut akan serangan senjata rahasia akan tetapi bagaimana mereka akan dapat mengalahkan lawan ini apabila mereka tidak mempunyai senjata rahasia? Mungkin dengan ginkang dan gerakan mereka yang gesit, mereka dapat menghindarkan diri, akan tetapi itu bukan berarti menang.

Sui Giok yang banyak akal lalu berkata dengan suara penuh ejekan. “Totiang, senjata rahasia hanya dipergunakan oleh penjahat-penjahat dan manusia-manusia curang, maka kata-katamu tadi amat mengherankan hatiku. Bagaimana seorang pendeta dengan hatinya yang putih tega hati untuk melakukan serangan kepada orang lain secara menggelap? Bukankah itu perbuatan curang yang termasuk perbuatan hitam, tidak sesuai dengan hati yang putih?”

Merahlah wajah Pek Hong Ji mendengar ejekan ini. Belum pernah ada orang mengejeknya tentang penggunaan senjata rahasianya, maka ia bertanya menyindir.

“Apakah kalian takut menghadapi Pek-lian-ci di tanganku?”

Kini Ling Ling yang melangkah maju dan menjawab, “Siapa takut menghadapi senjata rahasiamu? Aku tidak mengharapkan pendeta palsu seperti kau untuk berlaku jujur. Majulah dan berbuatlah curang dengan senjata gelapmu, aku akan menghadapimu dengan kaki dan kepalan tangan. Terus terang saja, aku tidak bisa menggunakan senjata gelap seperti kau. Aku tidak sudi berlaku seperti monyet yang tidak berani melawan manusia secara jujur, melainkan naik ke atas pohon dan melempari manusia dengan buah busuk! Hayo, majulah!”

Bukan main sakit hatinya Pek Hong Ji mendengar ucapan gadis muda yang cantik ini.

“Bocah bermulut jahat!” teriaknya sambil melempar kantong Pek-lian-ci ke atas tanah. “Apa kau kira aku tidak dapat merobohkan kau dengan sepasang kepalanku?” Setelah berkata demikian, ia lalu menyerang dengan tangan kosong. Ling Ling menjadi girang melihat sindiran mereka berhasil dan dengan waspada ia lalu menghadapi dan menyambut serangan itu. Ia tidak tahu bagaimana ia harus menghadapi lawan ini apabila pendeta ini benar-benar mempergunakan senjata rahasianya.

Dengan sengit sekali Pek Hong Ji lalu menyerang dan mengeluarkan ilmu silatnya Pek-sim- ciang-hoat yang lihai. Kalau saja ia sudah mewarisi ilmu silat ini sepenuhnya, agaknya takkan mudah bagi Ling Ling untuk mendapat kemenangan. Akan tetapi seperti juga empat orang saudaranya, pendeta ini baru mewarisi delapan bagian saja dari Pek-sim-ciang-hoat.

Betapapun juga, ilmu silatnya sudah lebih masak dari pada kepandaian Pek Yang Ji dan dua adik seperguruannya yang lain dan setiap pukulannya mendatangkan angin berdesir sedangkan gerakannya cepat sekali. Juga di dalam tiap pukulan, ia mempunyai variasi lebih banyak dari pada adik-adiknya.

Pendeta ini biarpun bertangan kosong, akan tetapi ia seperti memiliki empat lengan. Tidak hanya sepasang kepalannya yang menyerang, akan tetapi juga dua ujung lengan bajunya ikut menyambar-nyambar dengan dahsyatnya.

Kalau Sui Giok yang menghadapi Pek Hong Ji, nyonya ini tentu takkan dapat menang. Hal ini diketahui baik oleh Sui Giok yang menonton pertandingan itu dengan hati berdebar. Akan tetapi, menghadapi Ling Ling, Pek Hong Ji mendapatkan lawan yang amat berat. Ilmu silat keturunan dari keluarga Kam sudah merupakan ilmu silat yang luar biasa kuatnya, apalagi ilmu silat Kim-gan-liong-ciang-hoat, bukan main hebatnya. Gerakan-gerakan dua tangan Ling Ling sedemikian cepatnya sehingga nampak seakan-akan gadis ini mempunyai enam buah tangan.

Bagaimanapun juga, setelah bertempur selama lima puluh jurus, barulah Ling Ling berhasil mendesak lawannya. Pada saat itu, Pek Hong Ji menyerang dengan gerak tipu “Harimau Sakti Menubruk Bulan”, kedua tangannya dengan jari-jari terbuka menyerang ke arah kepala Ling Ling, sedangkan dua ujung lengan bajunya yang panjang meluncur ke arah leher gadis itu, melakukan totokan dari kanan kiri.

Posting Komentar