kalau tidak ada dirinya, maka aku pun tidak ada." "Inilah tahu balas budi, tidak melupakan hutang budi, betul?" "Betul." "Tapi pandangan yang kau miliki ini salah" Padahal Tu Liong baru berbincang-bincang dengan Hiong-ki beberapa kalimat saja, Hiong-ki sudah tiga kali berturut-turut menunjukkan dengan gamblang kesalahan yang dibuat oleh Tu Liong.
Ini membuat Tu Liong merasa jengkel.
Dia berkata: "Hiong-ki! Kalau menurutmu pandangan tahu balas budi pun adalah sebuah kesalahan, aku ingin berdebat denganmu" "Tidak perlu berdebat, aku akan segera menjelaskan padamu...." Hiong-ki minum secangkir arak, sepertinya dia memanfaatkan kesempatan ini untuk mencuri sedikit waktu, menimbang-nimbang.
"Tu Liong, saat ini kau sedang memburu konsep membalas budi dengan membabi buta, bisa dibilang saat ini kau berjalan mirip seperti kerbau yang dicocok hidungnya oleh rasa balas budimu itu.
sebenarnya didunia ini, selain balas budi masih ada banyak hal yang lebih besar dan penting." "Apakah itu?" "Kebenaran dan kebijakan" "Kebenaran dan kebijakan?" Tentu saja ini bukan pertama kalinya Tu Liong mendengar kata-kata ini.
"Betul sekali.
Balas budi adalah definisi yang sangat sempit, sedangkan kebenaran adalah definisi yang sangat luas.
Balas budi masih memiliki batas tertentu yang tidak bisa dilewati.
Bagaimanapun besarnya hutang budi yang kau miliki, Kau tidak mungkin menjadikannya alasan sampai tidak memperdulikan nyawamu sendiri, ataupun tidak lagi menjaga nama baikmu.
Sedangkan kebenaran yang sesungguhnya tidak memiliki batasan.
Demi membela kebenaran, kau bisa tidak memperdulikan apapun lagi." "Hiong-ki, penjelasanmu ini benar-benar sangat mendalam." "Kau merasa seperti ini karena matamu sudah ditutupi konsep balas budi" Tu Liong tertegun, dia seperti mendengar suara suara dari kejauhan.
"Hiong-ki, apakah menurutmu semua tindakan ku selama ini salah?" "Mengapa kau punya pikiran seperti ini?" Dari mula Hiong-ki tidak pernah benar benar menjawab sebuah pertanyaan.
"Sepertinya dari kata-kata yang sudah kau ucapkan tadi sudah terlihat jelas" "Apakah kau mengakui kalau kau adalah orang yang baik?" "Ya" "Kalau begitu apakah kau membenci orang yang jahat?" "Tentu saja" "Pada waktu itu Cu Siau-thian sudah memiliki permusuhan dengan Tiat Liong-san.
Karena ilmu silatnya tidak rendah, dan memiliki koneksi yang sangat luas, sehingga dia menghubungi orang-orang penting dari kalangan pemerintahan untuk bekerja sama menghasut dirinya.
Menurutmu apakah tindakan semacam ini adalah tindakan yang dilakukan oleh orang yang baik ataukah tindakan yang hanya akan dilakukan oleh orang yang berhati jahat?" Tu Liong menutup mulutnya rapat-rapat, dia hanya menundukkan kepala.
Melihat gelagat ini, Hiong-ki tidak mengendurkan katakatanya.
"Jelas-jelas terlihat dalam hatimu, kau sudah memiliki jawabannya.
Mengapa kau tidak mengatakannya langsung padaku?" Tu Liong menenggak secangkir besar arak dan lalu berkata dengan suara keras: "Menghasut Tiat Liong-san sebenarnya adalah tindakan orang jahat" "Kau berkata, kau merasa majikanmu orang yang jahat, mengapa kau masih mati matian membelanya" Mengapa kau masih menganggapnya sebagai orang paling penting dalam hidupmu?" "Mungkin saja orang lain akan menilainya sebagai orang yang jahat, namun bagaimanapun bagiku dia adalah orang yang baik." "Kalau misalnya ada seorang pencuri yang sudah merampok semua orang di dunia, dia hanya tidak merampok dirimu.
Apakah kami masih merasa bahwa dia adalah seorang bandit" Kalau misalnya dia menyerahkan semua hasil jarahannya padamu, tidak saja kau tidak akan lagi menganggapnya sebagai seorang bandit, malah sebaliknya, apakah kau akan menganggapnya sebagai seorang pahlawan..." Kata kata Hiong-ki terus-menerus keluar menusuk hati, membuat Tu Liong merasa susah.
Dia tidak bisa mengatakan sepatah katapun.
Setelah berhenti beberapa saat, Hiong-ki kembali berbicara dengan nada ramah "Tu Liong ! manusia mungkin memiliki karakter yang berbeda beda.
Bagi orang yang pertama, mungkin saja sebuah tindakan akan dinilai sebagai sebuah tindakan brutal yang sangat tidak terpuji.
Namun untuk orang yang kedua mungkin saja tindakan yang sama dianggap sebagai pahala yang mulia.
Namun kita tidak bisa mengatakan bahwa orang yang pertama adalah orang yang baik, dan orang yang kedua adalah orang yang jahat." Tu Liong sudah tidak ingin meneruskan argumentasi yang rumit ini, karena dia merasa bagaimanapun juga dia tidak mungkin bisa berada diatas angin dan memenangkan perdebatan.
Karena itu dia berusaha membelokkan topik pembicaraan: "Hiong-ki, pembicaraan kita sudah melenceng jauh dari topik utama.
Baiknya sekarang kita kembali pada topik awal, dan melihat dari sudut pandang yang lain....
...
Cu Siau-thian sudah mencelakai Tiat Liong-san memang adalah tindakan yang sangat tidak baik, betul tidak?" "Tidak salah" "Thiat-yan adalah putri satu-satunya Tiat Liong-san.
Betul tidak?" "Juga tidak salah" "Membalaskan dendam ayah adalah sebuah perkara besar, mengapa kau mengatakan bahwa selamanya Thiat-yan tidak akan melukai Cu Taiya?" Kali ini keadaan berbalik dan Tu Liong memiliki keunggulan dalam perdebatan.
Sangat jelas terlihat Tu Liong merasa sangat senang.
Dia menunggu Hiong-ki melotot terbengong-bengong karena tidak bisa menjawab.
Hiong-ki malah tertawa.
"Apa yang kau tertawakan?" "Kata-kataku adalah sebuah kontradiksi, semua orang pun bisa dengan mudah melihat kesalahan seperti ini.
Apakah kau pikir aku sudah melakukan kesalahan yang bodoh seperti ini?" "Kau selalu menjawab pertanyaan dengan pertanyaan.
Mengapa kau selalu membalikkan pertanyaan dan tidak menjawab secara langsung?" "Membalikkan pertanyaan dapat banyak membantu mempertimbangkan jawaban" "Membantu siapa mempertimbangkan jawaban?" sekarang wajah Tu Liong tampak murung.
"Membantu dirimu, juga diriku" karena jawaban terakhir yang diucapkan oleh Hiong-ki tidak tajam, kata-kata Tu Liong kembali terdengar melembut.
Namun dia tetap tidak melepas-kan pertanyaan yang sudah diajukannya tadi: "Aku masih menunggu jawabanmu" "Ada sebuah barang yang mungkin bisa membantu mewakilkan jawabanku." "Barang apa?" "Sebuah surat" Hiong-ki mengeluarkan sebuah tas yang terbuat dari kulit kambing.
Dari dalamnya dia mengeluarkan sebuah amplop yang sudah terlihat tua.
Diatas amplop kertas tertulis kata-kata berikut: "Untuk adik Tan-ping" beberapa huruf ini benar benar terlihat sangat familiar dimata Tu Liong.
"Tan-ping" Boh Tan-ping?" "Sebaiknya kau lihat dulu isi suratnya...." Tu Liong mengeluarkan surat dari dalam amplop.
Diatas surat tertulis: "Adik Tan-ping yang terhormat, lakukanlah semua sesuai dengan rencana yang sudah ditetapkan sebelumnya, ketika melakukannya harus akurat, tindakanmu harus kejam.
Harap diingat ! " tertanda Siau Tian" Siau Tian" Cu Siau-thian! Tidak salah.
Ini memang tulisan tangan majikannya Cu Siau-thian.
Sekali lihat saja Tu Liong sudah langsung mengenali bahwa ini adalah tulisan tangannya.
"Tu Liong, Cu Siau-thian dengan Boh Tan-ping memiliki hubungan kekerabatan yang sangat dekat.
Apakah kau tidak memikirkan ini sebelumnya?" "Aku hanya ingat tadi kau mengatakan sepatah kata berikut.
Boh Tan-ping adalah orang yang setia.
Dahulu dia setia kepada Tiat Liong-san, dan sekarang dia setia pada Thiat-yan.
Kalau dilihat dari surat ini, dia jelas-jelas juga setia pada Cu Siau-thian.
Satu orang bisa setia dan mengabdi pada lebih dari dua orang, pastilah kesetiaannya akan sedikit berkurang." "Kata katamu itu masuk diakal.
Namun kau tidak mengerti kejadian yang sesungguhnya" Tu Liong hanya bisa melihat Hiong-ki sambil terdiam.
Dia menunggu lanjutan kalimatnya.
"Kesetiaan adalah salah satu syarat mendasar yang harus dimiliki seorang pendekar silat.
Setia kepada majikannya, setia kepada kawan-kawannya.
Pada waktu itu dia sudah mengangkat saudara dengan Cu Siau-thian, ini adalah kesetiaan sebagai seorang teman.
Tentu saja mereka juga bekerja sama dalam menghadapi banyak persoalan.
Asalkan urusannya tidak menyinggung Tiat Liong-san, dia pasti bersedia melakukan apapun itu..
"Kalau sekarang?" "Kalau sekarang?" Hiong-ki sepertinya tidak mengerti apa yang dimaksud oleh Tu Liong.
"Sekarang ini majikannya adalah Thiat-yan.
Sedangkan Thiat-yan dan Cu Siau-thian saling menyimpan dendam.
Kirakira Boh Tan-ping berdiri di sisi mana?" "Tentu saja berdiri di sisi Thiat-yan" "Kata-katamu itu terdengar terlalu yakin, sehingga terkesan gegabah" "Apakah mungkin Boh Tan-ping bisa berdiri di sisi Cu Siauthian?" "Mengapa kau tidak mengatakan apa yang sedang ada dipikiranmu?" "Apakah kau pikir aku sedang menyimpan sesuatu darimu?" "Setidaknya kau tidak berterus terang?" "Oh" Apakah kau bisa menyadarkanku?" "Tadi kau berkata bahwa Thiat-yan selamanya tidak mungkin akan melukai Cu Siau-thian.
Kata kata ini mengandung arti lain yaitu Thiat-yan selamanya pun tidak mungkin akan menemukan cara untuk melukai Cu Siau-thian.
Mengapa demikian" Karena semua tindakan yang dilakukan oleh Thiat-yan pasti langsung akan diketahui oleh Boh Tanping, oleh karena itu dia pasti akan selalu melaporkannya pada Cu Siau-thian.
Betul tidak?" "Betul.
Tu Liong! aku merasa sebaiknya masalah ini kau coba buktikan sendiri.
Pasti akan lebih berguna daripada aku yang memberitahumu." "Kalau begitu, Boh Tan-ping bukanlah orang yang benarbenar setia." "Kata-katamu benar juga, setidaknya diper-mukaan dia terlihat seperti itu." "Selama ini dia selalu menjadi kuping dan mata bagi Cu Siau-thian." Hiong-ki tidak menyetujui pernyataan ini, sebaliknya dia pun tidak membantah.
"Mengapa Cu Taiya tidak menceritakan semua masalah ini padaku?" Sebenarnya Tu Liong bergumam sendiri, tapi juga Hiong-ki menjawabnya.
"Pertanyaan itu hanya memiliki satu jawaban.
Cu Siau-thian merasa bahwa kau masih belum cukup dapat dipercaya sepenuhnya." Tu Liong minum arak banyak-banyak.
Setelah itu dia kembali bertanya, "Apakah surat ini boleh aku bawa pulang?" "Jangan.
Ini adalah sebuah barang bukti.
Aku harus ingatkan dirimu.
Kau sama sekali tidak boleh menceritakan semua masalah ini dihadapan Cu Siau-thian.
Sedikitpun tidak boleh bocor." "Memangnya kalau rahasia ini bocor, ada akibat yang seperti apa?" "Kau bisa mati" "Kalau begitu biarkanlah aku mati" Tu Liong bergegas pergi keluar.
Hiong-ki segera berdiri dan mencegat jalannya.
"Apa maksud dari kata-kata mu tadi?" "Aku akan selalu mengingat kesetiaan hatiku pada Cu Siauthian.
Namun ternyata dia belum mempercayai diriku.
Apakah hidupku ini masih ada artinya?" "Kau seorang laki-laki dewasa.
Demi membela kebenaran, demi membela keadilan lalu mati, ini bukanlah hal yang jelek.
Namun kau mau mati demi rasa ingin membalas budi, demi melampiaskan emosi" Itu adalah tindakan yang sangat bodoh.
Aku rasa kau sudah tahu" Tu Liong hanya menatap Hiong-ki.
Setelah beberapa lama dia baru meneruskan kata-katanya, "Hiong-ki, aku sangat senang mendapat seorang teman seperti dirimu.
Sekali melihat dirimu pun aku langsung merasa suka.
Bukan karena kau sudah menolong diriku.