Sakit Hati Seorang Wanita Chapter 21

NIC

Sementara itu, Ta Giok setelah me mbereskan pakaiannya, lalu pura-pura rebah pingsan di dekat semak-se ma k di tepi jalan. Ternyata rombongan itu terdiri dari belasan orang perajurit dipimpin oleh ayahnya sendiri dan dite mani oleh Siauw Giok yang menjadi penunjuk jalan.

Ayahnya segera melompat turun dan bersama Siauw Giok menyadarkan Ta Giok. Kepala suku itu menghujaninya dengan pertanyaan di mana adanya harimau itu, akan tetapi karena khawatir kalau-kalau ayahnya merasa curiga, Ta Giok hanya mengge leng kepala ketakutan dan pura-pura tidak ma mpu bicara saking takutnya. Mereka me mbawa Ta Giok pulang dan dara ini dapat menyimpan rahasianya, hanya menyimpan pertemuannya dengan Pangeran Huang Thai Ci itu sebagai sebuah kenangan yang manis dan indah sekali. Akan tetapi ayahnya bukan orang bodoh dan diam-dia m ayahnya menaruh hati curiga karena terjadi perubahan dalam sikap Ta Giok yang suka duduk ter menung. Karena itu, ayahnya lalu me maksanya untuk menikah dengan seorang kepala suku yang masih muda dan yang menjadi sahabatnya.

Pernikahan Ta Giok ini terdengar pula oleh Pangeran Huan Thai Ci. Tentu saja hati pangeran ini merasa kecewa sekali dan ketika terbuka kesempatan, yaitu ketika kaisar menga mbil keputusan untuk me mbasmi kelo mpok-ke lo mpok suku bangsa yang tidak mau tunduk kepada Kerajaan Ceng-tiauw, pangeran ini lalu mengepalai sendiri pasukan yang kuat dan dia lalu menyerbu ke perka mpungan suku bangsa di mana Ta Giok ini menjadi isteri kepala sukunya. Dia me mbas mi kepala suku itu dan berhasil merampas Ta Giok dan Siauw Giok. Pertemuan dua hati yang dipisahkan keadaan ini a mat mengge mbirakan kedua pihak. Dengan penuh kasih sayang, Huang Thai Ci lalu mengangkat Ta Giok menjad i isterinya, dan Siauw Giok lalu dinikahkan pula dengan adiknya, yaitu Pangeran Tuo Ek Kun.

Sifat mata keranjang Pangeran Huang Thai Ci me mang sudah tidak ketulungan lagi! Biarpun d ia sudah me nguasai Ta Giok sebagai isterinya, namun melihat betapa Siauw Giok yang menjad i adik iparnya kini pun nampa k cantik jelita menyaingi kakaknya, dia tidak dapat menahan gelora hatinya. Dan karena adiknya pun merupakan seorang pria yang tidak pantang melakukan pelanggaran susila, maka terjadilah tukar- menukar antara kakak beradik ini! Bukan merupakan ha l yang aneh lagi kalau seringkali Ta Giok mene mani adik iparnya dalam kamarnya, sebaliknya Siauw Giok tidur bersa ma Huang Thai Ci' Peristiwa seperti itu tidak jarang terjadi di dalam istana yang megah dan mulia, bahkan seringkali di te mpat- tempat yang dianggap penuh kemuliaan dan kemewahan ini terjadi pelanggaran susila yang lebih hebat dibandingkan dengan yang terjadi di luar tembok istana. Hal ini adalah karena kebebasan para wanita di dalam tembok istana a mat terbatas, dan kehidupan mereka itu seperti di dalam rumah penjara saja, di dalam tahanan walaupun mereka berenang dalam kemewahan. Dan para pangeran, keluarga kaisar, yang merasa bahwa mereka berada di puncak kekuasaan, kadang- kadang tidak pantang melakukan hal-hal yang tidak pantas, bahkan yang tidak akan dilakukan oleh seorang petani gunung yang bagaimana terbelakang dan bodoh sekalipun. Tentu saja hal-hal se maca m itu tidak pernah dicatat di dalam sejarah. Sejarah orang-orang besar selalu penuh dengan kebaikan- kebaikan dan kebersihan-kebersihan belaka, penuh dengan catatan perbuatan yang patut-patut dan mulia.

Demikianlah, ketika Pangeran Huang Thai Ci diangkat menjad i kaisar menggantikan ayahnya dan berjuluk Kaisar Thai Cung dari kerajaan Ceng, Ta Giok yang berasal dari keluarga kepala suku bangsa kecil sederhana itu diangkat pula menjad i Per maisuri! Dan ia masih menjadi per maisuri yang amat berpengaruh dan berkuasa ketika balatentara Mancu terus mengancam kota raja Kerajaan Beng-tiauw yang sudah hampir runtuh itu.

Dalam keadaan Kerajaan Beng-tiauw yang sudah makin le mah itu, tentu saja roda pemerintahan tidak dapat berjalan lancar. Para pembesar di daerah-daerah seperti terlepas dari pengaruh kota raja dan mereka itu seolah-olah berdiri sendiri, menjad i raja-raja kecil di daerah masing-mas ing yang berada di dalam kekuasaan mereka. Dan dalam hal ini pun, hukum rimba tetap berlaku. Pe mbesar yang dekat dengan pasukan, terutama pembesar yang menguasai atau mengepalai pasukan yang terkuat, dialah yang menjadi raja tanpa mahkota! Dengan moda l kekuatan pasukannya, dia dapat memaksakan kehendaknya di daerah yang dikuasainya dan tidak ada siapa pun yang berani menentangnya. Hal ini terjadi karena atasan mereka yang lebih kuat dan besar kekuasaannya berada di kota raja dan kota raja sedang kacau dilanda pemberontakan- pemberontakan.

Akan tetapi, di mana ada kekeruhan, di situ pasti ada yang ingin me manc ing ikan di air keruh, manus ia- manusia yang ingin me mpero leh keuntungan dari keadaan kacau itu. Setiap kali negara mengalami kekacauan, pasti muncul oknum- oknum yang mencari sasaran dan ingin me mperoleh keuntungan diri sendiri me lalui kekacauan-kekacauan itu. Hal ini terjadi karena terbukanya kesempatan-kesempatan bagi mereka. Karena itu, ada benarnyalah kalau dikatakan bahwa kesempatan men imbulkan kemaksiatan! Demikian pula dengan para pe mbesar tinggi di kota raja. Mereka melihat kesempatan terbuka dengan adanya penguasa-penguasa daerah yang berdiri sendiri di daerah-daerah. Dengan pengaruh dan kekuasaan mereka, para pe mbesar tinggi ini mendatangi para pe mbesar daerah, menggertaknya dan menganca mnya dengan tuduhan korupsi dan kalau mereka me lawan, akan dituduh pe mberontak! Tentu saja, di jaman merajalelanya pe mberontakan itu, para pejabat daerah paling takut dituduh pemberontak dan untuk meredakan kemarahan dan ancaman para pejabat tinggi yang datang dari kota raja untuk "mencar i-cari kesalahan" itu, para pembesar daerah tidak sayang untuk menge luarkan banyak harta guna menyogok. Maka merajalela pula penyogokan dan penyuapan, agar para pemeriksa dari kota raja itu me laporkan yang baik- baik saja men genai daerah mereka!

Di kota Thian-cin yang dekat dengan kota raja, hal serupa juga terjadi. Para pejabat kota ini, tidak terkecuali, menggunakan keadaan selagi pe merintah pusat le mah, mereka ini hidup sebagai raja-raja kecil. Sebagai seorang kepala jaksa, maka Pui Kian atau Pui Taijin (Pembesar Pui), tidak mau ketinggalan berlumba mengumpulkan kekayaan dan me mper kuat kedudukan. Dipeluknya komandan pasukan keamanan kota Thian-cin sebagai kawan akrabnya dan mereka berdualah yang seakan-akan menjadi raja-raja kecil di Thian-cin. Pui Taijin sebagai seorang kepala jaksa, berhak untuk menangkap siapa saja dan menuntutnya dengan tuduhan-tuduhan palsu atau tidak, dan men jebloskan mereka yang dianggap tidak taat atau menentang ke dalam tahanan penjara. Dan komandan pasukan itu, Ji-ciangkun (Perwira Ji), berdiri di belakang sang jaksa bersama pasukannya dan tidak seorang pun berani menentang atau me lawan mereka! Dengan cara demikian, mudah saja bagi Pui Kian untuk me meras para hartawan, merampas tanah-tanah pertanian yang luas dan melakukan segala maca m penindasan lagi.

Karena itu, tidaklah mengherankan apabila dia me njadi panik setengah mati ketika mendengar berita pengumuman bahwa pekan depan akan datang seorang pe mbesar tinggi dari kota raja untuk mengadakan pemer iksaan di Thian-cin! Dan dia mendengar bahwa Kwa Taijin (Pembesar Kwa) itu adalah seorang pembesar tinggi yang keras dan suka menga mbil tindakan tegas, juga me miliki kedudukan yang kuat di kota raja! Tentu saja dia menjadi panik dan ketakutan, maka cepat dia me ne mui 3i Ciangkun, sekutunya di Thian-cin.

"Ciangkun, engkau harus dapat menyelamatkan aku sekali ini. Aku gelisah sekali meng hadapi pe meriksaan Kwa Taijin. Kabarnya dia keras sekali dan suka bertindak tegas!" demikian katanya dengan muka agak pucat membayangkan kemungkinan-ke mungkinan buruk yang akan dapat menimpa dirinya.

Wajah pembesar militer itu juga na mpak gelisah. "Pui Taijin, permintaanmu itu sungguh me mbingungkan hatiku. Bagaimana aku akan dapat menolongmu? Aku sendiri pun bingung mendengar dia akan muncul di sini. Sungguh heran, bagaimana dia tahu-tahu akan me lakukan pe meriksaan di sini? Aku khawatir kalau-kalau ada orang yang mengadu ke kota raja." "Apa..... apa maksudmu? Apakah engkau tidak dapat me mperguna kan kekuasaan dan pengaruhmu untuk. untuk

sekedar me le mahkan semangatnya?"

"Aih, kau tidak tahu, Taijin. Pembesar she Kwa itu amat berkuasa dan hatinya seperti terbuat dari baja. Kalau dia sedang tidak senang, biarpun disogok harta berapa banyak sekalipun, dia t idak akan goyah. Dan aku bahkan pernah menjad i korban ketegasannya. Ketahuilah bahwa aku dipindah ke Thian-cin dari kota raja juga karena dia!"

"Apa..... apa maksudmu?" tanya pembesar she Pui itu dengan kaget dan semakin panik.

Perwira itu menarik napas panjang, mengenang kembali pengalamannya yang pahit ketika dia menjad i korban ketegasan Kwa Taijin. Ketika itu, lima tahun yang lalu, kedudukannya adalah seorang panglima di kota raja yang berkedudukan baik. Akan tetapi, pada suatu hari dia telah me lakukan kesalahan, menggunakan kedudukannya untuk menekan keluarga yang sejak lama menjad i musuhnya. Dia berhasil menggunakan kekuasaannya untuk menuntut keluarga itu sehingga mereka ditahan dan dihukum dengan tuduhan me lakukan perlawanan kepada alat negara dan me mberontak, dan dia berhasil menguasai se mua harta milik musuh itu. Dan gara-garanya hanyalah karena pu-teranya bentrok dan berkelahi dengan putera keluarga itu, dan puteranya itu kalah dalam perkelahian itu dan terluka. Akan tetapi, akhirnya urusan itu sa mpai ke tangan Kwa Taijin yang turun tangan menyelidiki dan mengad ilinya me lalui pengadilan kota raja. Dalam urusan ini, dia dianggap bersalah. Keluarga musuh itu dibebaskan, harta mereka dikemba likan dan dia sendiri lalu diturunkan pangkatnya dan dipindahkan ke Thian- cin. Dan kini, sahabatnya ini minta kepadanya agar mau me lindunginya dari Kwa Taijin! Tentu saja nyalinya belum apa- apa sudah menjadi kecil. Se mua ini dia ceritakan kepada Pui Taijin yang menjadi semakin panik. "Celaka, kalau begitu, bagaimana baik nya?"

"Jangan khawatir, sahabatku. Sebaik-baiknya orang, sekeras-kerasnya orang, pasti ada cacatnya dan ada kele mahannya. Kukatakan tadi bahwa kalau hatinya sedang tidak senang, Kwa Taijin itu dapat keras seperti baja dan sukar sekali dibelokkan kehendak dan keputusannya, bahkan disogok pun tidak dapat. Akan tetapi kalau hatinya sedang senang, dia pun murah hati sekali. Karena itu, engkau harus berusaha menyenangkan hatinya.”

"Bagaimana caranya, ciangkun? Ingat, ini kepentingan kita berdua. Engkau harus membantuku me mikirkan jalan yang baik agar kita berdua dapat lolos dari bahaya. Bagaimana caranya untuk menyenangkan hatinya? Perempuan? Makan minum yang lezat?"

Perwira itu menggeleng kepala. “Bukan, dia bukan tukang ma in perempuan, bukan pula pelahap ma kanan lezat. Akan tetapi dia punya kelemahan terhadap batu-batu permata yang indah, terutama sekali batu kemala dan mutiara. Terhadap dua maca m batu permata itu, melebihi batu-batu mulia yang lain, dia tergila-gila."

"Batu giok (ke mala)? Mutiara? Wah. alangkah

mahalnya !"

"Apa artinya harta benda, taijin? Habis harta, bisa cari lagi. Kalau kehilangan kedudukan, apalagi dihukum, kita akan mati seperti tikus dalam jebakan."

Pembesar itu mengangguk-angguk seperti ayam makan jagung. "Kau benar, kau benar! Baiklah, mula i sekarang aku akan mengumpulkan batu giok dan mutiara, akan kubeli dari semua pedagang batu per mata. Akan kukumpulkan yang paling bagus, biar sampai habis uang simpananku asal hatinya menjad i senang."

Posting Komentar