Hok Hwat Hwesio berkata kepada semua orang dengan suara keras.
“Muridku telah dijatuhkan orang dalam pertandingan. Ini sebetulnya adalah hal yang biasa saja dan adalah salah muridku sendiri yang masih bodoh. Tapi dalam hal ini, tanpa diketahui orang lain, telah terjadi penghinaan terhadap muridku dan aku sendiri. Karena dengan diam-diam ada orang yang melukai muridku. Maka sekarang, sebagai seorang laki-laki dan seorang gagah, aku minta orang itu naik ke panggung untuk mengadu kepandaian dengan terang-terangan. Orang itu adalah pengemis muka buruk yang tadi mengaku menjadi adik dari Lie-enghiong. Hayo pengemis muda muka
buruk yang berani pakai julukan Ouw-bin Hiap-kek. Kau naiklah, jangan sembunyi di belakang Lie-enghiong dan Kong-kauwsu sebagai seekor anjing!”
Semua penonton mendengar ini merasa tegang sekali, karena baru mereka tahu bahwa telah terjadi hal yang aneh dan bahwa kini tentu akan terjadi adu tenaga yang betul- betul hebat di atas panggung, bukan merupakan demonstrasi atau perebutan kejuaraan. Tapi yang mengherankan mereka, mengapa hwesio guru Biauw Kak yang galak dan kuat ini menantang adik Lie Kiat yang masih muda dan berpakaian seperti pengemis itu?
Sementara itu, mendengar betapa adiknya dimaki orang, Lie Kiat marah sekali dan hampir saja ia ayunkan kaki naik ke panggung dengan nekat. Tapi Kong Liak menahannya. Guru silat itu lalu menatap wajah Lie Bun dengan tajam lalu bertanya.
“Ji-kongcu, apakah kau murid Kang-lam Koay-hiap?” Lie Bun mengangguk.
“Kalau begitu, mengapa kongcu diam saja mendengar tantangan Hok Hwat Hwesio? Sayangilah nama besar suhumu yang mulia.”
Lie Bun tersenyum.
“Kong suhu, bukan aku jerih kepadanya. Tapi aku sedang gembira sekali melihat betapa kakakku membelaku. Koko, sekarang kau lihatlah adikmu akan mempermainkan hwesio gundul yang sombong itu.” Lie Kiat memandang kaget. Tapi terkejutlah ia karena adiknya telah tidak berada di situ lagi.
Ketika ia melihat ke atas panggung, ternyata Lie Bun telah berdiri menghadapi Hok Hwat Hwesio dengan cengar-cengir menggoda.
“Bangsat kecil, sebenarnya aku malu untuk turun tangan di atas panggung untuk menghajarmu. Tapi kalau tidak dihajar, mungkin kelak kau akan menjadi setan pengganggu orang. Apakah kau betul-betul terima tantanganku untuk mengadu tenaga?”
Lie Bun tersenyum dan berkata dengan suara lebih keras dari pada suara Hok Hwat Hwesio.
“Ah, tidak sangka ada hwesio yang masih malu-malu kucing. Jangan malu-malu, losuhu. Bukankah dengan menantang aku di atas panggung ini kau tampak gagah dan jagoan sekali? Lihat, ribuan orang melihatmu. Lihatlah, semua mata ditujukan kepadamu. Ah, namamu akan termasyur benar kali ini. Angkat sedikit dadamu biar makin gagah tampaknya. Kau tantang aku? Tentu saja kuterima. Sekarang aku sudah berada di sini. Kau mau mengajak main apa?”
Mendengar kata-kata yang penuh olok-olok itu, beberapa orang tertawa geli hingga Hok Hwat Hwesio makin marah.
“Anak kurang ajar, kau murid siapakah maka tingkahmu seperti orang yang tidak pernah dididik?” bentaknya
“Dan kau murid siapakah? Lagakmu besar amat! Sudahlah tak perlu bertanya guru segala. Cukup kau ketahui bahwa aku adalah Ouw-bin Hiap-kek dan namaku Lie Bun, habis perkara!”
Diejek demikian itu, Hok Hwat Hwesio heran sekali hingga untuk sesaat lamanya ia tak dapat berkata-kata. Mengapa anak ini begini berani? Benarkah anak ini adik Lie Kiat?
“He, hwesio tinggi besar! Kenapa kau diam saja. Jadi atau tidak tantanganmu? Para penonton sudah tidak sabar menunggu.”
Kembali terdengar tertawa di sana sini.
“Anak kecil berani mampus! Biar kuberi hajaran beberapa tamparan pada mulutmu yang kurang ajar!”
Sehabis berkata demikian, tangan Hok Hwat Hwesio menampar ke arah pipi Lie Bun. Tapi mana anak muda ini mau pipinya ditampar orang? Ia loncat berkelit dengan cekatan sekali sambil keluarkan suara mengejek.
Hok Hwat Hwesio menjadi marah dan kirim pukulan berat ke arah dada Lie Bun.
“Hwesio besar, kurang rendah pukulanmu!” Lie Bun mengejek sambil bongkokkan tubuh dan melesat dari bawah lengan lawannya. Semua penonton tertawa riuh karena pertandingan ini lucu sekali. Sedangkan Lie Kiat kerutkan alis karena ia khawatir sekali melihat gerakan adiknya yang kelihatannya seperti bukan gerakan silat itu.
“Ah, celaka, jangan-jangan ia tidak mengerti silat,” katanya perlahan tapi terdengar juga oleh suhunya yang berdiri di sebelahnya.
“Jangan kau cemas, Lie Kiat. Kepandaian adikmu itu masih beberapa lipat lebih tinggi dari pada kepandaianku atau kepandaian Hok Hwat Hwesio,” kata Kong Liak dengan mata berseri dan mulut tersenyum.
Lie Kiat terkejut sekali dan memandang suhunya dengan hati tidak percaya. Kemudian ia melihat lagi ke atas panggung.
Setelah beberapa kali memukul tapi selalu dapat dikelit oleh Lie Bun dengan lincahdan lucu. Terkejutlah Hok Hwat Hwesio. Ia merasa penasaran sekali dan sambil berseru keras ia keluarkan tendangan Siauw-cu-swie, yakni tendangan berantai yang berbahaya sekali. Kedua kaki hwesio yang besar dan kuat itu seakan-akan berubah menjadi kitiran dan tiada hentinya bergerak bertubi-tubi menendang ke arah bagian- bagian berbahaya dari Lie Bun. Sambil menggerakkan kakinya menendang, Hok Hwat Hwesio keluarkan seruan-seruan pendek untuk mengatur tenaga.
Semua orang, termasuk Lie Kiat keluarkan teriakan tertahan dan ngeri. Kembali Kepangkuan Ibu Yang Bijak
TAPI Lie Bun bagaikan seperti seekor monyet sakti, gerakan tubuhnya dengan cepat dan imbangi gerakan kaki lawannya hingga dengan cepat sekali ia bisa ambil ketika untuk berkelit tiap kaki yang datang menendang. Juga untuk mengimbangi tenaga kelitnya, ia perdengarkan seruan-seruan. “Hai! Yehh! Hayaaaa!!!” berkali-kali hingga semua orang bersorak riuh karena pemandangan di atas panggung di saat itu memang dapat menggembirakan orang.
Tampak betapa tubuh hwesio yang tinggi besar ini bergerak-gerak maju sambil kedua kakinya berganti-ganti terayun keras. Sebaliknya Lie Bun sambil mundur berkelit ke sana ke mari sambil gerak-gerakkan kedua lengan untuk menjaga keseimbangan tubuh dan loncatnya mengitari panggung. Dan dari mulut kedua orang itu tiada hentinya terdengar seruan-seruan yang berlainan hingga tampak seperti dua orang pelawak yang sedang bermain-main saja.
Juga Lie Kiat merasa kagum dan gembira sekali, hingga hampir saja ia berjingkrak dan menari kegirangan karena bangga melihat gerak-gerik adiknya.
Setelah mengelilingi panggung tiga putaran, maka tahulah Hok Hwat Hwesio bahwa tendangannya Siauw-cu-twie yang biasanya sangat dibanggakan dan jarang yang dapat menahannya ini, ternyata kali ini tak ada gunanya. Maka ia lalu turunkan kakinya dan karena penggunaan kedua kaki adalah jauh lebih banyak makan tenaga dari pada penggunaan kedua tangan, maka setelah menurunkan kakinya, Hok Hwat Hwesio yang sudah agak tua itu terengah-engah menarik napas. Lie Bun berdiri dan dengan gaya lucu ia meniru hwesio itu dan sengaja terengah- engah seperti orang yang sudah kehabisan napas.
Kembali para penonton tertawa geli dan Hok Hwat Hwesio menjadi marah sekali. Ia tahu bahwa ia berhadapan dengan murid seorang pandai. Tapi ia sudah tak dapat mundur lagi, sudah kepalang. Kini ditambah dengan sikap Lie Bun yang sengaja mempermainkannya. Ia murka sekali dan maju menubruk dengan gemas.
Lie Bun berkelit cepat dan hwesio itu lalu keluarkan ilmu silat Kiauw-ta Sin-na yang hebat dan berbahaya.
Menghadapi ilmu silat yang juga telah dikenal baik ini, Lie Bun tidak menjadi bingung dan ia lalu keluarkan Bie-ciang-kun-hwat.
Sebenarnya kalau yang melakukannya orang lain, tentu saja Bie-ciang-kun-hwat tidak mungkin dapat menandingi Kiauw-ta Sin-na yang mempunyai seratus dua puluh jurus-jurus yang lihai itu. Tapi karena Lie Bun memang telah digembleng secara hebat oleh guru yang luar biasa pula, biarpun dengan ilmu silat apapun juga, ia tentu akan dapat menandingi lawannya yang sesungguhnya masih kalah jauh olehnya.
Pada jurus ke tiga puluh, Lie Bun menganggap telah cukup lama mempermainkan lawannya, maka ia segera percepat gerakannya dan kini ia mulai menyerang.
Hwesio yang sudah terheran-heran melihat kelihaian anak muda muka hitam itu, kini terkejut sekali dan mengeluarkan seruan tertahan. Gerakan anak itu demikian cepat dan tenaga pukulannya demikian keras hingga ia terpaksa mundur terus.
Para penonton yang tadinya bersorak ramai menjadi kesima dan dengan mata terbelalak dan mulut ternganga mereka lihat bagaimana Hok Hwat Hwesio yang terkenal gagah itu kini main mundur memutari panggung dan didesak oleh Lie Bun.
Hok Hwat Hwesio mandi keringat dingin dan ia telah menjadi pening dan kedua matanya berkunang-kunang.
Lie Bun hanya mendesak terus dan mengirim pukulan-pukulan berbahaya, tapi setiap pukulannya akan berhasil, ia menariknya mundur. Didesak secara begini, akhirnya Hok Hwat Hwesio tidak kuat lagi dan gerakan kakinya terhuyung-huyung. Maka ia lalu loncat mundur dan ketika kakinya yang gemetar dan lemas itu menginjak papan panggung, hampir saja ia terjatuh. Cepat-cepat ia berteriak.
“Tahan, aku menyerah!”
Melihat betapa hwesio tinggi besar itu dengan tak malu-malu menyatakan menyerah, tiba-tiba berubahlah perasaan Lie Bun. Ia tidak tega lagi untuk mempermainkan. Tadi ia sengaja mempermainkan karena melihat lagak yang angkuh dari hwesio itu. Tapi sekarang setelah hwesio itu mengaku kalah, ia menjadi kasihan.
Lie Bun menjura dan berkata. “Losuhu, kau sengaja mengalah.” Tapi Hok Hwat Hwesio segera balas menjura. “Enghiong yang muda, sungguh kau gagah perkasa. Sekarang tahulah pinceng bahwa dunia ini lebar sekali dan banyak sekali terdapat orang-orang gagah yang luar biasa. Bolehkah sekarang pinceng mengetahui siapakah nama guru enghiong yang mulia?”
“Suhuku adalah Kang-lam Koay-hiap.”
Maka tercenganglah Hok Hwat Hwesio dan setelah berkali-kali ia berkata “Maaf, maaf!” ia lalu loncat turun dan ajak muridnya cepat tinggalkan tempat itu. Lie Bun juga loncat turun dan ia dipeluk oleh kakaknya. Lie Kiat girang sekali dan mendesak agar nanti Lie Bun di rumah suka memberi pelajaran ilmu silat seperti yang dimainkan tadi padanya.
Lie Bun hanya tersenyum dan mereka lalu pulang bersama Kong Liak. Lie Kiat yang berwatak sombong, sebelum tiba di rumah mengajak adiknya memasuki sebuah toko pedagang pakaian dan memaksa adiknya supaya mengganti pakaiannya yang disebut memalukan itu. Untuk menyenangkan hati kakaknya, terpaksa Lie Bun bertukar pakaian yang mewah dan baru hingga ia sekarang tampak agak lumayan juga.
Hati dalam dada Lie Bun berdebar-debar dan lehernya bagaikan dicekik karena terharu ketika ia memasuki rumah gedungnya yang telah dikenal baik itu. Ia tahu bahwa pada sore hari tentu ayah ibunya berada di dalam kamar mereka, maka begitu menginjak halaman gedung ia segera berlari-lari masuk.
Lie Ti dan isterinya sedang duduk menghadapi teh wangi. Lie-wangwe sudah tampak tua dan rambut di atas telinganya telah memutih. Tapi Lie-hujin biarpun mukanya telah menjadi agak kurus, tapi masih tampak cantik.
Mereka tercengang ketika melihat seorang pemuda lari masuk dan tiba-tiba berlutut di depan mereka sambil berseru.