Pendekar Wanita Baju Putih Chapter 26

NIC

“Aya...! ia berseru sambil berkelit cepat, tapi tak disangkanya gerakan pedang Giok Cu yang cepat sudah datang menyerang lagi!

“Bagus!” teriaknya dan menangkis. Kini Giok Cu yang terkejut karena tangkisan itu berat sekali hingga tangannya tergetar. Ia tahu lawannya bukan orang lemah, maka cepat tangan kirinya mencabut sabuk suteranya yang segera disabetkan ke arah muka lawannya. Lawannya terkejut dan melihat benda panjang warna kuning bagaikan ular menyambar mukanya, ia berkelit, tapi benda itu cepat sekali gerakkannya hingga pundaknya masih tercambuk! Ia rasakan pundaknya panas hingga terhuyung-huyunglah ia ke belakang sambil menjerit:

“Aha, lihai sekali!”

Melihat kawannya tak dapat menangkap gadis itu bahkan kena terpukul sabuk, pemimpin mereka yang paling tua itu merasa kagum dan tiba-tiba ia bertanya kepada Giok Cu:

“Nona berpakaian putih, bersenjata pedang dan sabuk. Bukankah Pek I Lihiap?”

“Aku memang Pek I Lihiap, habis kalian mau apa? Pergilah sebelum aku ambil kepala kalian semua!” jawab Giok Cu dengan jumawa. Orang tua itu tertawa besar melihat lagak gadis itu.

“Pek I Lihiap kau sombong sekali. Kalau baru mempunyai kepandaian seperti ini saja, tak mungkin kau mampu ambil kepala kami. Tapi kami mempunyai urusan lebih penting dan tidak ada waktu bermain-main maka maafkanlah kami!” Ia lalu memberi tanda kepada kawan-kawannya yang cemplak kuda masing- masing dan melanjutkan perjalanan. Giok Cu mendengar betapa mereka goda dan tertawai pemuda yang menggodanya tadi. Diam-diam Giok Cu bernapas lega. Ia maklum bahwa untuk melawan pemuda tadi itu saja belum tentu ia bisa menang. Apa lagi melawan yang lain-lain yang agaknya berkepandaian tinggi, terutama pemimpin itu. Ia heran dan ingin tahu siapakah rombongan itu. Langgam bicaranya seperti orang- orang kota.

Karena tidak mempunyai tujuan tertentu, maka Giok Cu ikuti jejak mereka. Setelah hari mulai gelap, sampailah ia di kota Liok-an-kia. Ia memilih kamar di hotel yang terbesar. Ketika ia diantar oleh pelayan ke kamarnya, ia mendengar suara orang bercakap-cakap dan ia kenal bahwa orang-orang yang sedang bercakap-cakap di kamar sebelah adalah rombongan yang ribut dengan dia di hutan tadi.

Karena merasa curiga dan ingin sekali tahu darimana datangnya orang-orang ini, ia hendak mengintai dan mendengar pembicaraan mereka. Kebetulan sekali ia dapatkan sebuah lobang kecil dinding papan yang memisah kamarnya dengan kamar besar mereka. Ia melihat mereka berlima mengelilingi meja menghadapi arak dan makanan. Ia pasang telinga mendengar dengan penuh perhatian.

“Kita harus berhati-hati dan jangan gegabah. Ciu-sute tadi berlaku sembrono sekali, harap saja hal semacam itu jangan terulang lagi. Kita sedang menghadapi tugas besar dan berat, jangan libat diri dengan segala hal yang reme-reme.

“Tapi apakah beratnya menangkap seorang sastrawan lemah semacam Thio Seng?” pemuda yang tadi menganggu Giok Cu itu berkata menghina.

“Ciu-sute, kau masih muda dan belum banyak pengalaman. Jangan kau kira mudah saja menangkap Thio Seng. Biarpun dia sendiri lemah. Tapi namanya telah banyak menggerakkan hati orang-orang gagah di kalangan kang-ouw dan ia telah banyak mempunyai kawan. Karena itulah maka Oey Tayjin mengutus kita.

Gadis tadi adalah Pek I Lihiap, sia tahu kalau-kalau dia juga mempunyai hubungan dengan Thio Seng?”

Giok Cu merasa heran karena ia teringat akan putera Thio tihu. Bukankah putera Thio tihu yang bersekolah di kota raja juga bernama Thio Seng? Bukankah orang yang hendak dijodohkan dengan dia yang disebut Siauw Seng oleh nyonya Thio, adalah seorang yang dinanti-nanti dan hendak ditangkap oleh kelima orang ini? Ia mendengarkan lagi.

“Penyelidik kita melapor bahwa dia telah berada di Ki-lok dan paling lama dua hari lagi tentu tiba di sini.”

Tiba-tiba timbul pikiran dalam kepala Giok Cu. Ia harus tolong Thio Seng. Ia harus membelanya sebagai pembalas budi kepada orang tua pemuda itu. Sementara itu, tak habis herannya mengapa anak muda terpelajar putera seorang tihu pula, hendak ditangkap oleh rombongan orang-orang ini? Siapakah mereka ini?

Pada saat itu terdengar suara orang-orang di luar dan pintu kamar mereka terbuka. Maka masuklah empat orang yang tiga berpakaian seperti lima orang pertama dan yang keempat adalah seorang pendeta Lama berkepala gundul yang berpakaian jubah kuning, tapi jubah itu tak berkancing di bagian atas dan terbuka saja hingga tampak dadanya yang penuh bulu hitam. Tubuh Lama itu tinggi besar, tapi tindakan kaki dan gerakannya demikian ringan dan gesit hingga diam-diam Giok Cu terkejut. Ia maklum bahwa orang-orang dalam kamar itu adalah orang dengan kepandaian tinggi, sedikitnya tidak di bawah kepandaiannya sendiri!

“Ha, loheng baru datang! Dan Beng Po Hwatsu juga ikut datang! Silahkan duduk, silahkan duduk!”

Semua orang duduk, kecuali Lama itu. Ia berdiri dan tiba-tiba tangannya mengangkat guci arak dan menghirupnya. Kemudian ia turunkan lagi guci itu ke atas meja, lalu menengok ke dinding yang berlobang kecil dan menyembur.

“Pinto paling tidak suka kalau ada anak anak mengintip-ngintip orang lain,” katanya lalu tertawa bergelak- gelak.

Untung sekali Giok Cu telah bercuriga dan buru-buru tarik kepalanya dari lobang itu. Ia melihat arak yang disemburkan itu memasuki lobang bagaikan jarum-jarum berterbangan! Kalau saja semburan arak itu mengenai matanya tentu ia akan menjadi buta! Keringat dingin membasahi jidatnya. Bagaimana pendeta itu dapat tahu bahwa ia berada di situ? Apakah pendeta itu dapat melihat menembus dinding?

Giok Cu tak sempat berpikir lagi, tentang hal ini. Ia cepat ambil pedang dan buntalan lalu keluar dari kamar. Kepada pelayan ia beritahukan bahwa ia hendak pergi pesiar naik kudanya. Setelah cemplak kudanya, ia balapkan kuda tinggalkan tempat berbahaya itu. Ia bertanya kepada orang-orang di situ jalan yang menuju ke Ki-lok, karena ia hendak mencegat Thio Seng untuk diberi peringatan. Kemudian ia kaburkan kuda menempuh malam gelap! Ia merasa lelah dan mengantuk, tapi karena ingin segera berjumpa dengan Thio Seng dan menolongnya menghindarkan diri dari bencana, ia tidak memperdulikan diri sendiri. Ia makin heran memikirkan mengapa untuk menangkap anak muda itu dibutuhkan tenaga demikian banyak, bahkan harus minta bantuan seorang berilmu tinggi seperti pendeta Lama itu.

Ia terus berkuda sampai pagi dan masih saja ia berada dalam sebuah hutan, karena jalan besar yang dilaluinya itu lewat dalam sebuah hutan yang sangat panjang. Untung malam tadi terang bulan hingga ia bisa melanjutkan perjalanan.

Ketika melihat sebuah anak sungai ia turun dan mencuci muka, karena ia merasa lelah sekali dan mengantuk, sedangkan ia hendak melanjutkan perjalanannya sampai dapat berjumpa dengan orang yang dicarinya.

Pada siang hari, setelah melampaui beberapa dusun dan bertanya kepada para petani kalau-kalau mereka melihat rombongan sastrawan muda lewat di situ, akhirnya ia bertemu juga dengan Thio Seng.

Ia melihat empat penunggang kuda datang dari depan. Yang tiga orang berpakaian seperti biasa dipakai seorang siucay atau mahasiswa. Sedangkan orang keempat berpakaian sebagai ahli silat. Ketika mereka datang dekat, Giok Cu sengaja mencegah di tengah jalan karena ia hendak bertanya apakah benar mereka itu rombongan Thio Seng. Tapi alangkah herannya ketika melihat bahwa orang yang membawa pedang dan mengawal mereka itu bukan lain ialah Thian In sendiri!

“Ong Siocia! Kau di sini?” tegur Thian In yang majukan kudanya.

“Aku bukan sengaja mencari kau,” gadis itu menjawab perlahan walaupun ia tahu bahwa sebenarnya Thian In yang dia cari-cari.

“Hendak kemanakah kau?”

“Aku hendak mencegat rombongan Thian kongcu. Apakah tuan-tuan ini rombongannya?”

Seorang pemuda yang berwajah tampan dan tampak cerdas majukan kudanya lalu menjawab dengan menjura: “Siauwtee adalah Thio Seng, apakah yang harus siauwtee kerjakan untukmu, nona?

Giok Cu memandang tajam. Inilah pemuda yang hendak dijodohkan dengan dia! Mau tidak mau ia harus akui bahwa Thio Seng adalah seorang pemuda yang cakap sekali.

Mukanya putih dan bundar dengan sepasang mata yang bening tajam, sedangkan mulutnya manis dengan bibir merah seperti mulut seorang wanita cantik dan usianya paling banyak dua puluh tahun. Kalau dibandingkan, Thio Seng lebih tampan daripada Kam Cu maupun Thian In sekali!

Giok Cu balas memberi hormat. “Thio kongcu, maaf aku tidak kenali kau karena baru mendengar nama saja, baru kali ini melihat rupa. Aku kenal baik dengan kedua orang tuamu, Thio kongcu.

Wajah pemuda itu berseri. “Ah, bagaimana keadaan mereka, nona? Mereka baik saja dan mengharap- harap kedatanganmu.”

Posting Komentar