Karena ia rajin, baik dan sopan santun serta berwatak bersih, ia menarik perhatian permaisuri kaisar ketika Siang Cu diperbantukan dalam sebuah pesta untuk melayani permaisuri itu. Permasisuri suka kepadanya karena biarpun Siang Cu berasal dari dusun, tetapi tingkah lakunya amat sopan dan menyenangkan. Maka ia diminta oleh permaisuri bekerja di istana sebagai pelayan, dan akhirnya ia mendapat kekuasaan untuk memeriksa segala hidangan untuk kaisar dan permaisuri, berhak mengatur dan memilih hidangan sehari- hari.
Siang Cu tidak begitu cantik, akan tetapi ia mempunyai gaya tersendiri yang penuh daya tarik. Seratus persen wanita yang diidam-idamkan setiap laki-laki. Tubuhnya berpotongan indah, mukanya cukup manis karena selalu dihias oleh senyum sopan dan ramah, matanya memancarkan kebahagiaan hidup dan kehalusan budi.
Hal ini menarik hati seorang pangeran yang tinggal di istana itu, yakni putera kaisar yang lahir dari seorang selir. Beberapa kali pangeran ini menggodanya, akan tetapi dengan bijaksana dan tidak menyakiti hati, Siang Cu dapat menghindarkan diri dari bujukan-bujukan pangeran muda ini. Akhirnya hal ini diketahui oleh ibu pangeran atau selir kaisar itu yang segera mempergunakan pengaruhnya untuk memaksa Siang Cu menjadi bini muda atau selir puteranya yang belum kawin!
Siang Cu tentu saja menolak keras, tetapi sebagai seorang pelayan yang betapapun tinggi kedudukannya ia masih terhitung seorang budak atau hambah sahaya, bagaimana ia dapat menolak dan kepada siapa ia harus minta perlindungan? Demikianlah, ia melarikan diri ke dalam dapur dengan ketakutan dan dikejar- kejar oleh para perwira yang dikerahkan oleh pangeran itu!
Kebetulan sekali, pada saat itu, Thian-te Lo-mo telah dua hari bersembunyi di dalam dapur. Tak seorangpun melihatnya karena kakek ini bersembunyi di balik tiang-tiang penglari yang besar! Dan pada waktu dapur itu ditinggalkan orang, barulah ia keluar dan menyapu semua hidangan yang serba lezat!
Ketika Thian-te Lo-mo melihat seorang gadis berlari masuk sambil menangis, ia menjadi heran sekali. Kemudian dilihatnya tiga orang perwira mengejar masuk, seorang di antaranya tertawa-tawa dan berkata,
“Nona, mengapa kau lari pergi? Bukankah senang menjadi selir seorang pangeran muda yang tampan? Ha ha ha!”
Perwira kedua juga tertawa dan menyindir. “Ah, kau seperti tidak tahu saja, twako. Seekor kuda betina yang liar harus dibikin jinak dulu dengan cambuk! Biarlah aku menangkapnya!” sambil berkata demikian, ia melangkah maju, tetapi tiba-tiba Siang Cu mencabut pisau yang disembunyikannya di balik ikat pinggangnya. Gadis itu mengangkat pisau dan berkata, “Dari pada mendapat hinaan dari pangeran, lebih baik aku mati!” dan sekuat tenaga Siang Cu lalu menusukkan pisau itu ke dadanya sendiri. Akan tetapi, tiba-tiba bayangan hitam menyambar dari atas dan tahu-tahu pisaunya telah lenyap terlepas dari tangannya.
Gadis itu terkejut sekali. Demikian pula para perwira karena bayangan tadi yang sebenarnya ujung cambuk Thian-te Lo-mo, bekerja amat cepatnya, sehingga tidak terlihat oleh mereka. Tiba-tiba terdengar suara ketawa menyeramkan tanpa kelihatan orangnya, dan sebelum tiga orang perwira itu tahu apa yang terjadi, kembali bayangan hitam berkelebat dan tiga orang perwira itu memekik kesakitan karena muka telah terluka dan menjadi matang biru kena cambuk Thian-te Lo-mo hingga membuat garis memanjang pada muka mereka.
Karena terluka dan diserang oleh sesuatu yang tidak kelihatan, ketiga orang perwira yang tak berapa tinggi ilmu kepandaiannya itu, segera angkat kaki melarikan diri sambil berseru-seru, “Ada setan ! Ada setan
....!” terdengar lagi gelak tertawa dari dalam dapur.
Siang Cu juga tidak melihat Thian-te Lo-mo, maka ia lalu berlutut dan memuji, “Po-kong (malaikat pelindung keselamatan) yang mulia, terima kasih atas pertolongan ini, semoga Po-kong selanjutnya melindungi hamba ”
Akan tetapi, suara tertawa itu mengeras dan seorang kakek melompat turun sambil berkata, “Anak gendeng, kau benar-benar gila! Masa aku kau sebut malaikat? Ha ha ha! Jangan kau takut, anak baik, aku akan membela dan melindungimu, tak kalah dengan perlindungan Po-kong sendiri! Ha ha ha!”
Sementara itu berita tentang adanya “setan” di dapur istana, segera terdengar oleh semua orang. Juga perwira-perwira kelas satu setelah mendengar hal ini dan ketika melihat bekas luka di muka ketiga orang perwira penjaga itu, mereka menjadi pucat dan Im-yang Po-san Bu Kam berkata, “Thian-te Lo-mo! Ayoh kita serbu dia!”
Maka berlarianlah para perwira kelas satu, dipimpin oleh Bu kam, menyerbu dapur itu. Melihat pintu dapur tertutup, Bu Kam dan kawan-kawannya tidak berani berlaku lancang dan sembrono untuk memasuki tempat itu, hanya berdiri di depan pintu dengan senjata di tangan.
“Thian-te Lo-mo, keluarlah kau!” teriak Im-yang Po-san Bu Kam sambil menggerak-gerakkan sepasang kipasnya yang lihai.
“Bagaimana, lo-inkong (tuan penolong tua),” kata gadis itu dengan tubuh menggigil. “Mereka telah datang, mereka adalah perwira-perwira kerajaan yang terkenal gagah perkasa .... lo-inkong, biarkan aku mati membunuh diri saja dan kau lebih baik lekas pergi sebelum mereka mencelakakan kau!”
“Ha ha, gadis gila, kau kira aku bisa melihat kau mati membunuh diri begitu saja? Tidak, selama aku masih bernafas, kau tak kubiarkan bunuh diri. Kau anak yang baik. ”
“Lo-inkong, jangan ....., jangan kau hadapi mereka! Mati bagiku bukan apa-apa, lekaslah kau pergi dan kembalikan pisauku!” Siang Cu mendesak, tetapi tiba-tiba Thian-te Lo-mo membentak,
“Jangan membantah! Kau tinggal saja di sini dan aku akan menghadapi mereka di luar dapur!” Setelah berkata demikian sambil tertawa terbahak-bahak ia menerjang keluar sambil mengayunkan cambuknya.
Pertempuran terjadi amat hebatnya dan Siang Cu yang ingin melihat keadaan penolongnya, lalu mengintai dari balik daun pintu. Bukan main kagumnya ketika melihat betapa cambuk panjang di tangan kakek itu mengamuk hebat seperti naga sakti menerjang mega. Para perwira terdesak mundur oleh amukan ini yang disertai suara ketawa menyeramkan.
Tiba-tiba berkelebat bayangan putih dan tahu-tahu seorang wanita baju putih yang rupa mukanya mengerikan sekali karena cacad bekas bacokan pedang, telah berdiri di situ dengan pedang di tangan.
“Kui Hong San! Aku datang untuk membalas sakit hatiku!” seru wanita itu dan ketika mendengar bentakan ini, tiba-tiba Thian-te Lo-mo menjadi pucat sekali. Cambuk ditangannya tergantung dengan lemah dan ia sama sekali tidak bergerak, hanya menatap wanita itu dengan tarikan muka seakan-akan merasa sakit sekali. “Cui Sian .... kau ... kau ?” katanya dengan suara amat lemah dan gemetar. Akan tetapi ucapannya ini
disambut dengan sebuah tusukan pedang pada dadanya oleh wanita itu! Thian-te Lo-mo sama sekali tidak mengelak atau menangkis dan setelah Cui Sian mencabut kembali pedangnya yang telah berlumur darah, tubuh Thian-te Lo-mo terhuyung-huyung ke belakang. Sesudah itu Cui Sian dan perwira-perwira itu berlalu. Akan tetapi anehnya ia masih tertawa gelak-gelak sambil menekan luka pada dada dengan tangan kiri dan tangan kanan masih memegang cambuknya.
“Ha ha ha! Cui Sian .... saat ini telah lama kunanti-nantikan! Kau sudah membalas dengan satu tusukan maut! Ha ha, kau sungguh baik hati dan pemurah! Bacokan pedang yang membuat kau bercacad selama hidupmu kau balas dengan tusukan pedang yang akan menamatkan nyawaku dalam beberapa detik lagi! Ha ha, kita sudah impas, hutangku kepadamu telah kubayar dengan darahku di ujung pedangmu! Ha ha ha!”
Sementara itu, ketika Siang Cu melihat betapa penolongnya telah kena tusuk dadanya sehingga terluka, menjerit, “Lo-inkong ” dan dengan nekat gadis itu lalu berlari menghampiri, memegang lengan tangan
Thian-te Lo-mo dan menariknya ke dalam pintu dapur kembali. Gadis itu lalu memasang palang pintu dapur yang kuat dan segera menolong dan merawat luka di dada Thian-te Lo-mo.
Kakek itu rebah di lantai dengan lemah, tetapi ia masih tersenyum.
“Kau gadis baik .... kau anak baik ... aku suka padamu sudah, jangan ributkan luka kecil ini. Lebih baik
kau panaskan masakan-masakan itu karena telah berhari-hari ku makan dalam keadaan dingin. Kurang sedap!”
“Nanti, lo-inkong, nanti kuhangatkan masakan itu, tetapi biarlah kurawat dulu lukamu ini ” kata Siang Cu
sambil menahan air matanya karena ia merasa amat terharu. Telah lama ia rindu akan ayah bunda yang tak dikenalnya sama sekali dan kini kakek yang berani mempertaruhkan jiwa untuk melindunginya ini bagaikan seorang ayahnya sendiri. Ia merasa amat sayang kepada kakek ini dan juga kagum dan kasihan.
“Baiklah, baiklah .... kau boleh cuci dan balut, tapi takkan ada gunanya .... ujung pedang Cui Sian telah melukai paru-paruku dan takkan dapat diobati lagi Eh, anak gendeng, Cui Sian itu dulu kekasihku, dia
baik dan mulia hatinya, cuma agak keras kepala ..... Nanti akan kuminta kepadanya supaya suka menolongmu keluar dari sini Kalau kau sudah tertolong, pergilah ke rumah penginapan Thian-an-kwan.
Rumah penginapan itu kepunyaan paman seorang pemuda bernama Khu Sin. Katakan bahwa kau adalah kawan baik dari Khu Sin, Thio Swie dan Tiong San. Tentu kau akan ditolongnya ”
Sementara itu, para perwira, dan juga Cui Sian, kembali lagi di muka pintu kamar di mana Thian-te Lo-mo berada yang kini sudah di palang dari dalam, maka mereka tidak berani secara sembrono mendorong pintu memaksa masuk karena mereka maklum bahwa biarpun telah mendapat luka, kakek itu masih berbahaya sekali, maka mereka hanya berteriak-teriak dari luar menyuruh kakek itu keluar dan menyerahkan gadis pelayan itu kembali kepada mereka.
Dan pada saat Siang Cu merawat luka di dada Thian-te Lo-mo, datanglah Tiong San sebagaimana yang telah dituturkan di atas.
********************
Tiong San mendengarkan semua penuturan Siang Cu itu dengan muka cemberut tanpa berani menentang pandangan mata gadis itu. Sebetulnya saja, ia hanya dapat memperlihatkan muka masam apabila ia tidak menatap wajah gadis itu, oleh karena tiap kali ia bertemu pandang, sinar mata gadis yang lemah lembut dan halus itu seakan-akan menembus matanya dan langsung menyerang ke dalam hatinya dan dapat mengintai di dalam dadanya bahwa sebenarnya ia sama sekali tidak mempunyai alasan untuk benci atau marah kepada gadis ini. Apabila ia menatap wajah gadis ini, ia tidak mungkin menaruh perasaan yang tidak enak terhadapnya.