Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Heng-san Chapter 19

NIC

Bwee Hwa merasa ngeri, akan tetapi tetap saja ia tidak mau mengeluh, bahkan tidak memejamkan mata. Bahkan dengan sinar mata tajam ia menatap ke arah dua ekor rajawali itu dengan penuh keberanian. Tiba-tiba seekor di antara dua ekor rajawali itu, agaknya yang jantan, menukik ke bawah menyambar ke arah tubuh Bwee Hwa.

Pada saat yang teramat gawat bagi keselamatan nyawa Bwee Hwa itu, tiba-tiba terdengar seruan nyaring. “Binatang jahat, pergilah!” Dan dari belakang seba-tang pohon besar berkelebat sesosok bayangan orang yang melebihi kecepatan rajawali itu sehingga sebelum burung itu dapat mencengkeram tubuh Bwee Hwa, tahu-tahu seorang pemuda telah berdiri di depan Bwee Hwa dan menggunakan pedangnya menyambut rajawali itu dengan sabetan pedangnya!

Rajawali raksasa itu sama sekali tidak menyangka akan disambut serangan. Gerakan pedang di tangan pemuda itu luar biasa cepatnya sehingga rajawali itu tidak mampu menghindarkan dirinya dan kaki kirinya, di bagian paha terluka sabetan pedang dan mengeluarkan darah! Burung itu mengeluarkan pekik nyaring, tubuhnya melayang lagi ke atas sambil berteriak-teriak.

Alangkah gembira hati Bwee Hwa ketika melihat bahwa yang menolongnya itu bukan lain adalah Ong Siong Li, pemuda yang dulu bersamanya telah mengobrak-abrik perkumpulan agama sesat Hwe-coa- kauw! Siong Li tidak membuang waktu lagi, pedangnya berkelebat dua kali dan belenggu di kaki tangan Bwee Hwa terputus. Gadis itu kini bebas.

“Li-ko, terima kasih!” kata Bwee Hwa dengan terharu, karena tadinya ia sudah hampir putus asa untuk dapat terlepas dari ancaman maut.

“Hwa-moi, jangan sungkan untuk urusan kecil ini. Mari kita basmi penjahat-penjahat itu.”

Bwee Hwa seperti diingatkan. Ia melihat ke kanan kiri dan matanya yang tajam dapat melihat bayangan orang-orang bersembunyi di balik pohon-pohon dan semak-semak. Sementara itu, dua ekor burung rajawali tadi tampaknya menjadi ketakutan dan mereka terbang pergi meninggalkan tempat itu. Mungkin kedua ekor rajawali itu tidak sedang kelaparan. Kalau mereka kelaparan, tentu mereka akan nekat untuk menyerang lagi.

“Bangsat rendah she Gak, keluarlah untuk menerima kematianmu!” bentak Bwee Hwa dengan marah.

Tiba-tiba dari tempat persembunyian para gerombolan itu meluncur anak panah dan senjata rahasia piauw yang beterbangan menyerang Bwee Hwa dan Siong Li. Siong Li cepat memutar pedangnya untuk memukul runtuh senjata-senjata rahasia itu. Adapun Bwee Hwa yang tidak memegang senjata, melompat ke atas menghindarkan diri. Tubuh gadis itu bagaikan seekor burung terbang saja kini melayang ke arah para anak buah gerombolan yang sudah berlompatan keluar dari tempat persembunyian mereka. Begitu tubuhnya tiba di antara para anak buah gerombolan, kaki tangannya bergerak cepat dan terdengar teriakan-teriakan kesakitan dan tiga orang anggauta gerombolan telah terpelanting roboh.

Seorang diri saja Gak Sun Thai tidak mampu mengalahkan Bwee Hwa. Hal ini bukan membuat dia jerih. Karena sekarang dia diikuti tiga orang pembantu utamanya dan empatpuluh lebih orang anak buahnya, tentu saja Gak Sun Thai tidak menjadi takut dan dia menjadi marah sekali melihat gadis itu dapat dibebaskan oleh seorang pemuda. Dia lalu memberi aba-aba dan semua anak buahnya kini maju mengeroyok Bwee Hwa dan Siong Li. Seorang anak buah menyerang Bwee Hwa dengan tusukan pedangnya dari belakang. Pedangnya meluncur, menusuk ke arah punggung gadis itu. Akan tetapi dengan pendengarannya yang tajam terlatih, Bwee Hwa dapat mendengar gerakan ini. Dengan cepat sekali ia miringkan tubuhnya, terus membalik. Pedang itu meluncur lewat dekat tubuhnya. Tangan kiri Bwee Hwa menyambar, merampas pedang dan kakinya mencuat. Penyerang itu berteriak, pedangnya terampas dan tubuhnya terlempar ke belakang diterjang tendangan kaki mungil itu.

Kini, dengan pedang rampasannya, Bwee Hwa mengamuk. Pedangnya berubah menjadi gulungan sinar menyambar-nyambar, dari mulutnya keluar suara berdengung-dengung seperti banyak tawon beterbangan dan banyak anak buah gerombolan berpelantingan disambar gulungan sinar pedang.

Siong Li juga mengamuk dengan pedangnya. Gerakan pedangnya tidak kalah hebat walaupun tidak seganas amukan Bwee Hwa yang marah sekali. Melihat amukan dua orang muda itu, Gak Sun Thai cepat memberi isyarat kepada tiga orang pembantunya. Dia sendiri sudah menyerang Bwee Hwa dengan pedangnya dibantu Souw Ban Lip, kakek tinggi kurus berjenggot panjang yang bersenjatakan sebatang golok tipis.

“Cringgg !” Golok tipis di tangan Souw Ban Lip terpental ketika Bwee Hwa menangkis menggunakan

pedang rampasannya. Pada saat itu, Gak Sun Thai membacok ke arah lehernya dengan pedang di tangan. Melihat serangan kilat yang tak dapat dielakkan lagi, Bwee Hwa mengerahkan tenaga dan memapaki bacokan itu dengan tangkisan pedangnya.

“Trakkk!” Bwee Hwa terkejut sekali dan melompat ke belakang. Ia melihat bahwa pedang rampasannya patah menjadi dua potong dan ternyata kepala gerombolan itu mempergunakan pedang Sin-hong-kiam pedang miliknya yang telah dirampas Gak Sun Thai.

“Keparat! Kembalikan pedangku!” bentak Bwee Hwa sambil menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka orang

“Ha-ha-ha, nih, terima pedangmu!” Dia berkata dan menusukkan pedang pusaka itu ke arah dada Bwee Hwa.

Gadis itu cepat melompat ke kiri. Akan tetapi golok Souw Ban Lip telah menyambutnya dengan bacokan. Terpaksa ia melompat ke belakang dan hanya dengan sepotong pedang buntung Bwee Hwa melayani pengeroyokan Gak Sun Thai dan Souw Ban Lip, juga masih harus menghadapi pengeroyokan banyak sekali anak buah gerombolan.

Bwee Hwa berlaku cerdik sekali. Ia berlompatan meninggalkan dua orang pemimpin itu dan mengamuk di antara para anak buah gerombolan. Dengan demikian, dua orang pemimpin itu tidak mampu mendesaknya, terhalang oleh pengeroyokan banyak anak buah mereka terhadap Bwee Hwa.

Sementara itu, Lui Thong yang tinggi besar juga sudah mengeroyok Siong Li bersama Lie Hoat yang pendek kurus. Lui Thong menggunakan goloknya yang besar dan berat, sedangkan Lie Hoat mempergunakan sebatang tombak. Dua orang pimpinan gerombolan ini masih dibantu banyak anak buah mereka sehingga gerakan mereka bahkan terhalang dan tidak leluasa. Seperti juga Bwee Hwa, Siong Li maklum bahwa yang lihai di antara para pengeroyoknya adalah dua orang pimpinan ini, maka diapun menjauhi mereka dan mengamuk, merobohkan banyak anak buah gerombolan. Diamuk dua orang muda yang amat lihai itu, anak buah gerombolan menjadi panik. Banyak sekali kawan mereka sudah roboh. Sisanya menjadi panik dan hanya mengepung sambil berteriak-teriak, tidak berani mendekat. Akhirnya, hanya tinggal Gak Sun Thai dan Souw Ban Lip yang mengeroyok Bwee Hwa, sedangkan Lui Thong dan Lie Hoat mengeroyok Siong Li. Para anak buah ada yang merawat kawan- kawan yang terluka, dan ada pula yang menonton dari jarak jauh yang aman.

Sementara itu, ketika mengamuk di antara para anak buah gerombolan tadi, Bwee Hwa sudah berhasil merampas sebatang pedang lain untuk menggantikan pedangnya yang buntung. Kini ia mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk menghadapi dua orang pengeroyoknya. Tiba-tiba Souw Ban Lip menggerakkan tangan kirinya dan tiga batang piauw dilepaskannya, menyambar ke arah Bwee Hwa.

Gadis itu sengaja melempar diri ke bawah, bergulingan dan tangan kirinya bergerak. Sinar lembut menyambar ke arah Souw Ban Lip dan orang tinggi ku-rus itu menjerit dan terpelanting roboh sambil memegangi lehernya di mana tertancap tiga batang jarum Hong-cu-ciam!

Gak Sun Thai terkejut sekali melihat kawannya roboh. Dia menjadi panik dan biarpun dia menggunakan pedang pusaka Sin-hong-kiam milik Bwee Hwa, akan tetapi karena dia sudah terbiasa memainkan siang- kiam (sepasang pedang), maka gerakannya menjadi kacau. Akhirnya, ketika ujung pedang di tangan Bwee Hwa menyentuh lengannya, terpaksa dia melepaskan Sin-hong-kiam dan gadis itu cepat menangkap pedangnya, lalu membuang pedang rampasan tadi, kini menggunakan pedang sendiri! Gak Sun Thai menjadi semakin panik, akan tetapi karena tidak ada kesempatan melarikan diri, dengan nekat dia mencabut sepasang pedangnya yang tergantung di punggung, lalu melawan mati-matian menggunakan siang-kiam.

Siong Li juga tidak mau kalah. Setelah dikeroyok dua, dia mengeluarkan jurus simpanannya pada saat Lie Hoat menahan tombaknya dan menyerangnya dengan tangan kiri menggunakan ilmu pukulan Tiat-see- ciang yang ampuh. Siong Li membuang diri ke kiri dan ketika tangan Lie Hoat yang pendek itu memukul lewat, dia mengayun pedangnya dari kiri.

“Crakkk!” Lengan kiri Lie Hoat itu buntung sebatas siku. Lie Hoat menjerit lalu melompat ke belakang, dengan tangan kanan memegangi siku yang buntung, akhirnya dia terkulai dan roboh pingsan. Beberapa orang anak buah segera mengangkatnya, seperti juga mereka mengangkat dan merawat Souw Ban Lip yang terkena jarum tawon Bwee Hwa.

Kini Bwee Hwa dan Siong Li masing-masing hanya melawan seorang saja. Keringat dingin sudah membasahi seluruh tubuh Gak Sun Thai. Dia melawan mati-matian dengan sepasang pedangnya. Akan tetapi sekarang Bwee Hwa menggunakan Sin-hong-kiam. Sedangkan tadipun, mengeroyok gadis itu dengan banyak orang dia tidak mampu menang, apalagi harus melawan seorang diri!

Di lain pihak, Bwee Hwa marah sekali kepada kepala gerombolan yang curang dan kejam itu, maka ia mengeluarkan jurus-jurus simpanannya. Akhirnya, Bwee Hwa berhasil merobohkan Gak Sun Thai dengan tusukan pedangnya. Gak Sun Thai terjungkal roboh dan tewas seketika. Pada saat berikutnya, Siong Li juga berhasil merobohkan Lui Thong.

Bwee Hwa masih hendak mengamuk dan mengejar anak buah gerombolan yang melarikan diri sambil mengangkat kawan-kawan yang tewas dan terluka. Akan tetapi Siong Li mencegahnya. “Sudahlah, Hwa-moi. Ampunkan mereka. Mereka itu hanya anak buah. Setelah para pimpinan mereka tewas, tentu mereka tidak akan berani merajalela melakukan kejahatan lagi. Apalagi mengingat bahwa mereka mempunyai keluarga.”

Posting Komentar