Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Heng-san Chapter 20

NIC

Bwee Hwa menghela napas panjang. Bagaimanapun juga, orang yang paling dibencinya, Gak Sun Thai, telah tewas. Ia membersihkan pedangnya pada batang pohon dan daun-daun, lalu menyarungkan lagi pedangnya. Sarung pedang itu masih menempel di pinggangnya. Agaknya karena tergesa Gak Sun Thai tadi hanya merampas pedangnya tanpa menanggalkan sarung pedangnya. Ia lalu menatap wajah Siong Li dan berkata sambil tersenyum manis.

“Li-ko, sungguh aku berhutang budi besar sekali kepadamu. Kalau saja tidak ada engkau, maka pada saat ini tentu sudah tidak ada lagi yang namanya Ang-hong-cu. Aku tentu sudah lenyap ke dalam perut dua ekor rajawali raksasa tadi. Bagaimana aku dapat membalas budimu ini, Li-ko?”

“Hwa-moi, jangan engkau mengeluarkan kata-kata seperti itu, membuat aku merasa malu dan tidak enak saja. Bukankah sudah menjadi kewajiban kita untuk menolong siapa yang patut ditolong? Janganlah bicara tentang budi, karena perbuatan yang dilakukan dengan pamrih apapun juga demi keuntungan diri sendiri bukanlah kebajikan.”

Mendengar ucapan ini Bwee Hwa menghela napas panjang. “Li-ko, kata-katamu itu mengingatkan aku akan guruku. Engkau sungguh berhati mulia dan aku merasa seakan-akan berhadapan dengan saudaraku sendiri. Maukah engkau kuanggap sebagai seorang kakakku?”

“Terima kasih atas kebaikanmu, Hwa-moi.”

“Twako (kakak), bagaimana engkau tiba-tiba saja dapat datang ke sini menolongku?”

Wajah Siong Li menjadi kemerahan. Sebenarnya, ketika dia berpisah dari gadis itu, hatinya merasa tidak senang. Entah mengapa, dia merasa suka sekali berada di dekat gadis itu sehingga ketika mereka saling berpisah, dia merasa kehilangan dan kesepian. Terutama kalau dia teringat akan keterangan gadis itu bahwa ia hendak mencari Kauw-jiu Pek-wan.

Hatinya menjadi cemas karena dia telah mendengar kabar bahwa Kauw-jiu Pek-wan adalah seorang yang berkepandaian tinggi dan juga jahat sekali. Dia khawatir kalau-kalau gadis itu akan menemui bencana. Karena itu, akhirnya dia mengalihkan tujuan perjalanannya dan melakukan pengejaran, lalu membayangi secara diam-diam. Dia melihat Bwee Hwa dijamu kepala gerombolan, akan tetapi dia hanya mengintai dari jauh dan tidak mau memperlihatkan diri. Dia melewathan malam di atas pohon besar dan tidur di sana, seperti yang sudah biasa dia lakukan.

Akan tetapi, pada keesokan harinya, dia terkejut bukan main melihat betapa Bwee Hwa ditawan, dibelenggu kaki tangannya dan dibawa ke dalam hutan. Dia membayangi dan berjaga-jaga untuk turun tangan menolong kalau gadis itu terancam. Demikianlah, ketika dua ekor burung itu datang menyerang, dia lalu turun tangan menolongnya.

Akan tetapi kini dia menghadapi pertanyaan Bwee Hwa dan dia merasa bingung, tidak tahu harus menjawab bagaimana. Untuk berterus terang dia merasa malu karena hal itu akan membuka rahasia perasaan hatinya. Untuk berbohong dia juga tidak sanggup karena hal itu bukan kebiasaannya. Akhirnya setelah berpikir-pikir, dia menjawab. “Hwa-moi, sebetulnya ketika aku mendengar bahwa engkau hendak mencari Kauw-jiu Pek-wan, hatiku merasa sangat tertarik. Telah lama aku mendengar akan nama besar dan kehebatan Kauw-jiu Pek-wan, akan tetapi aku belum pernah bertemu dengannya. Kini aku ingin sekali untuk bersamamu mencari orang tua yang lihai itu dan untuk membuktikan sampai di mana kelihaiannya. Karena pikiran dan keinginan itulah maka aku lalu menyusulmu dan mengikuti jejakmu sampai di sini dan kebetulan melihat engkau terancam bahaya tadi.”

Bwee Hwa menghela napas panjang. “Li-ko, karena engkau telah menolongku dan sudah kuanggap sebagai kakakku sendiri, maka biarlah aku mengaku terus terang kepadamu. Sebenarnya Kauw-jiu Pek- wan itu adalah ayahku sendiri. Aku telah dibawa oleh suhu ketika aku berusia delapan tahun dan aku tidak ingat lagi siapa nama ayah ibuku dan di mana tempat tinggal mereka. Karena itulah, maka aku hendak mencari Kauw-jiu Pek-wan karena hanya julukannya itulah yang kutahu dari suhuku.”

Siong Li dapat menahan perasaan hatinya yang kaget bukan main mendengar bahwa Bwee Hwa adalah puteri Kauw-jiu Pek-wan. Akan tetapi hal ini tidak tampak pada mukanya. Dia hanya mengangguk lalu berkata.

“Lalu ke manakah engkau hendak mencarinya, Hwa-moi?”

“Aku sudah mendengar dari jahanam Gak Sun Thai itu bahwa ayahku sekarang bertempat tinggal di sebuah kampung kecil di atas Bukit Twi-bok-san. Dia bernama Kwee Ciang Hok dan memang tadinya ayah adalah seorang perampok besar. Akan tetapi kata kepala gerombolan itu, ayah kini telah mengundurkan diri dan mencuci tangan.”

Siong Li menarik napas panjang. “Hwa-moi, terus terang saja, akupun telah mendengar bahwa nama ayahmu itu disohorkan orang dan tidak begitu baik terdengarnya. Akan tetapi semua itu hanya kabar angin, aku sendiri belum menyaksikannya dan engkau juga telah berpisah dari ayahmu sejak kecil. Kuharap saja kabar-kabar itu hanya bohong belaka. Maka sebaiknya kita pergi sendiri ke Twi-bok-san untuk membuktikan kebenaran kabar-kabar angin itu.”

Bwee Hwa memandang wajah pemuda itu dan di dalam hatinya ia menilai. Pemuda ini benar-benar baik hati terhadapnya dan memiliki pandangan yang bijaksana. Dan harus ia akui bahwa wajah pemuda itu cukup tampan dan gagah. Memang bentuk tubuhnya agak pendek, akan tetapi ketika diam-diam Bwee Hwa mengukur dengan sudut matanya, ia mendapat kenyataan bahwa sependek-pendeknya, pemuda itu masih lebih tinggi sedikit daripada ia.

“Li-ko, tahukan engkau jalan menuju Twi-bok-san?” Siong Li mengangguk.

“Kalau begitu, kita tidak segera berangkat ke sana, mau tunggu sampai kapan lagi?”

Siong Li mengangkat muka memandangnya. Sepasang matanya berseri gem-bira. “Hwa-moi , jadi.......

engkau tidak keberatan kalau aku pergi bersamamu?”

Bwee Hwa tersenyum manis. “Tentu saja tidak, bahkan aku senang sekali mendapat kawan yang baik hati dan banyak pengalaman seperti engkau, Li-ko. Kuharap engkau tidak bersikap demikian sungkan lagi. Bukankah kita sudah menjadi sahabat baik? Bahkan aku merasa seolah engkau ini pantas menjadi seorang kakakku.”

Dalam hatinya Siong Li membantah. Tentu saja dia tidak bergembira kalau hanya dianggap sebagai kakak. Akan lebih berbahagialah hatinya kalau gadis itu menganggap dia sebagai seorang…… kekasih atau tunangan! Akan tetapi tentu saja dia tidak berani menyatakan suara hatinya itu dengan kata-kata.

Mereka lalu meninggalkan hutan itu dan mempergunakan ilmu berlari cepat. Tubuh sepasang orang muda ini berkelebatan di antara pohon-pohon dengan cepat sekali. Mereka seolah berlumba dan mendapat kenyataan dengan perasaan kagum bahwa kecepatan lari mereka seimbang. Karena kini Bwee Hwa melakukan perjalanan bersama Siong Li yang telah mengenal jalan, maka perjalanan mereka cepat dan lancar. Menurut keterangan pemuda itu, Bukit Twi-bok-san dapat dicapai selama perjalanan kurang lebih satu minggu, melalui kota Tung-kwang yang besar dan ramai.

Di sepanjang perjalanan, Siong Li bersikap sopan terhadap Bwee Hwa. Kalau mereka terpaksa bermalam di tengah perjalanan Siong Li mencarikan tempat di gubuk-gubuk ladang atau di kuil tua. Kalau terpaksa kemalaman di hutan, Siong Li membuat api unggun dan melakukan penjagaan. Tentu saja Bwee Hwa tidak mau tidur semalam suntuk dan membiarkan pemuda itu berjaga, ia memaksa pemuda itu untuk bergiliran menjaga. Kalau mereka bermalam di losmen sebuah kota, Siong Li minta dua buah kamar. Sikap Siong Li yang amat sopan dan ramah ini membuat Bwee Hwa semakin tertarik dan kagum.

Pada suatu sore mereka memasuki kota Tung-kwang. Kota ini cukup besar dan ramai. Melihat banyaknya rumah makan dan rumah penginapan dapat diketahui bahwa kota ini banyak dikunjungi orang dari luar kota dan merupakan kota dagang yang cukup ramai.

Siong Li dan Bwee Hwa mencari sebuah rumah penginapan yang besar dan menyewa dua kamar yang berhadapan. Setelah mandi dan bertukar pakaian, mereka lalu keluar dari rumah penginapan untuk berjalan-jalan dan melihat-lihat. Karena siang tadi mereka tidak bertemu dusun atau kota, maka sejak pagi tadi mereka belum makan. Perut mereka terasa lapar dan Bwee Hwa mengajak Siong Li memasuki sebuah rumah makan besar dari mana melayang uap yang menyegarkan aroma sedap membangkitkan selera.

Di dalam rumah makan itu terdapat banyak tamu sedang makan dan bercakap-cakap dengan ramai, akan tetapi ketika mereka melihat Siong Li dan Bwee Hwa memasuki ruangan rumah makan, mereka menghentikan percakapan mereka, bahkan banyak yang menunda makan mereka. Agaknya mereka tertarik sekali melihat sepasang orang muda yang berpakaian serba ringkas dan membawa pedang di punggung. Mata mereka memandang penuh curiga.

Siong Li dan Bwee Hwa merasakan perubahan ini dan tahu bahwa semua orang memperhatikan mereka. Akan tetapi mereka tidak perduli. Mereka memesan makanan dan minuman, lalu setelah yang dipesan dihidangkan, merek lalu makan dan minum dengan tenang. Betapapun juga, mereka berdua diam-diam memperhatikan orang-orang di sekitar mereka. Semua orang melanjutkan makan mereka akan tetapi kini mereka bicara perlahan, tidak berani langsung memandang ke arah Siong Li dan Bwee Hwa, kelihatan takut-takut.

Malam hari itu terlewat tanpa terjadi sesuatu. Akan tetapi pada keesokan hari-nya, pagi-pagi benar ketika Bwee Hwa telah bangun dan membersihkan diri lalu keluar dari kamar hendak mengetuk pintu kamar Siong Li, tiba-tiba dari luar menyerbu masuk tujuh orang yang berpakaian seperti polisi. Mereka memasuki rumah penginapan itu dengan pedang terhunus di tangan dan langsung menghampiri Bwee Hwa. Kawanan polisi ini dipimpin seorang yang berkumis panjang.

Pada saat itu, Siong Li keluar dari dalam kamarnya. Ternyata diapun sudah bangun dan sudah mandi sehingga tampak segar. Pemuda ini merasa heran melihat tujuh orang petugas keamanan itu yang agaknya langsung menghampiri dia dan Bwee Hwa. Kepala regu itu berkata kepada mereka berdua. “Harap ji-wi (kalian berdua) menyerah dan tidak melawan. Kami harus membawa ji-wi ke kantor polisi untuk diperiksa.”

Tentu saja Bwee Hwa dan Siong Li terkejut mendengar ini dan Bwee Hwa yang berwatak keras itu segera bertolak pinggang dan membentak marah.

“Kau anggap kami ini orang apakah? Jangan sembarangan menuduh dan berlaku sewenang-wenang mengandalkan kekuasaanmu! Dengan alasan apakah kalian hendak menangkap kami?”

Posting Komentar