“Kekasihku, kau juga mau makan?”
Si Cui Sian marah sekali, demikian pula para perwira itu dan ia lalu menyergap kakek itu dengan senjata mereka.
“Ha ha ha! Majulah, majulah! Siapa mau ikut berpesta, majulah!”
Dengan memutar-mutar cambuk dengan tangan kanan sedangkan tangan kiri tetap menjumput hidangan untuk dimakan, Thian-te Lo-mo menyambut serbuan mereka itu. Tubuhnya memang sudah lemas karena lukanya dan ia tidak ada nafsu untuk bertempur, maka menghadapi keroyokan perwira-perwira yang berkepandaian tinggi dan juga wanita bercacad yang lihai sekali ilmu pedangnya itu, tentu saja ia tidak dapat bertahan. Sebentar saja tubuhnya telah menjadi sasaran senjata lawan dan terluka di sana-sini. Akan tetapi, Thian-te Lo-mo masih saja tertawa gelak-gelak seakan-akan luka-luka itu mendatangkan rasa nikmat kepadanya.
“Ha ha ha! Mari, mari! Inilah daging dan tulangku, boleh kalian suguhkan kepada kaisar! Ha ha, daging dan tulang-tulangku untuk hidangan kaisar, ha ha ha!” ketawanya makin mengerikan, tetapi makin perlahan. Semua pengeroyoknya merasa ngeri melihat kakek yang tubuhnya sudah menerima tusukan dan bacokan- bacokan itu masih saja berdiri sambil tertawa terkekeh-kekeh. Mereka menjadi gentar sendiri dan melangkah mundur.
Tetapi, biarpun semangat dan jiwanya tak terluka, ternyata jasmani Thian-te Lo-mo tak dapat menahan keluarnya darah sekian banyaknya. Ia roboh dengan mulut masih tertawa dan menghembuskan nafas dengan bibir masih tersenyum. Kakek ini biarpun mati dalam keadaan rusak tubuhnya, tetapi benar-benar ia mati dengan hati lapang dan gembira!
********************
Ketika menggendong gadis itu dan melarikan diri melalui pintu belakang dapur istana, Tiong San diserbu oleh belasan orang penjaga. Akan tetapi sambil mempermainkan cambuknya, pemuda itu berhasil melewati mereka dan terus melompat naik ke atas genteng.
Tiba-tiba ia mendengar suara suhunya sehingga tak terasa pula kakinya berhenti. Hatinya seperti disayat- sayat pisau ketika mendengar semua ucapan suhunya itu, lebih-lebih mendengar suara ketawa suhunya yang makin lama makin lemah. Ia tak kuat mendengarkan lagi dan melanjutkan larinya dengan air mata meleleh di pipinya.
Ia merasa betapa tubuh gadis yang digendongnya itu ringan dan mendatangkan kehangatan yang aneh dalam tubuhnya. Bau harum yang menyengat hidungnya membuat ia merasa bulu tengkuknya berdiri. Ingin ia melemparkan gadis itu ke bawah genteng, tetapi ia teringat akan pesan suhunya, dan pula ia tidak sudi melakukan hal yang rendah dan jahat itu, maka ia mempercepat larinya, sehingga gadis itu terpaksa harus memicingkan matanya karena ngeri dan takut, serta mempererat rangkulan tangannya pada leher Tiong San yang membuat pemuda itu makin tidak enak hatinya.
Berkat ketangkasannya, cegatan-cegatan para penjaga dapat dilaluinya dengan mudah dan tak lama kemudian Tiong San dapat membawa gadis itu sampai keluar kota. Ia berlari terus karena hendak menghindarkan diri dari para pengejarnya dan setelah tiba di sebuah hutan, ia menurunkan gadis itu dengan kasar ke atas tanah.
Gadis itu yang masih merasa gelisah dan khawatir serta penuh kengerian karena dibawa lari secepat itu, belum tahu bahwa pemuda itu menghendakinya turun, maka ia masih saja merangkulkan lengannya pada leher Tiong San dalam kekhawatirannya kalau-kalau jatuh terlempar.
“Turunlah!” bentak Tiong San dengan kasar dan gadis itu buru-buru melepaskan rangkulannya dan turun.
Ketika Tiong San membalikkan tubuh dan memandangnya, ia merasa betapa ia telah berlaku terlalu kasar. Ternyata bahwa gadis itu berpakaian sebagai pelayan di dalam istana. Pakaiannya rapi dan indah, sikapnya halus sekali dan wajah gadis itu menunjukkkan kehalusan budinya.
Tak dapat disebut terlalu cantik, lebih sesuai disebut manis. Apalagi sepasang matanya yang bening itu menyinarkan pandangan yang amat halus sehingga pandangan mata itu sekali gus banyak mengurangi kemarahan dalam hati Tiong San terhadapnya.
“Siapakah kau dan mengapa suhu sampai suka mengorbankan nyawanya untuk keselamatanmu?” tanya Tiong San sambil merengut.
Gadis itu merasa betapa dirinya dibenci dan mendapat perlakuan kasar, maka ia menundukkan kepalanya dengan hati sedih sekali, tetapi ia menahan sekuat tenaga agar jangan sampai mengucurkan air mata. Ia menggigit bibirnya yang tipis, lalu menjawab,
“Bukan maksudku demikian. Adalah suhumu sendiri ....., ia terlalu mulia ah, aku benar-benar menyesal
bahwa diriku yang hina dina ini sampai menimbulkan malapetaka kepada kau dan gurumu ” “Sudahlah jangan banyak menyinggung hal yang tak kusukai itu! Paling baik lekas kau ceritakan apa yang telah terjadi sebelum aku datang ke dapur itu!” Suara Tiong San masih tetap keras dan bengis. Untuk sesaat gadis itu menatap wajah Tiong San, lalu berkata,
“Aku bernama Siang Cu, she Gan ” ia mulai menutur, tetapi Tiong San segera memotongnya.
“Aku tidak perduli kau bernama siapa dan she apa!” “Habis, dari mana aku harus bercerita?”
“Ceritakan siapa yang melukai suhu dan bagaimana terjadinya!”
“Suhumu dikeroyok oleh para perwira dan wanita cacad mukanya itu. Tadinya suhumu mengamuk dan semua perwira tidak ada yang berani mendekatinya, kemudian datang wanita itu dan anehnya, suhumu tidak melawan, sehingga wanita itu dapat menusuk dadanya dengan pedang dan ”
“Keparat!” Tiong San memaki marah. “Aku harus menolong suhu dan membunuh wanita jahanam itu!” Setelah berkata demikian, Tiong San melompat dan berlari cepat, kembali ke kota raja!
Ketika ia tiba di atas dapur istana, ternyata bahwa semua perwira telah pergi, meninggalkan jenazah Thian- te Lo-mo dalam tangan para pelayan yang ditugaskan mengurusnya. Bukan main marah dan sedihnya hati Tiong San.
Ia berseru keras dan melompat turun dengan cambuk di tangan. Cambuknya digerakkan dan semua pelayan itu lari pontang-panting, beberapa orang di antaranya terjungkal terkena ujung cambuk. Melihat bahwa di situ tidak ada perwira-perwira yang menjadi musuhnya, ia lalu menyambar tubuh suhunya yang sudah rusak itu dan membawanya lari melompat ke atas genteng kembali.
Ketika ia sampai di hutan itu, ternyata Siang Cu masih berada di situ, duduk dengan muka gelisah di bawah pohon. Ia segera berdiri ketika melihat Tiong San datang dan ketika melihat tubuh Thian-te Lo-mo yang rusak di dalam pondongan pemuda itu, Siang Cu menangis sedih.
“Mengapa pula kau menangis? Suhu menjadi begini karena kau!”
“Kalau kau merasa kesal bunuhlah aku sekali! Aku lebih senang mati agar nyawaku dekat dengan nyawa lo-inkong ini, agar ada yang menjadi sahabatku , di dunia ini tidak ada orang yang berhati mulia yang
sanggup membelaku selain lo-inkong ini ” tangis Siang Cu. Mendengar ucapan ini, Tiong San tertegun
dan berkata,
“Tahan air matamu dan jangan banyak cakap!”
Kemudian Tiong San menggali tanah di bawah pohon dengan sebatang kayu, karena ia tidak mempunyai senjata tajam. Tentu saja amat sukar menggali tanah hanya dengan sebatang kayu yang biarpun sudah dibikin runcing dan dipergunakan dengan tenaga besar, namun terlampau kecil untuk dapat menggali tanah.
Tanpa banyak cakap Siang Cu mencabut keluar sebuah pisau dari pinggangnya dan mulai membantunya. Biarpun senjata di tangan Siang Cu jauh lebih baik dari pada kayu di tangan Tiong San, tetapi karena gadis itu bertenaga lemah, maka tiap kali ujung pisaunya mengenai batu yang di bawah tanah, ia mengeluh kesakitan. Melihat ini, Tiong San berkata,
“Ke sinikan pisau itu dan kau tak perlu membantu!” Gadis itu memberikan pisaunya dan lalu duduk berlutut di dekat mayat Thian-te Lo-mo sambil mengusir lalat yang mulai datang merubungi tubuh itu.
BIARPUN sukar dan lama, akhirnya selesai juga penggalian lubang itu dan sambil menangis tersedu-sedu Tiong San lalu mengubur jenazah suhunya, dibantu oleh Siang Cu. Mereka berdua tidak mengeluarkan sepatah katapun, hanya diam-diam bekerja menguruk jenazah itu dengan tanah. Sampai lama keduanya berlutut di depan kuburan itu, kemudian Tiong San berkata,
“Suhu mengorbankan nyawanya untuk kau, seorang perempuan! Yang melukai suhu juga seorang perempuan pula! Alangkah jahatnya orang-orang perempuan!” Ia memandang kepada Siang Cu dan bertanya,
“Sekarang kau ceritakan, bagaimana asal mulanya maka kau sampai bertemu dengan suhu?”
Siang Cu memandang kepada Tiong San, tetapi bibirnya tidak menyatakan sesuatu, namun matanya seakan-akan menegur pemuda itu dan seakan-akan berkata, “Hm, kau akhirnya ingin tahu juga?”
“Seperti kukatakan tadi, aku bernama Siang Cu dan she Gan!” sampai di sini gadis itu berhenti bicara dan mengerling kepada Tiong San, seakan-akan menanti reaksi dari pemuda itu. Akan tetapi oleh karena pemuda itu mendengar penuturannya sambil menundukkan muka dan tidak berkata atau menyela barang sepatah katapun, ia melanjutkan ceritanya dan kisahnya seperti berikut.
Gan Siang Cu semenjak masih kecil telah dijual oleh orang tuanya yang miskin kepada seorang pembesar kota raja. Pembesar ini berhati baik dan mendidiknya dengan berbagai kepandaian, sehingga setelah dewasa. Siang Cu terkenal pandai ilmu kesusastraan dan juga pandai mengatur rumah tangga serta kerajinan tangan, pendeknya segala kepandaian wanita terpelajar telah dipelajarinya dengan baik.