“Semua gara-gara perempuan,” katanya seorang diri. “Kawan-kawanku Khu Sin dan Thio Swie hampir menjadi korban perempuan, dan suhuku tewas karena gara-gara perempuan pula. Perempuan hanya merusak kehidupan seorang gagah!” Sambil berkata demikian, Tiong San berdiri. Ia menjura ke kuburan suhunya dan berkata keras, “Suhu, teecu sudah memenuhi pesanmu. Gadis ini telah teecu bawa keluar dari kota raja, sekarang teecu hendak mencari musuh suhu, perempuan jahat yang telah membunuh suhu untuk membalaskan dendam ini!”
Ia tidak melihat betapa Siang Cu memandangnya dengan amat khawatir dan gelisah. Mata gadis ini menyatakan permohonan agar ia jangan ditinggalkan seorang diri di dalam hutan itu, akan tetapi keangkuhan hati Siang Cu tidak mengijinkannya membuka mulut!
Setelah Tiong San berlutut di depan makam suhunya, pemuda itu lalu melompat dan berlari pergi, sama sekali tidak mau menengok kepada Siang Cu. Gadis itu memandang dengan bengong dan pucat, mengikuti bayangan pemuda itu dengan pandangan matanya, sama sekali tidak berdaya.
Setelah bayangan pemuda itu lenyap, barulah ia menubruk gundukan tanah di mana jenazah Thian-te Lo- mo terkubur, menangis tersedu-sedu dan mengeluh dengan amat sedihnya. Air matanya yang semenjak tadi ditahan-tahannya, kini membanjir keluar dari kedua matanya.
Sementara itu, Tiong San berlari meninggalkan hutan itu dengan pikiran ruwet dan hati tidak keruan rasa. Ia ingin melupakan wajah Siang Cu, akan tetapi sinar mata yang halus itu seakan-akan terus mengikutinya. Di sekelilingnya sunyi senyap tak terdengar sesuatu, akan tetapi langkah kakinya seakan-akan mengeluarkan bisikan, “Kau kejam .... kau kejam .... kejam ... kejam ”
Suara ini mengikutinya tepat di belakang punggungnya, membuat bulu tengkuknya berdiri. Ia tidak tahu bahwa itu adalah suara dari liangsimnya (hati nuraninya) sendiri. Akhirnya ia tidak tahan pula dan cepat membalikkan tubuh dan berlari ke dalam hutan.
Siang Cu menderita bukan main karena ditinggalkan seorang diri di dalam hutan. Apakah yang dapat diperbuatnya? Ke mana ia harus pergi? Akhirnya gadis ini setelah puas menangis, lalu teringat kepada pisaunya.
“Lo-inkong,” ia meratap di depan makam Thian-te Lo-mo. “Aku .... aku tak berdaya ...., aku takut ....! Lo- inkong, tunggulah, aku ikut !” Ia lalu memegang belati itu kuat-kuat dan menusuk dadanya sendiri!
Akan tetapi, seperti yang terjadi ketika ia hendak membunuh diri di dalam dapur istana, kembali berkelebat bayangan hitam dan tahu-tahu belatinya telah terlepas dari tangannya. Ketika ia memandang dengan kaget dan seram karena mengira bahwa kakek itu hidup kembali. Ia melihat Tiong San telah berdiri tak jauh darinya.
“Gadis gendeng ..... gadis gila .....!” pemuda itu berkata perlahan yang mengingatkan Siang Cu kepada suara dan sikap Thian-te Lo-mo. Tiong San mengambil pisau itu dari ujung cambuknya dan memasukkan pisau itu ke dalam saku bajunya.
“Gadis gila ” kembali ia berkata.
Siang Cu sama sekali tidak mau terlihat oleh Tiong San bahwa ia telah menangis, maka ia cepat pergunakan kedua tangan untuk menghapus sisa-sisa air mata dari kedua pipinya dan cepat bangun berdiri.
“Kau datang kembali mau apa? Mengapa kau mencampuri urusanku? Aku .... aku tidak minta pertolonganmu ...., aku .... aku ....” akhirnya ia tak dapat menahan air matanya dan cepat-cepat ia membalikkan tubuhnya agar jangan terlihat oleh pemuda itu bahwa ia betul-betul menangis.
“Aku datang kembali bukan untuk menolongmu,” kata Tiong San yang merasa girang bahwa gadis itu berdiri membelakanginya, sehingga ia tak usah menakuti mata yang halus itu dan gadis itu takkan dapat melihat betapa ia merasa amat kasihan dan terharu! “Aku hanya teringat bahwa tidak selayaknya seorang gadis yang lemah seperti kau ditinggal seorang diri di tengah hutan. Sekarang katakan, apa yang harus kulakukan? Ke mana kau hendak pergi dan aku akan mengantarkanmu ke tempat tujuanmu itu. Hanya untuk mengantarkan sampai di tempat tujuanmu, lain tidak!”
Dengan gerakan perlahan, Siang Cu memutar kembali tubuhnya dan kini ia menghadapi Tiong San. Pemuda itu menekan perasaan herannya ketika melihat betapa kini bibir gadis itu tersenyum. “Gadis gila !” tak terasa pula ia berkata dan Siang Cu tersenyum makin lebar, lalu tertawa seakan-akan
ia dikitik-kitik dan merasa geli sekali!
“Ah, eh, mengapa kau tersenyum-senyum dan tertawa-tawa? Kau benar-benar gila!” Akan tetapi, dimaki gila beberapa kali itu bukannya marah, Siang Cu bahkan nampak makin geli.
“Kalau aku gila, kau juga gila!” jawabnya dengan halus. “Kau hendak mengantarkanku? Tak perlu. Kalau kau memang tidak mau meninggalkanku sendiri di dalam hutan liar ini, carikanlah satu stel pakaian laki-laki untukku. Tak usah yang baik-baik, pakaian yang telah usang saja, asalkan pakaian laki-laki. Hanya itu permintaanku kalau kau suka menolong, dan lain tidak!”
Tiong San menjadi heran, tetapi ia dapat menduga bahwa gadis itu tentu hendak melanjutkan perjalanan dengan menyamar sebagai seorang laki-laki! Diam-diam ia memuji keberanian dan kecerdikan Siang Cu, maka ia lalu berkata,
“Tunggu sebentar, akan kucarikan pakaian itu untukmu!” tubuhnya lalu berkelebat pergi dengan cepat sekali, sehingga Siang Cu memandangnya dengan amat kagum dan untuk beberapa lama gadis itu termenung dalam kebingungan, membanding-bandingkan pemuda itu dengan Thian-te Lo-mo karena ia tidak tahu, mana yang lebih kukoai (aneh) dan gila antara guru dan murid itu!
Tak lama kemudian, benar saja Tiong San kembali sambil membawa satu stel pakaian laki-laki, pakaian petani berwarna biru muda yang masih cukup baik dan belum ada tambalannya. Ia memberikan pakaian itu kepada Siang Cu dan suaranya benar-benar mengandung penyesalan ketika ia berkata,
“Sayang aku tak dapat mencarikan yang lebih baik. Orang-orang dusun di luar hutan itu kesemuanya petani-petani yang tidak kaya!”
“Bagaimana kau memperoleh pakaian ini?”
“Mengapa kau bertanya? Aku aku mengambilnya dari sebuah rumah petani.”
“Mencuri ?” gadis itu membelalakkan kedua matanya dan pakaian yang dipegangnya itu tak terasa pula
terlepas dari tangannya dan jatuh ke atas tanah.
“Biarpun mencuri, akan tetapi aku yang melakukannya, bukan kau!” kata Tiong San dengan mendongkol dan mukanya berobah merah.
Siang Cu merogoh saku bajunya sebelah dalam dan mengeluarkan tiga potong uang perak. “Tidak boleh, kau harus membayarkan uang ini kepada pemilik pakaian. Aku belum pernah memakai barang curian!”
“Aku tak mau!”
“Kalau begitu, akupun tidak mau memakai pakaian ini!”
Tiong San menarik napas panjang dan menerima uang itu. “Baiklah, nanti akan kubayarkan uang ini kepadanya.”
Siang Cu tersenyum girang dan diam-diam Tiong San merasa heran mengapa iapun merasa amat girang oleh karena gadis itu percaya kepadanya, sama sekali tidak meragukan bahwa uang itu akan betul-betul dibayarkan kepada petani yang ia curi pakaiannya itu!
“Pakaian itu amat buruk,” katanya pula.
“Siapa bilang? Ini terlalu bagus untukku,” kata Siang Cu yang segera membawa pakaian itu ke tanah bekas galian di mana terdapat tanah-tanah lempung yang agak basah, lalu ia menggosok-gosokkan pakaian
itu ke dalam tanah lempung!
“Kau gendeng!” kata Tiong San, akan tetapi, ia segera teringat bahwa di dalam penyamaran, memang lebih tepat apabila seorang petani muda pakaiannya berlumur tanah! Kembali ia memuji kecerdikan gadis itu, tentu saja hanya di dalam hati karena mulutnya ia kunci rapat-rapat. “Kau pergilah dulu, aku hendak bertukar pakaian,” kata Siang Cu dan mukanya tiba-tiba berobah merah.
Tiong San juga menjadi malu dan mukanya menjadi merah sampai ke telinga. Ia masih berdiri di tempatnya, hanya memutar tubuh membelakangi gadis itu. “Siapa yang ingin melihat kau bertukar pakaian?” katanya mendongkol.
Biarpun Tiong San sudah memutar tubuh, akan tetapi Siang Cu masih belum puas kalau belum bersembunyi di belakang sebatang pohon besar. Di balik pohon itu ia mengganti pakaiannya, menanggalkan pakaian luar lalu menutup pakaian dalamnya dengan pakaian petani yang telah menjadi kotor berlumpur itu. Sambil berganti pakaian, berkali-kali ia mengintai dari balik batang pohon dan berkali- kali berkata, “Awas, belum selesai, jangan menengok dulu!”
Diam-diam Tiong San menjadi mendongkol dan juga geli. Bencinya terhadap gadis ini banyak berkurang, meskipun ia masih merasa tak senang kepada kaum wanita yang dianggapnya telah merusak hidup orang- orang yang dikasihinya.
“Sekarang kau boleh menengok!” kata Siang Cu dan ketika Tiong San berpaling, ia hampir pangling. Di depannya berdiri seorang petani muda yang amat tampan.
“Bagaimana? Sudah patutkah aku menjadi seorang pemuda tani?”
Tiong San memandang penuh perhatian dan lupa akan “bencinya” tadi, ia membantu untuk mencari-cari apa yang kiranya perlu diperbaiki dalam samaran itu. “Wajahmu ”” katanya.
“Mengapa wajahku?” tanya Siang Cu cepat-cepat dan otomatis tangan kirinya naik untuk mengusap pipinya.
“Wajahmu terlalu cakap untuk seorang petani muda ... eh, maksudku ... hm ... terlalu terlalu putih dan
halus kulit mukamu ” Muka Tiong San menjadi merah sekali karena ucapan itu benar-benar amat sukar
keluar dari mulutnya dan ia benci kepada dirinya sendiri untuk mengeluarkan ucapan yang didorong- dorong oleh hatinya sendiri.
Siang Cu tersenyum. “Mudah sekali kalau hanya itu ....” Gadis itu lalu mengambil tanah lempung dan segera membedaki mukanya dengan tanah! Kini mukanya menjadi kotor berlumpur, hanya matanya saja yang tidak berubah, masih bening dan bersinar halus.
“Sayang ” tiba-tiba kata-kata ini hanya terloncat keluar dari mulut Tiong San.
“Apanya yang sayang?” tanya Siang Cu cepat.
Ingin Tiong San menampar mulutnya sendiri. Menurut kata hatinya, ia hendak menyatakan sayang karena kulit muka yang putih halus itu dirusak dengan lumuran lumpur hingga menjadi kotor. Akan tetapi tentu saja ia tidak mau mengucapkan kata-kata ini dan untung bahwa ia masih dapat mengekang lidahnya dan hanya mengucapkan kata-kata “sayang” tadi! Kini Siang Cu mengajukan pertanyaan yang membuatnya menjadi bingung dan terpaksa ia menjawab dengan gagap.
“Yang sayang ... itu loh .... eh, rambutmu !”
“Rambutku ...? Mengapa rambutku?” kembali otomatis tangannya diangkat dan menyentuh rambutnya yang hitam dan panjang.
“Rambutmu terlalu halus dan panjang, tak pantas dimiliki oleh seorang petani muda!”
“Begitukah? Coba kau ke sinikan pisauku tadi!”