Pedang Ular Mas Chapter 37

NIC

"Hm!" Un Ceng perdengarkan ejekannya. "Pulang pergi, kau toh bantui dia! Baik emas itu ada disini! Dengan akal aku telah curi itu, maka juga, kau pun mesti gunai akal untuk mencuri kembali! Aku kasi tempo tiga hari! Jikalau kau mempunyai kepandaian, kau ambillah! Jikalau lewat tiga hari, aku tak akan sungkan-sungkan lagi!"

Sin Cie segera tarik tangan baju Un Ceng.

"Adikku, mari!" berkata dia, jang terus mengajak orang ke satu pojok. "Tadi malam kau bilang kau dengar perkataanku, kenapa sekarang, belum selang setengah harian, kau sudah berubah?"

"Jikalau kau perlakukan aku baik, aku pasti dengar kata- katamu," sahut Un Ceng.

"Kenapa aku tak perlakukan baik padamu?" tanya Sin Cie. "Apa benar tak dapat aku ambil emas itu?"

Kedua matanya pemuda Un itu menjadi merah.

"Kau bertemu sama sahabat lama, lantas kau tidak pandang ornag lagi," dia kata." Bisa apa jikalau aku kangkangi harta Giam Ong? Paling juga orang bunuh aku! Ya, memang dalam hidupku ini, tak ada orang mengasihani aku..."

Hampir airmatanya pemuda ini keluar meleleh. Sin Cie berkasihan tapi ia tidak puas.

"Kau adalah saudara angkatku, dia adalah anaknya sahabatku," kata dia dengan penjelasannya. "Dua-dua aku pandang sama, tidak ada yang aku bedakan lebih tebal atau lebih tipis, kenapa kau jadi begini rupa?"

"Sudahlah, jangan banyak omong, dalam tempo tiga hari, kau datanglah curi emas itu!" Un Ceng pegat.

Masih Sin Cie hendak tarik tangan orang akan tetapi kali ini Un Ceng halau tangannya dan lantas lari kedalam.

Oleh karena perdamaian gagal, terpaksa Sin Cie ajak Siau Hui berlalu dari rumah keluarga Un itu, bersama-sama mereka pergi kerumahnya seorang tani untuk menumpang nginap. Disini Sin Cie tanya duduknya emas itu. Siau Hui ceritakan dia antar bertiga, entah bagaimana, ditengah jalan mereka terpisah, hingga akhirnya emas didapati Un Ceng.

Siau Hui cerita tidak terlalu jelas, agaknya dia ragu-ragu maka Sin Cie tidak tanya melit-melit.

Pada malam hari itu, kira-kira jam dua, Sin Cie ajak nona An pergi kerumah keluarga Un. Begitu ia lompat naik keatas genteng, ia dapatkan api dipasang terang-terang diseluruh thia yang lebar. Un Beng San dan Un Beng Go, dua saudara, duduk makan-minum bersama, Un Cheng dan Un Ceng dampingi mereka. Ia tidak tahu emas disimpan dimana, ia mencoba pasang kuping, supaya ia bisa peroleh sedikit penghunjukkan. Tiba-tiba Un Ceng, dengan tertawa dingin, kata seorang diri : "Emas ada disini! Siapa punyakan kepandaian, dia boleh ambil!"

Siau Hui betot Sin Cie yang berada disebelah depannya. "Rupanya dia tahu kita sudah berada disini," ia berbisik.

Sin Cie manggut akan tetapi matanya terus mengawasi kearah thia. Maka ia bisa lihat Un Ceng keluarkan dua bungkusan, untuk diletaki diatas meja, buat segera dibuka, dibeber, hingga diantara sinar api bergemirlapanlah cahaya emas berkilau-kilau. Sesudah beber emas itu, Un Ceng duduk, dituruti oleh Un Cheng, kakaknya. Mereka juga letaki golok dan pedang mereka, untuk gantikan itu dengan cawan arak, buat mereka turut minum dan makan.

"Begini rupa mereka bikin penjagaan, tanpa kekerasan, cara bagaimana emas itu bisa dapat dirampas?" pikir Sin Cie.

Siau Hui pun terdiam.

Lebih dari setengah jam mereka sudah menantikan, orang-orang dibawah itu masih tidak hendak berlalu, maka akhirnya Sin Cie tarik tangannya Siau Hui , untuk diajak pulang kerumah penginapan mereka. Ia tahu, malam itu mereka tidak berdaya... Dihari kedua, paginya, Siau Hui pasang omong dengan Sin Cie. Ia beritahukan bahwa ibunya ada sehat walafiat dan ibu itu sering ingat si anak muda.

Sin Cie rogoh sakunya, akan keluarkan sepotong gelang emas yang kecil.

"Inilah pemberian ibumu kepadaku," kata dia. "Kau lihat, dulu lenganku ada sebesar gelang ini tetapi sekarang?. " Siau Hui tertawa. Ia awasi lengan orang.

"Engko Sin Cie, selama ini kau kerjakan apa saja?" tanya dia.

"Setiap hari aku belajar silat, lain kerjaan tak ada," Sin Cie sahuti.

"Pantas ilmu silatmu liehay sekali!" si nona memuji. "Ketika kemarin kau tolak aku, kuda-kudaku turut gempur..."

"Tapi, kenapa kau pun gunai ilmu pedang Hoa San Pay?" Sin Cie tanya. "Siapa ajarkan itu padamu?"

Matanya si nona merah dengan tiba-tiba, ia berpaling kelain arah.

"Cui Suko yang ajari..."sahut ia selang sesaat. "Dia ada dari Hoa San Pay."

"Apakah dia mendapat luka?" Sin Cie tanya. "Mengapa kau berduka?"

"Mana dia mendapat luka?" balik si nona. "Dia tidak perdulikan orang, dia pisahkan diri ditengah jalan..."

Malamnya, kedua anak muda ini berangkat pula kerumah keluarga Un. Di thia besar tetap ada menanti empat orang, melainkan si orang-orang tua telah bertukar orang-orangnya. Mestinya mereka ini berdua ada yang lain- lainnya dari Ngo-cou, kelima tetuanya keluarga itu. Dan tentunya, tiga yang lain lagi sembunyi.

"Ada orang-orang liehay bersembunyi disini, kita mesti waspada," Sin Cie kisiki Siau Hui.

Si nona manggut, alisnya mengkerut. Tiba-tiba ia dapat pikir sesuatu, lantas saja ia loncat turun. Sin Cie berkuatir untuk nona ini, ia segera menyusul, mengikuti.

Siau Hui pergi kebelakang dapur. Disini ia nyalakan api, lantas ia sulut setumpuk kayu bakar, maka tak berselang lama, api itu lantas berkobar-kobar, menjilat-jilat keatas.

Sekejab saja keluarga Un menjadi kacau. Sejumlah chungteng, dengan membawa air dan gala, lari kearah dapur, untuk padamkan api.

Siau Hui lari balik kedepan, Sin Cie bersama dia.

Pemuda ini ketahui akalnya si pemudi.

Di dalam thia, api lilin terus menyala terang, tetapi empat penjaganya telah tidak ada.

Siau Hui girang tak kepalang.

"Mereka pergi padamkan api!" berseru dia.

Dengan bergelantungan dipayon, nona ini loncat turun kebawah, dari antara jendela, ia loncat masuk kedalam thia.

Sin Cie telad contohnya nona ini.

Sebentar saja mereka berdua sudah sampai dipinggir meja. Siau Hui maju lagi setindak, tangannya berbareng diulur, untuk jumput emas.

Sin Cie kaget ketika ia menaruh kakinya, ia rasai menginjak tempat yang tak berdasar kuat. Segera ia insyaf kepada lobang jebakan. Ia menyambar dengan tangan kanannya, untuk tolong Siau Hui, sembari menyambar, ia pun berloncat. Tapi ia sudah terlambat, sambarannya gagal. Ia sendiri telah sampai di tiang tengah, dengan tangan kiri, ia sambar tiang itu, kaki kirinya diletaki didasarnya tiang.

Sedetik saja, papan jebakan telah membalik diri, dengan Siau Hui telah kejeblos kedalam, lenyap dari muka lantai. Kaget dan berkuatir, Sin Cie loncat ke jendela. Adalah niatan dia untuk cari pesawat rahasianya jebakan itu, untuk tolongi Siau Hui. Ia Baru sampai diluar jendela atau ada angin sambar ia. Ia mengerti, ada orang bokong padanya. Dengan sebat ia menangkis dengan tangan kanan, hingga tangannya itu bentrok dengan tangan si penyerang, yang belum dikenal siapa. Penyerang itu agaknya mencoba membetot tapi, penyerangnya itu, yang tersempar, rubuh tubuhnya, hanya saking gesit, dia ini bisa berlompat bangun dengan cepat, malah dia segera lompat naik ke genteng juga, untuk menyusul.

Begitu lekas ia ada diatas genteng dan memandang kesekitarnya, Sin Cie bergidik tanpa kedinginan. Nyata ia telah dikurung oleh sejumlah orang, yang tubuhnya kate dan jangkung tidak merata. Iapun lihat, orang yang barusan ia kena sempar rubuh Un Cheng adanya. Ia insyaf bahwa ia sedang terancam melainkan ia belum tahu, bagaimana sikap keluarga Un itu. Maka dengan berdiam diri, ia awasi mereka itu - ia berlaku tenang dan waspada.

Dari lima tertua pemuda kita sudah kenal dua, ialah Sam-cou Un Beng San dan Ngo-cou Un Beng Go. Dari tiga yang lian, ia lihat satu yang bertubuh kekar luar biasa, siapa sekarang berdiri ditengah-tengah. Dia ini jauh lebih tinggi- besar dari empat lainnya. Ketika dia tertawa dengan mendadak, suaranya pun nyaring sekali.

"Kami berlima saudara tinggal didusun yang sepi tetapi sekarang ada orang sebawahan yang liehay dari Giam Ong berkunjung kepada kami, inilah ada satu kehormatan yang besar sekali!" demikian suaranya, yang tak kalah nyaringnya, bagaikan suara lonceng saja. Segera Sin Cie maju setindak, untuk beri hormat sambil menjura kepada orang tua itu.

"Aku yang muda menghadap cianpwee," kata dia. Ia tidak mau berlutut, karena ia kuatir nanti ada yang bokong. Ia memberi hormat supaya orang tidak katakan dia tidak kenal adat sopan-santun.

Un Ceng berada diantara pihak pengurung, ia majukan diri.

"Ini Toa-yaya!" kata dia, dengan suaranya yang cempreng. "Ini jie-yaya. Dan ini Su-yaya."

Sin Cie menjura kepada sesuatu yaya yang disebutkan. Yang tertua dari Ngo Cou dari Cio Liang Pay ialah Un

Beng Tat, yang kedua Un Beng Gie, dan yang keempat Un

Beng Sie. Mereka ini, bersama Sam-yaya dan Ngo-yaya balas hormat itu. Walaupun begitu, mereka mengawasi dengan tajam.

Diantara kelima Ngo-cou, Un Beng Gie yang kedua, adalah yang paling keras perangainya. Begitulah dia ini menegur: "Kau masih muda sekali tapi nyalimu nyata tak kecil, kau berani melepas api membakar rumahku!"

"Itulah perbuatan sembrono dari kawanku," mengaku Sin Cie dengan sikapnya yang menghormat. "Aku merasa sangat menyesal. Syukur api tak membahayakan hebat. Biarlah besok aku yang muda datang pula kemari untuk minta maaf. "Dengan sebenarnya, api telah lantas dapat dibikin padam, tak menjalar lebih jauh.

Un Beng Sie, tertua yang keempat, bertubuh jangkung dan kurus, dia adalah engkongnya Un Cheng, potongan tubuhnya romannya, mirip benar dengan cucunya itu. Dia ini menyambungi saudaranya bicara. "Kami tinggal disini sudah beberapa puluh tahun," demikian katanya. "Selama sekian lama itu, cuma ada orang-orang yang datang kemari untuk menghunjuk hormat, belum pernah ada satu bocah yang berani berlaku kurang ajar! Siapa itu gurumu? Kenapa kau begini tak tahu aturan?"

Posting Komentar