Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Heng-san Chapter 32

NIC

senang.........” Hartawan Ui itu terengah-engah, lalu menoleh kepada anak-anaknya. “.......Kiang-ji dan Kong-ji ”

“Ya, ayah.” Kedua orang pemuda itupun berlutut tak jauh dari Bwee Hwa. “…… katakan. siapa di antara…… kalian…… yang setuju……?”

“Saya siap melaksanakan perintah ayah,” kata Ui Kiang. “Aku setuju, ayah!” kata Ui Kong.

Biarpun dengan lemas, lemah dan napas terengah-engah, Hartawan Ui tertawa sehingga dia terbatuk- batuk. “Ha-ha...... ugh-ugh-ugh…… kalian selalu berebut…… sekarang, kuserahkan keputusannya…… kepadamu, Bwee Hwa....... Engkau kuterima...... menjadi mantuku....... dan engkau berhak. memilih

di antara...... kedua...... putera...... ku...... i...... ni.......” Hartawan Ui terkulai, matanya terpejam dan napasnya berhenti.

“Ayah. !!” Ui Kiang dan Ui Kong menubruk ayah mereka, mengguncang tubuh itu, akan tetapi Ui Cun

Lee telah mati.

Ui Kiang menangis seperti anak kecil. Ui Kong tadinya juga menangis, akan tetapi kemudian tiba-tiba dia bangkit berdiri, mencabut pedangnya dan sambil mengacungkan pedangnya ke atas, dia berkata dengan suara bergetar penuh kemarahan dan dendam.

“Aku Ui Kong, bersumpah, tidak akan berhenti sebelum dapat membalas dendam kematian ayahku. Akan kubunuh jahanam bermuka putih itu dan konco-konconya!!”

Mendengar ucapan yang lantang ini, Ui Kiang juga berdiri dan merangkul adiknya. Dia mengusap air matanya dan berkata kepada adiknya. “Kong-te, tenanglah. Yang terpenting sekarang kita bawa pulang jenazah ayah dan mengurus pemakamannya baik-baik.”

Siong Li yang merasa kasihan kepada kakak beradik ini lalu berkata, “Jiwi Ui-kongcu (kedua tuan muda Ui), perkenalkan, nona ini adalah Nona Lim Bwee Hwa dan aku sendiri bernama Ong Siong Li, seorang sahabat yang ikut merasa berduka atas musibah yang menimpa keluarga ji-wi (anda berdua).”

Empat orang itu saling memberi hormat dengan nnengangkat kedua tangan depan dada. “Perkenalkan, aku bernama Ui Kiang dan ini adalah adikku Ui Kong. Kami berdua mengucapkan terima kasih atas bantuan Nona Lim Bwee Hwa dan saudara Ong Siong Li yang ikut menghadapi lima orang penjahat tadi.”

Bwee Hwa merasa tidak enak kalau berdiam diri saja. Memang pada dasarnya ia seorang gadis yang bebas dan tidak malu-malu, maka iapun berkata, “Apa yang dikatakan Ui toa-kongcu (tuan muda pertama Ui) tadi memang benar sekali. Ui ji-kongcu (tuan muda kedua Ui) harap tenang dan bersabar. Memang, penjahat muka putih yang lolos itu, yang menurut keterangan Li-ko adalah Pek-bin Moko, harus dikejar dan bersama teman-temannya harus dibasmi. Percayalah, aku dan Li-ko siap membantu untuk membalas kematian Paman Ui dan juga untuk merebut kembali patung Kwan-im Pouwsat dari kuil ini.”

Dua orang kakak beradik Ui itu memandang dan mendengarkan ucapan Bwee Hwa. Keduanya merasa kagum bukan main. Gadis yang “dijodohkan” dengan seorang di antara mereka itu benar-benar hebat. Cantik jelita, gagah perkasa, dan juga cerdik dan pandai bicara, tidak malu-malu seperti gadis biasa. Sungguh jauh melampaui perkiraan mereka! “Aku protes, nona! Sungguh tidak enak dan terasa asing mendengar engkau menyebut kami dengan sebutan Ui toa-kongcu dan Ui ji-kongcu, juga mendengar saudara Ong Siong Li menyebut kami kongcu (tuan muda). Bukankah di antara kita terdapat hubungan dekat? Apalagi setelah kita bersama-sama melawan lima orang penjahat tadi. Nona, tidakkah sudah sepantasnya kalau engkau menyebut kakakku ini cukup dengan Kiang-ko (kakak Kiang) dan menyebut aku dengan Kong-ko (kakak Kong) saja, sedangkan kami menyebutmu dengan Hwa-moi (adik Hwa)?”

Bwee Hwa tersenyum dan mengangguk. “Begitupun baik dan boleh saja, Kong-ko.”

“Bagus!” kata Ui Kong. “Terima kasih, Hwa-moi. Dan engkau, saudara Ong Siong Li. Engkaupun kami anggap sebagai sahabat baik sendiri, maka sudah sepatutnya kita saling memanggil seperti saudara, menurut banyaknya usia masing-masing. Berapa usiamu sekarang?”

Siong Li juga tersenyum. Dia menyukai sikap keterbukaan Ui Kong yang tampak jujur dan yang dia tahu memiliki ilmu kepandaian silat yang cukup lihai itu.

“Usiaku sekarang duapuluh dua tahun,” jawabnya.

“Wah, kalau begitu, di antara kita bertiga, Kiang-ko yang paling tua, kemudian engkau, dan yang paling muda adalah aku. Jadi aku harus menyebutmu Li-ko (kakak Li). Nah, sekarang kita seperti keluarga sendiri dan kami ingin sekali mengetahui riwayat kalian masing-masing,” kata Ui Kong.

“Kong-te, kurasa hal itu akan terlalu panjang dan makan waktu untuk dibicarakan. Padahal, yang terpenting sekarang adalah membawa jenazah ayah pulang dan mengurus pemakamannya. Biarlah kelak kalau semua pengurusan jenazah beres, kita sambung lagi pembicaraan ini.”

“Tepat sekali apa yang dikatakan Kiang-ko itu, Kong-te!” kata Siong Li yang merasa kagum kepada putera pertama Hartawan Ui yang bijaksana.

“Akupun setuju!” kata Bwee Hwa. “Mari kita atur untuk membawa pulang jenazah Paman Ui, Kiang-ko dan Kong-ko!”

Dengan bantuan para hwesio Kuil Ban-hok-si, jenazah Ui Cun Lee dinaikkan ke atas kereta keluarga Ui yang masih berada di luar pekarangan. Jenazah itu diangkut ke kota Ki-lok, dikawal oleh empat orang muda itu. Adapun para hwesio Kuil Ban-hok-si sibuk menguburkan empat orang mayat para penjahat yang tewas dalam pertempuran tadi.

Selama upacara kematian sampai ke pemakaman yang makan waktu tiga hari tiga malam, di mana seluruh penduduk kota Ui Cun Lee datang melayat. Bwee Hwa dan Siong Li mendapatkan masing-masing sebuah kamar di rumah gedung keluarga Ui yang kini hanya tinggal Ui Kiang dan Ui Kong berdua.

Setelah upacara pemakaman selesai dan jenasah Ui Cun Lee dimakamkan di tanah kuburan di luar kota Ki-lok yang jaraknya belasan lie (mil) dari kota itu, kakak beradik Ui itu mengajak Bwee Hwa dan Siong Li bicara di ruangan depan rumah gedung mereka.

Melihat wajah kedua orang kakak beradik itu muram, Bwee Hwa merasa iba dan setelah mereka duduk mengelilingi sebuah meja besar sambil minum teh yang disuguhkan pelayan, ia berkata. “Kiang-ko dan Kong-ko, aku sungguh ikut merasa berduka cita atas kematian ayah kalian.” “Hemm, aku pasti akan membalas dendam kepada mereka, setelah jenazah ayah dimakamkan!” kata Ui Kong dengan gemas.

“Sudahlah, Hwa-moi, hal itu sudah berlalu. Setiap kematian memang menda-tangkan duka, akan tetapi setiap kematianpun adalah takdir manusia yang tak dapat dihindarkan. Kita tidak boleh terlalu tenggelam dalam duka. Sekarang, mari kita lanjutkan perakapan kita tempo hari dengan menceritakan riwayat masing-masing agar perkenalan di antara kita lebih akrab,” kata Ui Kiang.

“ltu benar!” kata Ui Kong. “Kita mulai dari riwayatmu, Hwa-moi. Aku tertarik sekali melihat permainan pedangmu karena kalau tidak salah, permainan pedangmu itu memiliki dasar yang sama dengan ilmu pedangku. Dari manakah engkau mempelajari ilmu pedangmu itu?”

“Aku sendiripun heran melihat engkau memainkan pedangmu, Kong-ko, karena akupun melihat persamaan dasar ilmu pedang kita. Bahkan aku dapat menduga, kalau tidak salah ilmu pedangmu itu adalah Sin-liong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Sakti), bukan?”

“Wah, tepat sekali! Eh, Hwa-moi, cepat katakan, siapa yang mengajarmu ilmu pedang itu? Aku sudah ingin sekali mendengarnya!” kata Ui Kong.

“Yang mengajarkan adalah Sin-kiam Lojin (Orang Tua Pedang Sakti),” kata Bwee Hwa.

“Sin-kiam Lojin dari Heng-san? Dia itu adalah Toa-suhengku (kakak sepergu-ruan tertua)! Bahkan dia yang mengajarku, mewakili mendiang suhu Pek-mau Sanjin (Manusia Gunung Rambut Putih). Jadi, biarpun kedudukannya sebagai kakak seperguruanku, sebenarnya dia itu guruku juga,” seru Ui Kong girang.

“Kalau begitu, engkau masih suhengku (kakak seperguruanku) sendiri, Kong-ko!” kata Bwee Hwa gembira.

“Hemm, kalau melihat kedudukan kalian, Kong-te adalah susiok-mu (paman seperguruanmu), Hwa-moi. Engkau adalah keponakan muridnya,” kata Ui Kiang.

Diam-diam Siong Li mendengarkan dengan hati risau. Tampak benar bahwa kakak dan adiknya itu seolah bersaing untuk memperebutkan hati Bwee Hwa!

“Riwayatmu telah kami dengar dari mendiang ayah seperti yang diceritakan Li-te (adik Li) ini kepadanya, Hwa-moi. Dan engkaupun tentu sedikit banyak sudah mendengar cerita Li-te tentang keluarga kami seperti diceritakan mendiang ayah kepadanya. Nah, sekarang kami ingin mendengar tentang riwayatmu, Li-te. Bukankah engkaupun sekarang telah menjadi sahabat kami?” kata Ui Kiang lebih lanjut.

Siong Li tersenyum. “Wah, sebenarnya tidak ada sesuatu yang menarik untuk diceritakan tentang diriku.”

“Aih, hayolah, Li-ko. Berceritalah! Semenjak aku mengenalmu, beberapa bulan yang lalu sampai sekarang, engkau tidak pernah menceritakan tentang asal usulmu kepadaku. Engkau tidak ingin merahasiakan dirimu dari kami semua, bukan?” kata Bwee Hwa. Ong Siong Li menghela napas panjang. “Baiklah, akan kuceritakan tentang diriku yang tidak menarik ini.”

“Tidak menarik?” bantah Bwee Hwa. “Kiang-ko dan terutama engkau, Kong-ko. Ketahuilah bahwa di dunia kang-ouw kakak Ong Siong Li ini terkenal dengan julukan It-kak-liong (Naga Tanduk Satu)!”

“Eh? Kenapa julukannya begitu aneh? Kulihat Li-te tidak bertanduk, kenapa pakai julukan Naga Bertanduk Satu?” tanya Ui Kiang dengan heran.

Posting Komentar