Tanyanya, sambil memandang wajah keriputan itu. Akan tetapi dari sinar matanya, Siluman Kecil tahu bahwa nenek itu agaknya tidak mengerti atau mungkin juga tidak mendengar. Ketika nenek itu menaruh tangan di belakang daun telinganya, mengertilah dia bahwa nenek ini adalah seorang yang sudah berkurang pendengarannya atau agak tuli.
"Apakah ada yang cocok dengan ukuran kakiku?"
Tanyanya pula dengan suara lebih keras.
"Oh, tentu ada.... ada....! Nah, ini agaknya cocok!"
Nenek itu menyerahkan sepasang sepatu dan memandang wajah Siluman Kecil yang sebagian tertutup rambut putih penuh perhatian.
"Agaknya Kongcu akan pergi ke selatan juga! Memang lebih enak pakai sepatu rumput, apalagi di selatan sana banyak hujan. Lebih hangat memakai sepatu rumput."
Siluman Kecil mengukur sepatu itu dengan kakinya. Memang cocok. Agaknya pedagang sepatu ini sudah biasa mengira-ngira ukuran kaki orang yang datang membeli sepatunya.
"Berapa harganya?"
Dia bertanya.
"Memang banyak yang ke sana. Kemarin banyak orang muda yang membeli sepatu saya pula, mereka hendak pergi ke selatan,"
Jawab nenek itu dan Siluman Kecil baru sadar bahwa pertanyaannya yang kurang keras tadi telah didengar lain oleh Si Nenek, maka jawabannya pun kacau. Dia mengeluarkan uang tembaga dan mengangkat sepatu itu.
"Harganya berapa?"
"Ohhh...."
Nenek itu tertawa dan nampak mulut yang ompong! Setelah nenek itu memberi tahu harga sepatu yang hanya beberapa potong uang tembaga, Siluman Kecil membayarnya tanpa menawar. Padahal dia tahu bahwa biasanya pedagang seperti ini menawarkan dagangannya dengan harga dua kali lipat dan biasanya fihak pembeli pasti juga menawar harga itu. Nenek itu kelihatan girang menerima pembayaran Siluman Kecil dan berkata,
"Terima kasih. Mudah-mudahan Kongcu akan diterima menjadi perajurit."
"Apa? Perajurit apa?"
Siluman Kecil terheran mendengar itu.
"Eh, apakah Kongcu bukan hendak pergi ke selatan seperti mereka itu, untuk memasuki ujian penerimaan perajurit?"
"Hemmm, ada apakah di selatan sana?"
"Kongcu belum tahu? Kabarnya Gu-bernur Ho-nan sedang mengadakan ujian untuk menerima calon-calon perajurit pengawal. Gajinya besar, kedudukannya tinggi, dan mereka yang terpilih akan dijadikan pengawal gubernur, atau kalau untung malah bisa diangkat menjadi calon pengawal pribadi."
Tiba-tiba percakapan terhenti karena ada serombongan orang menghampiri nenek itu untuk membeli sepatu rumput. Yang membeli sepatu hanya dua orang, yaitu seorang kakek bertubuh tinggi tegap dan seorang setengah tua yang sikapnya pendiam dan matanya bersinar tajam. Sedangkan di belakang dua orang kakek ini terdapat sepuluh orang lain yang berpakaian ringkas dan sikapnya juga pendiam. Kakek berusia enam puluhan tahun yang bertubuh tinggi tegap itu melirik ke arah Siluman Kecil dan pandang matanya tajam penuh selidik. Siluman Kecil menundukkan muka, pura-pura memilih sepatu dan membiarkan rambutnya yang panjang itu menutupi mukanya seperti tirai. Setelah memilih sepatu dan membayar harganya, kakek itu bertanya kepada si pedagang sepatu,
"Apakah banyak orang yang lewat ke sini dan menuju ke Ceng-couw, ibu kota Ho-nan?"
Suaranya besar, tegas dan berwibawa.
"Banyak sekali.... banyak orang-orang muda yang hendak melamar pekerjaan pengawal. Agaknya Sicu semua ini juga hendak ke sana?"
Kakek itu hanya menggumam, lalu bangkit berdiri dan bersama ternan-temannya meninggalkan tempat itu.
"Wah, sungguh banyak sekali yang ingin melamar sebagai pengawal,"
Kata Si Nenek.
"Tentu ramai sekali di Ceng-couw sana, wah, kalau aku bisa berdagang sepatu di sana, tentu laris sekali!"
"Kenapa kau tidak membawa sepatumu dan berdagang di sana saja?"
Kata Siluman Kecil sambil bangkit berdiri pula.
"Oh, jadi Kongcu juga ingin ke sana?"
Tanya nenek itu yang kembali salah dengar. Siluman Kecil mengerutkan alisnya. Repot juga bicara dengan seorang tuli. Dia mengangguk-angguk sebagai jawaban, tidak mau lagi berteriak-teriak karena terdengar seperti orang cek-cok saja sehingga tentu akan banyak menarik perhatian mereka yang lewat di jalan itu. Akan tetapi, jawabannya dengan anggukan itu membuat si nenek menjadi gembira dan nenek itu pun bangkit berdiri.
"Kalau begitu, sebaiknya Kongcu naik kuda ke sana! Mungkin besok pagi sudah dimulai ujian itu dan Kongcu tentu akan ketinggalan kalau berjalan kaki. Di sini terdapat seorang pedagang kuda yang bagus-bagus dan harganya pun murah. Dia masih keponakanku sendiri. Saya tinggal bersama dia di sana juga. Marilah kuantarkan Kongcu ke sana melihat-lihat. Baru kemarin dia pulang membawa dua ekor kuda peranakan Mongol yang amat baik."
"Tapi aku sudah biasa berjalan kaki, Nek. Aku tidak ingin membeli kuda."
Siluman Kecil hendak melangkah pergi,
Akan tetapi dia melihat seorang pengemis muda duduk tak jauh dari tempat itu. Wajah pengemis ini menarik hatinya karena wajah itu terlalu tampan untuk seorang pengemis, dan sinar mata pengemis ini tidak seperti para pengemis lainnya. Semua pengemis selalu memiliki pandangan mata sayu, baik dibuat-buat atau tidak, akan tetapi sinar mata pengemis ini tajam berseri-seri dan sedikit pun tidak kelihatan duka terbayang di dalamnya! Keadaan ini menimbulkan keharuan di hati Siluman Kecil dan dia lalu memberikan kelebihan uang pembeli sepatu tadi kepada si pengemis muda tanpa mengeluarkan kata-kata. Pengemis itu menerima pemberian ini, membungkuk sedikit sebagai tanda terima kasih, akan tetapi mulutnya diam saja! Bahkan ada ba-yangan keangkuhan di sinar matanya! Siluman Kecil merasa makin heran dan tertarik.
"Kongcu akan menyesal setengah mati kalau tidak membeli kuda itu!"
Kembali nenek itu mendesak dan ketika Siluman Kecil menoleh, ternyata nenek itu sudah menggulung tikarnya dan membungkus semua sepatunya tanda bahwa dia sudah kukut (berkemas untuk pulang).
"Sudahlah, Nek. Aku tidak punya uang....eh, uangku tidak akan cukup untuk membeli seekor kuda peranakan Mongol yang bagus."
"Aaahhhhh, Kongcu sungguh merendah! Kongcu mempunyai banyak uang....eh, maksud saya, seorang seperti Kongcu yang melakukan perjalanan jauh tentu kaya raya, tentu Kongcu akan mampu membeli seekor kuda yang baik. Apakah Kongcu tidak rela memberi sedikit keuntungan kepada keluarga kami?"
Siluman Kecil terkejut. Dia memang membawa banyak uang, pemberian seorang hartawan yang pernah dltolongnya, sebagai bekal dan terima kasih atat bantuannya. Bagaimana nenek ini bisa tahu? Akan tetapi, mungkin juga sebagai seorang pedagang, nenek ini memiliki pandangan tajam tentang hal itu. Tertarik juga hatinya. Memang selama ini banyak sekali hal-hal yang menarik hatinya. Dia selalu tertarik oleh urusan orang-orang lain. Apakah hal ini menunjukkan gejala bahwa dia sudah tidak tertarik lagi kepada diri sendiri?
"Baiklah, Nek. Aku hendak melihat kuda yang kau puji-puji itu. Akan tetapi tidak perlu kau mengemasi dagangan untuk mengantar aku. Katakan saja di mana tempat keponakanmu itu, dan aku akan mencarinya sendiri ke sana. Tidak perlu kau mengorbankan daganganmu yang menjadi tidak laku hanya untuk mengantarkan aku."
"Kongcu, biar saya yang mengantar Kongcu ke sana. Saya juga tahu tempat pedagang kuda itu. Bukankah yang Nenek maksudkan itu adalah Paman Ciok pedagang kuda di sebelah barat jembatan hijau itu?"
Tiba-tiba pengemis muda itu berkata. Nenek itu mengangguk dan mengerling ke arah Siluman Kecil.
"Benar di sana...."
"Kalau begitu, biar ia ini yang mengantarku, Nek. Terima kasih!"
Kata Silu-man Kecil dan dia lalu pergi bersama si pengemis muda.
Siluman Kecil makin tertarik kepada pengemis ini. Sungguh tidak seperti pengemis-pengemis umumnya. Memang pakaiannya penuh tambalan, akan tetapi pakaian itu bersih dan jelas bahwa pakaian itu belumlah begitu butut sehingga perlu ditambal-tambal. Agaknya seperti pakaian yang masih baru akan tetapi sengaja ditambal-tambal! Hal ini tentu saja mencurigakan hatinya dan membuat dia menjadi tertarik. Jangan-jangan bocah pengemis ini mempunyai maksud tertentu dan sengaja mendekatinya, pikirnya. Banyak sekali orang-orang yang memusuhinya di dunia ini, apalagi sejak dia dikenal sebagai Siluman Kecil dan banyak menolong orang-orang yang tertindas sehingga otomatis dia dimusuhi oleh mereka yang ditentangnya. Akan tetapi, tentu saja dia tidak merasa gentar, hanya tertarik kepada pribadi pengemis cilik ini.
"Siapakah namamu?"
Pengemis itu terkejut, akan tetapi lalu menjawab dengan suara tenang,
"Na-ma saya Hong, dan orang-orang memanggil saya Siauw-hong (Hong Kecil)."
"Kenapa? Engkau tidak begitu kecil tubuhmu."
"Entahlah, Kongcu. Sejak kecil saya disebut Siauw-hong."
"Hemmm, di mana tempat tinggalmu?"
"Saya tidak mempunyai tempat tinggal."
"Dan ayah bundamu?"
Siauw-hong menggeleng kepala.
"Tidak punya."
Siluman Kecil mengerutkan alisnya, kemudian tiba-tiba dia berhenti, memegang pundak pengemis cilik itu dan menggunakan jari-jarinya untuk menotok jalan darah dekat leher, jalan darah kematian. Pengemis itu terkejut, cepat dia miringkan tubuh sehingga pegangan itu meleset dan totokan itu luput.
"Ha, sudah kuduga. Engkau pandai ilmu silat tinggi!"
Siluman Kecil berseru.
"Dan Kongcu adalah Siluman Kecil!"
Pengemis cilik itu berkata.
"Hemmm, ternyata engkau bukan bocah pengemis sewajarnya, seperti pakaianmu yang tambal-tambalan akan tetapi bersih dan masih baru. Hayo katakan, mau apa engkau membayangi aku?"
Siluman Kecil menghardik. Pengemis muda itu menjura.
"Maafkan saya, Taihiap. Sesungguhnya bukan maksud saya hendak membayangi, hanya karena sudah lama saya mendengar nama Taihiap dengan penuh kekaguman maka begitu melihat Taihiap tadi, saya sudah menduganya dan saya ingin mengenal dan berdekatan dengan Taihiap. Saya sungguh tidak bermaksud buruk dan hendak mengantar Taihiap kepada rumah pedagang kuda itu."
"Bagaimana engkau berpakaian pengemls? Apa maksudnya?"
"Maaf, memang saya sengaja dan ini merupakan syarat menjadi murid dari guru saya. Ketahuilah bahwa sejak kecil saya diserahkan oleh kakek saya yang sekarang entah berada di mana, kepada guru saya itu, dan setelah saya menjadi muridnya, saya diharuskan berpakaian pengemis untuk memenuhi kebiasaan nenek moyang dari guru saya."
"Hemmm, mengapa begitu?"