“Ha-ha-ha, kalau cantik kebetulan sekali. Losuhu sedang sibuk dengan yang baru dan sukar ditundukkan itu, kedua susiok (paman guru) sedang sibuk pula dengan yang lama bekas losuhu, dan aku masih menganggur..?”
“Hemm, bersenang sih boleh saja, akan tetapi harap jangan mengurangi kewaspadaan. Sekali terbongkar, kita semua akan celaka!”
“Sudah. pergilah. Kalian ini benar-benar penakut” Dua orang itu kembali keluar dari pintu kuil dan menyeorang jalan, memasuki pintu restoran. Keadaan kembali sunyi senyap dan malam makin larut. Tiba-tiba mata Kwan Bu yang tajam melihat berkelebatnya sesosok bayangan di atas wuwungan sebelah depan. Bayangan seseorang yang bertubuh langsing dengan tangan kanan memegang sebatang pedang, dan pakaiannya serba hijau!
Kiranya itu adalah nona pendekar baju hijau yang dikhawatirkan oleh dua orang pengurus restoran tadi. Kwan Bu melirik kesebelah kiri. Orang yang membunuh kelelawar masih di situ. Ia makin geli. Ah, dasar nasib hwesio-hwesio ini amat busuk, pikirnya. Sekali datang tiga orang lawan! Kini ia mulai mengerti bagaimana caranya hwesio-hwesio itu menipu para pengunjung kuil dengan segala macam ciamsi “manjur dan jitu” kiranya mereka itu mempunyai kaki tangan di restoran depan kuil, dan mungkin di sekitar tempat itu yang dengan licik mencatat perbakapan para tamu, atau mungkin ada pula yang memancing-mancing keterangan mereka. Kini ia teringat betapa ia telah bercakap-cakap dengan Giok Lam dan telah menyebutkan namanya, tentu saja pengurus restoran mendengarnya dan langsung mengirim keterangan ke kuil sebelum ia sendiri memasuki kuil.
Sungguh cara kerja yang cerdik dan cepat. Bayangan wanita baju hijau itu kini sudah berendap- endap melayang turun dengan cepat sekali, tanda bahwa ginkang dari nona itu sudah cukup tinggi pula, akan tetapi tidak lama kemudian terdengar suara jerit wanita di sebelah bawah, jerit kaget, kemudian suara wanita memaki-maki dan tak lama kemudian diam, kembali sunyi. Kwan Bu melihat bayangan di kiri meloncat dengan gerakan kilat, agaknya hendak menyusul si baju hijau. Begitu melihat bayangan itu, Kwan Bu terkejut dan girang. Kiranya orang itu bukan lain adalah Giok Lam! Biarpun malam hanya diterangi bintang-bintang di langit, namun ia segera mengenali bentuk tubuh, wajah, dan gerakan orang ini. Cepat ia menyambar ke depan menyentuh pundak Giok Lam sambil berbisik,
“Sstt....!” Dengan gerakan otomatis seorang ahli silat, Giok Lam sudah menangkis tangan yang menyentuh pundaknya, membalikkan tubuh siap mengirim serangan, akan tetapi ketika melihat Kwan Bu ia berbisik,
“Ah.... engkaukah, twako...?” Kwan Bu tidak menjawab, hanya menarik tangan pemuda itu dan membawanya bersembunyi di balik wuwungan.
“Jangan sembrono, Lam-te...”
“Tidak kau lihatlah si baju hijau tadi! Dia melompat turun dan terdengar jeritnya, kita harus segera menolongnya!” bantah Giok Lam.
“Justeru karena itu kita harus berhati-hati. Tentu di bawah dipasang jebakan berbahaya. Kita harus mencari akal, sebaiknya kita tunggu munculnya seorang hwesio kita bekuk dan paksa dia menjadi penunjuk jalan. Kenapa kau berada di sini Lam-te?” “Kulihat tadi siang engkau memasuki kuil. Tak mungkin seorang seperti engkau hendak minta-minta berkah ke kuil, twako. Maka aku menyangka tentu ada sesuatu yang tidak beres di kuil ini, dan malam ini aku datang menyelidik. Siapa kira, benar-benar bertemu denganmu di sini. Apakah si baju hijau itu kawanmu?”
“Bukan, aku datang sendiri. Agaknya hwesio-hwesio di sini amat jahat sehingga memancing datangnya si baju hijau itu. Baiklah nanti kita selidiki.”
“Kau sendiri datang ke sini mau apakah Bu-twako?” Tanya lagi Giok Lam sambil berbisik lirih di dekat telinga Kwan Bu.
“Urusan pribadi... hemm, aku mencari musuh, mungkin ketua kuil ini, mungkin juga bukan. Betapapun juga, kalau benar kabar yang kudengar bahwa ia adalah seorang jai-hwa-cat, musuh atau bukan harus kubasmi.” Giok Lam memegang Iengannya dan Kwan Bu merasa betapa halusnya jari tangan yang menyentuh Iengannya, halus namun mengandung tenaga dalam yang kuat.
“Dia jai-hwa-cat......? kalau begitu. si baju hijau tadi......da|am bahaya !”
“Sssttt !” Kwan Bu menarik tangan Giok Lam dan menarik memandang ke bawah. Si hwesio muda
dengan tangan memegang teng berwarna merah agaknya sedang meronda, tangan kanan memegang sebatang golok.