"Hemmm, apa pula yang kau lakukan ini?" "Wah, kedatanganmu terlambat, isteriku. Makanan yang kupesan telah dihabiskan oleh tamu-tamu kita itu. Engkau terlambat sekali sih!"
Dia membalas teguran isterinya. Ceng Ceng mengerutkan alisnya dan memandang kepada suaminya dengan gemas. Kelakuan suaminya memang aneh, akan tetapi kadang-kadang juga membikin hatinya mengkal, seperti sekarang ini. Dia berjanji akan bertemu dengan suaminya di kota An-yang ini, dan setelah bertemu dan perutnya lapar sekali, suaminya menyambutnya dengan piring-piring kosong karena semua masakan telah diberikan habis kepada pengemis-pengemis kecil itu! Hati siapa tidak akan men-dongkol? Melihat gurunya yang cantik itu cemberut dan marah, Hwee Li tertawa dan menutupi mulutnya dengan tangan seperti menyaksi-kan hal yang lucu sekali.
"Wah, Suhu telah membikin pusing lagi kepada Subo! Hi-hik, Suhu harus didenda dengan minuman tiga cawan arak sebagai tambahan minta ampun kepada Subo! Kalau tidak, Subo akan marah terus!"
"Hwee Li, jangan main-main kau!"
Ceng Ceng membentak muridnya yang menahan ketawa dan duduk di dekat meja. Akan tetapi, Kao Kok Cu memandang ke luar, kepada seorang pengemis muda yang duduk di emper rumah di seberang jalan. Dia ingat bahwa pengemis yang satu itu belum memperoleh bagian tadi, maka dia lalu menegur kepada pengemis-pengemis cilik yang berada di dekat pintu warung,
"Heiii, kenapa temanmu yang di seberang jalan itu tidak kalian beri bagian makanan?"
"Ah, Siauw-ya, apakah Siauw-ya maksudkan dia yang duduk di sana itu? Dia adalah Siauw-ong-ya, mana dia mau? Dia tidak pernah minta-minta, kalau kami beri tentu kami semua akan dihajar. Kami tidak berani!"
Tentu jawaban ini membuat Kao Kok Cu, Ceng Ceng dan Hwee Li merasa heran sekali dan mereka bertiga lalu memandang ke arah pengemis muda yang disebut Siauw-ong-ya oleh para pengemis kecil itu. Dan seolah-olah tahu bahwa dirinya menjadi pusat perhatian, pengemis muda itu bangkit berdiri, menghadap ke arah warung dan mulutnya berkemak-kemik. Tiga orang keluarga sakti itu mendengar dengan jelas suaranya yang bergema,
"Terima kasih atas perhatian Siauw-ya kepada saya. Akan tetapi tidak perlu Siauw-ya mempedulikan saya. Saya sudah merasa bersyukur dan berterima kasih sekali bahwa Siauw-ya mau mengasihani kawan-kawan saya."
Lalu dia berteriak kepada para pengemis kecil itu,
"Hei, anak-anak, hayo haturkan terima kasih sekali lagi dan cepat pergi, jangan mengganggu terus."
Anak pengemis itu ternyata amat mentaati seruan pengemis muda itu. Mereka beramai-ramai menyatakan terima kasih mereka kepada Kao Kok Cu, lalu menjura dan berlari-larian pergi dari tempat itu seperti sekawanan burung yang beterbangan bebas dan gembira. Pengemis muda itu sendiri pun melenggang seenaknya meninggalkan emper rumah di seberang jalan itu.
"Hemmm, lagaknya! Kaum jembel pun mempunyai raja segala! Dan bocah itu raja mudanya! Hi-hik, kalau tidak melihat sendiri siapa percaya?"
Hwee Li berkata sambil tertawa geli.
"Husss!"
Ceng Ceng menegur muridnya.
"Jangan kau bicara sembarangan, Hwee Li. Apakah kau tidak melihat kenyataan bahwa pengemis muda itu bukan orang sembarangan? Semuda itu dia sudah pandai mengirim suara dari jauh dan khikangnya cukup kuat."
Dengan cepat Ceng Ceng lalu memesan makanan kepada pemilik warung yang melayaninya dengan penuh perhatian.
"Bagaimana hasil penyelidikanmu? Sudah mencium jejak?"
Tanya Ceng Ceng kemudian kepada suaminya. Kok Cu menggeleng kepala.
"Belum...."
Jawabnya dengan wajah muram dan sepasang matanya kini melayang jauh, mengikuti anak-anak pengemis yang pergi dari situ. Isterinya juga memandang kepada anak-anak itu, maklum akan isi hati suaminya, dan kini dia mengerti mengapa suaminya tadi menjamu anak-anak pengemis itu. Tentu suaminya teringat akan anak mereka yang hilang dan sampai sekarang belum dapat mereka temukan jejaknya, membayangkan betapa anak mereka itu mungkin juga terlantar dan kelaparan seperti anak-anak pengemis itu!
Ceng Ceng merasa lehernya seperti dicekik dan hanya kekerasan hatinya yang luar biasa sajalah yang mampu membuat dia menahan jatuhnya air matanya. Mereka berdua telah bersusah payah mencari-cari di seluruh padang pasir. Dalam penyelidikan mereka, anak mereka itu bukan hilang diculik orang karena yang nampak dari dalam istana mereka sampai di luar, hanya tapak kaki anak mereka, tidak nampak tapak kaki orang lain. Tapak kaki anak mereka itu menuju ke luar dan tentu saja tak lama kemudian tapak kaki itu lenyap diratakan lagi oleh angin sehingga mereka tidak mampu menemukan jejak anak mereka. Agaknya anak itu bermain-main di luar, lalu bermain-main terlalu jauh dan tersesat, tidak mampu pulang kembali.
"Hemmm, sungguh mengherankan sekali. Kenapa anak kita mengalami peristiwa yang sama dengan pengalamanku ketika masih kecil? Aku dulu juga hilang di gurun pasir ketika masih kecil dan ayahku tidak berhasil menemukan. Baru setelah aku berusia dua puluh lima tahun aku dapat bertemu lagi dengan ayah dan keluargaku. Jangan-jangan Liong-ji (Anak Liong) juga...."
"Jangan kau bicara demikian, suamiku!"
Ceng Ceng cepat memotong kata-kata suaminya yang menusuk perasaannya dan menimbulkan kekhawatiran besar didalam hatinya.
"Kita harus mencari sampai dapat dan aku yakin kita akan dapat menemukan kembali Cin Liong!"
"Ucapan Subo benar sekali!"
Hwee Li berkata dengan wajahnya yang tetap berseri cerah dan gembira.
"Tidak mungkin ada orang lenyap begitu saja seperti ditelan bumi! Kita pasti akan dapat menemukan kembali Adik Cin Liong, dan teecu (murid) akan menjelajahi seluruh dunia golongan hitam untuk menyelidiki kalau-kalau di antara mereka ada yang melihat putera Subo."
Ucapan dan sikap Hwee Li amat menghibur suami isteri yang sedang kebingungan dan dilanda kegelisahan itu,
Namun tetap saja hidangan masakan di depan mereka itu hampir tidak dapat tertelan kalau mereka mengingat betapa anak mereka yang hilang itu usianya baru empat lima tahun dan betapa akan sengsaranya bagi anak sekecil itu untuk merana seorang diri, apalagi perginya dari Istana Gurun Pasir itu melalui padang pasir yang luas, panas dan amat berbahaya! Pagi yang cerah. Sinar matahari yang masih menciptakan bayangan-bayangan panjang memuntahkan cahayanya dengan langsung ke bumi, tanpa halangan awan karena langit nampak biru muda dan bersih sekali, bersih dan amat tinggi. Sinar matahari di saat itu mengandung daya hidup yang mukjijzat di dalam kehangatan yang tidak terlalu panas, namun kehangatan yang dapat menembus apa saja dan memberi daya hidup kepada bumi dan apa saja yang berada di permukaannya.
Awan-awan putih yang agaknya menjauh, tidak berani menghalangi berkah yang berlimpahan itu berarak di angkasa, bergerak perlahan-lahan seperti bermalas-malasan, namun semua gerakan itu teratur rapi dan selalu berubah bentuknya, seolah-olah ada tangan gaib yang mengatur awan-awan itu, memilih dan memisah-misahkannya, mengumpul-ngumpulkannya, untuk digiring ke tempat yang membutuhkan hujan kelak. Tidak ada angin berkelisik. Daun-daun yang bermandikan cahaya matahari nampak kekuningan seperti bermandikan cahaya keemasan, berseri-seri mengelilingi bunga-bunga yang mencuat di sana-sini, dan kupu-kupu bersayap kuning dan putih menyemarakkan suasana yang penuh dengan suka cita di pagi hari itu. Berkelompok-kelompok kecil burung-burung terbang lewat di udara tanpa suara, menuju ke sawah ladang di mana terdapat makanan berlimpah bagi mereka.
Orang-orang yang berpakaian seperti penduduk dusun, membawa bermacam-macam barang dagangan hasil kebun mereka, berlalu-lalang di jalan raya itu pergi ke dan pulang dari kota An-yang yang menjadi pasar bagi barang dagangan hasil bumi mereka. Yang berangkat dan memikul barang dagangan, kelihatan tergesa-gesa dan berjalan separuh berlari tanpa bicara, akan tetapi yang pulang ke dusun berjalan seenaknya sambil meng-obrol membicarakan hasil penjualan mereka dan belanjaan mereka. Siluman Kecil yang sudah keluar dari pintu gerbang kota An-yang, kini berdiri di luar tembok kota, memandang air yang mengalir di tepi tembok. Air itu memasuki kota dari sebelah barat dan keluar dari selatan. Ketika memasuki kota, air itu bersih dan jernih, akan tetapi setelah keluar dari kota,
Air itu menjadi keruh, penuh dengan sampah-sampah dan segala kekotoran kota yang dicampakkan ke dalamnya. Kekeruhan air ini tidak akan berlangsung lama, karena beberapa mil jauhnya setelah meninggalkan kota, air sungai itu sudah akan menjadi jernih kembali. Melihat setangkai daun hijau yang agaknya rontok sebelum waktunya hanyut pula di air itu, Siluman Kecil mengikutinya dengan pandang matanya dan dia menarik napas panjang. Keadaannya seperti daun itu. Daun muda yang sudah hanyut seorang diri mengikuti ke mana air mengalir. Tidak tahu akan apa jadinya dengan dirinya. Seperti juga dia! Hanya mengikuti jalan peristiwa yang dijumpainya di jalan hidupnya. Siluman Kecil termenung dan tiba-tiba perhatiannya tertarik oleh suara orang wanita yang cukup nyaring :
"Kun Cu Souw Ki Wi Ji Heng. Put Goan Houw Ki Gwee!"
Siluman Kecil mengerutkan alisnya. tentu saja dia hafal pula akan ujar-ujar itu karena dia pernah mempelajari semua pelajaran dari Nabi Khong Cu. Dia masih ingat bahwa ujar-ujar yang dinyanyi-kan mulut wanita itu adalah ujar-ujar dalam kitab Tiong Yong, ayat pertama dari bagian ke tiga belas, yang berarti :
"Seorang kongcu (budiman) bertindak sesuai dengan kedudukannya, tidak menginginkan hal-hal di luar dari kedudukannya."
Siluman Kecil menarik napas panjang. Dia telah mengalami banyak sekali hal-hal yang amat pahit dalam kehidupannya dan kalau direnungkan secara mendalam, memang karena manusia menginginkan hal-hal yang tidak ada padanya, menginginkan sesuatu yang belum ada, yang tidak dimilikinya, yang berada di luar jangkauannya, dan KEINGINAN inilah yang menjadi biang keladi segala macam penyakit dan kesengsaraan hidup. Dia menarik napas panjang lagi. Sesungguhnyalah, bukan hanya seperti yang disadari oleh Siluman Kecil bahwa keinginan menjadi biang keladi kesengsaraan hidup. Bahkan keinginan itulah yang membuat kita kehilangan kesbahagiaan!
Betapa tidak? Keinginan membuat mata kita buta terhadap segala keindahan yang telah kita miliki. Keinginan membuat kita meremehkan dan tidak dapat melihat keindahan yang sudah berada pada kita. Contohnya : Biarpun kita telah memegang sebutir buah apel di dalam tangan, namun kalau kita menginginkan buah anggur yang belum ada, mata kita seperti buta akan kelezatan buah apel yang sudah berada di tangan, menganggapnya tidak enak dan tidak memuaskan dan yang paling memuaskan adalah buah anggur yang kita inginkan, yang belum ada itulah! Karena itu mari kita mencoba untuk membuka mata dan melihat segala sesuatu yang sudah ada pada kita, melihat keindahannya, tanpa membanding-bandingkan dengan yang belum ada, tanpa membayangkan yang lain-lain,
Maka kita akan melihat keindahan dan akan terbuka mata kita bahwa sesungguhnya selama ini kita hanya diombang-ambingkan oleh pikiran kita yang selalu haus akan hal-hal yang belum ada pada kita! Kita selalu beranggapan bahwa kebahagiaan berada di sana, yang harus kita kejar-kejar, sama sekali kita tidak pernah mau melihat, apa yang berada di sini, yang sudah ada pada kita. Kita seperti mengejar-ngejar bayangan kita, biar dikejar sampai selama hidup pun tidak akan dapat tersusul, kita tidak pernah mau berhenti dan menyelidiki apa gerangan bayangan itu, lupa bahwa bayangan itu adalah kita sendiri, karena kitalah yang menciptakan bayangan yang kita kejar-kejar itu! Siluman Kecil sadar kembali dari lamunannya ketika dia mendengar suara tadi bernyanyi terus. :
"Cai Shang Wi, Put Leng He. Cai He Wi, Put Wan Shang."
Siluman Kecil mengangguk-angguk, menterjemahkan ujar-ujar itu dalam hatinya.
"Dalam kedudukan tinggi, dia tidak menghina yang di bawah. Dalam kedudukan rendah, dia tidak menjilat yang di atas. Betapa sukarnya mencari seorang kuncu (budiman) seperti itu! Sudah lajim di dunia ini, orang selalu memandang rendah kepada orang-orang yang lebih rendah kedudukannya daripada kita, kita suka menginjak dan meremehkan orang-orang yang berada di bawah kita, kita merasa jijik kepada kaum jembel, kita menjebikan bibir terhadap orang-orang miskin dan papa, kita merendahkan mereka yang bekerja kasar dan yang kedudukannya jauh lebih rendah daripada kita. Sebalikya, sudah menjadi KESOPANAN masyarakat bahwa kita selalu bersopan santun kepada orang-orang yang tinggi kedudukannya, kita bermanis muka kepada orang-orang kaya, kita menjilat-jilat kepada pejabat tinggi. Betapa palsunya kita ini! Betapa kejamnya kita ini! Namun kita marah kalau dinyatakan bahwa kita tidak memiliki perikemanusiaan!"
Siluman Kecil makin dalam tenggelam dalam renungannya. Dia mengenal ujar-ujar itu yang merupakan ayat ke tiga dari bagian ke tiga belas itu, dan dia masih ingat pula akan bagian selanjutnya, yang berbunyi,
"Dia memperbaiki diri sendiri dan tidak mencari kesalahan orang lain, maka dia tidak mempunyai penyesalan apa pun. Ke atas dia tidak menyalahkan Thian dan ke bawah dia tidak menyalahkan manusia lain."
Setelah suara itu berhenti bernyanyi, Siluman Kecil menoleh. Timbul keinginan tahunya untuk melihat siapa gerangan yang di tempat seperti itu menyanyikan ujar-ujar yang mengandung sari pelajaran amat tinggi itu. Dan dia tertegun. Di bawah sebatang pohon yang rindang nampak seorang nenek tua sedang duduk di atas tanah berumput, menghadap barang dagangannya yang bertumpuk di atas tikar terhampar. Seorang nenek tua penjual sepatu rumput rupanya! Dan nenek itulah yang tadi bernyanyi. Memang harus diakui bahwa ujar-ujar dari Nabi Khong Hu Cu dikenal oleh semua orang yang pernah bersekolah, sungguhpun sebagian besar orang hanya mengenalnya sebagai ujar-ujar belaka tanpa menghayati isinya, tanpa meneliti diri sendiri apakah ujar-ujar yang setiap hari keluar dari mulutnya, terus-menerus diulang-ulanginya itu ada pula terkandung dalam langkah hidupnya sehari-hari.
Akan tetapi, mendengar ujar-ujar itu dinyanyikan oleh seorang nenek penjual sepatu rumput, dinyanyikan di tempat seperti itu, yaitu di luar kota di bawah pohon, sungguh merupakan hal yang amat janggal didengar. Biasanya, ujar-ujar Nabi Khong Hu Cu atau ujar-ujar dari Agama Buddha hanya didengar di sekolah-sekolah, di kuil-kuil, atau dibicarakan di antara "orang-orang pandai"
Sebagai bahan untuk berbantahan dan mempertahankan pendirian dan pentafsiran masing-masing, dan diperalat untuk membanggakan kepintarannya! Melihat nenek itu menghadapi dagangannya dan kelihatan sama sekali tidak laku, terbukti dari bertumpuknya sepatu rumput itu dan tidak ada seorang pun di antara orang-orang yang lalu-lalang itu menengok ke arah nenek itu, apalagi membeli dagangannya, Siluman Kecil merasa kasihan. Nenek itu kelihatannya miskin, pandang matanya sayu, dan siapa tahu sudah berapa hari nenek itu tidak makan. Tubuhnya begitu kurus! Siluman Kecil cepat menghampiri dan berjongkok di depan dagangan nenek itu.
"Nenek, apakah ada sepatu yang ukurannya cocok untuk kakiku?"