Jodoh Rajawali Chapter 32

NIC

Gembira bukan main hati kedua orang dara itu dan ketika Siang In belajar menyanyi dan menarikan lagu Harapan Jumpa Kekasih itu, Syanti Dewi yang bengong dan kagum! Kiranya di samping kepandaian silat dan sihirnya yang hebat, dara ini pun memiliki suara yang nyaring merdu seperti burung kenari, dan tubuhnya yang padat ramping itu memang telah jelas memiliki gerakan yang lemas dan lemah gemulai sehingga ketika dia menari,

Benar-benar amat indah dan mengandung daya pikat yang mempesonakan. Gerak-gerik tarian Syanti Dewi mengandung kehalusan dan masih terselubung oleh tradisi sopan santun yang telah mendarah daging dalam diri puteri itu, akan tetapi tidak demikian dengan Siang In. Gadis ini bebas dari segala ikatan tradisi, gerakannya wajar dan tidak terkekang maka setiap anggauta tubuhnya seolah-olah "hidup"

Dan menari-nari sehingga menimbulkan daya tarik yang menggairahkan! Demikianlah, dengan asyiknya dua orang dara itu menari dan bernyanyi di dalam hutan. Siang In belajar penuh semangat, kadang-kadang Syanti Dewi turun tangan mengajarnya bagaimana harus menggerakkan tangan dan jari-jari tangan yang benar, bagaimana harus menggerakkan kaki melangkah.

Puteri itu memberi petunjuk dengan penuh ketelitian dan Siang In makin gembira mempelajarinya sampai akhirnya dia dapat menangkap inti dari nyanyian dan tarian itu. Sejak kecil, Siang In mempelajari ilmu silat dan sesungguhnya orang yang berbakat pula mempelajari ilmu tari, karena di dalam gerakan ilmu silat memang terkandung inti gerakan ilmu tari pula. Oleh karena itu, dengan mudah saja dara yang memang bertubuh ramping dan lemas ini menguasai tarian Harapan Jumpa Kekasih itu. Tiba-tiba Siang In menangkap tangan Syanti Dewi dan ditariknya puteri itu menyelinap ke balik semak-semak belukar yang tinggi. Tentu saja puteri itu terkejut bukan main, akan tetapi melihat Siang In memberi isyarat dengan jari tangan ke depan mulut, dia pun tidak berani bertanya dan maklum bahwa tentu ada sesuatu yang tidak beres.

Melihat pandang mata Siang In ditujukan ke barat, dia pun menoleh dan kini setelah dia memusatkan perhatiannya, dia pun mendengar lapat-lapat derap kaki kuda datang dari jurusan itu. Tidak lama mereka menanti. Derap kaki kuda makin keras dan segera kelihatan belasan orang penunggang kuda membalapkan kuda lewat di hutan itu dan dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Syanti Dewi ketika melihat bahwa rombongan berkuda itu dipimpin oleh Panglima Mohinta! Seketika wajahya menjadi pucat dan tangannya yang memegang tangan Siang In menggigil. Disangkanya bahwa dia telah terlepas dari bahaya karena telah meninggalkan Bhutan selama satu bulan. Siapa kira, ternyata dia dikejar dan kini para pengejarnya telah tiba di situ! Setelah derap kaki kuda itu menghilang ke jurusan timur, barulah Syanti Dewi bernapas lega dan Siang In berkata,

"Aihhh, tak kusangka monyet-monyet itu akan dapat menyusul secepat itu. Dan tunanganmu sendiri yang mengepalai pasukan pengejar."

"Dia bukan tunanganku! Jangan menyebut-nyebut lagi dia sebagai tunanganku, In-moi. Engkau tahu bahwa tunanganku adalah Ang Tek Hoat!"

"Maaf, Enci Syanti. Sekarang kita tidak boleh lalai. Mereka telah mengejar, tentu mereka telah mendengar tentang kita dari dusun terakhir yang kemarin dulu kita lewati untuk membeli roti kering. Kalau mereka nanti tiba di dusun depan dan tidak mendengar tentang kita, tentu mereka akan kembali lagi dan mencari kita di sepanjang jalan."

"Tapi mereka hanya belasan orang banyaknya. Dengan kepandaianmu...."

"Hemmm, apakah engkau tidak melihat pendeta lama jubah kuning yang tadi menunggu kuda di samping tunang.... eh, Panglima Mohinta itu?"

"Ya, aku melihatnya dan aku belum pernah melihat dia sebelumnya. Siapa dia dan mengapa, In-moi?"

"Ketika lewat tadi, aku melihat sinar matanya dan tentu dia itu seorang jagoan undangan. Agaknya dari Tibet dan melihat sinar matanya, aku dapat menduga bahwa dia tentu seorang yang lihai dan tidak mudah dipengaruhi oleh kekuatan sihir. Tentu saja aku tidak takut kepada mereka, akan tetapi aku harus melindungimu, Enci. Dan agaknya akan sukarlah kalau aku harus melawan mereka sambil melindungimu. Aku tidak ingin melihat usaha kita gagal setelah kita berhasil pergi sejauh ini dari Bhutan. Mari kita mengambil jalan lain saja, bukan jalan umum."

"Terserah kepadamu, In-moi."

Siang In lalu mengubah rencana perjalanannya, tidak melanjutkan melalui jalan umum ke timur melainkan membelok ke utara melalui jalan liar, naik turun gunung dan jurang yang amat liar akan tetapi yang menjamin mereka bahwa pasukan berkuda itu tidak akan mungkin dapat mencari jejak mereka. Siasat Siang In berhasil baik. Memang tepat perhitungannya. Ketika Mohinta dan anak buahnya tiba di dusun depan dan mereka tidak mendengar adanya dua orang gadis itu lewat di dusun ini,

Mohinta dan kawan-kawannya segera kembali dan mencari-cari di dalam hutan di mana dua orang tadi bernyanyi dan menari. Akan tetapi Mohinta kehilangan jejak mereka dan terpaksa dia membawa rombongannya terus mengejar dan mencari ke timur. Mohinta dapat menduga bahwa tentu Syanti Dewi akan berusaha mencari bekas kekasihnya, Ang Tek Hoat, maka dengan mencari pemuda itu, dia percaya akhirnya akan dapat pula menemukan Syanti Dewi. Setelah melakukan perjalanan yang amat jauh, sukar dan melelahkan, namun mereka berdua selalu berada dalam keadaan gembira, terutama sekali karena watak jenaka dan periang dari Siang In telah menular kepada Syanti Dewi, akhirnya pada suatu senja mereka tiba di kaki sebuah diantara pegunungan yang mempunyai banyak puncak.

Itulah Pegunungan Lu-liang-san yang menjadi tapal batas Propinsi Shen-si di barat, Ho-nan di selatan, dan Shan-si di utara. Lebih dari sepekan mereka berdua melakukan perjalanan melalui air Sungai Wei-ho, dan di kota Sian, yaitu ibukota Propinsi Shen-si, mereka mendarat dan melakukan perjalanan darat. Tujuan mereka adalah Kota Raja Peking di utara. Setelah berjalan beberapa hari lamanya, pada senja hari itu mereka tiba di kaki puncak dan mereka memandang ke atas puncak di mana nampak sebuah kota yang dikelilingi tembok, mereka merasa lelah sekali karena anehnya, setelah melakukan perjalanan sehari lamanya mereka tidak juga bertemu dengan kota atau dusun! Baru sekarang mereka melihat kota di puncak bukit itu, dan di depan agak jauh nampak mengalir Sungai Kuning yang amat lebar.

"Hari sudah gelap dan sudah dua hari kita tidak makan nasi,"

Kata Siang In,

"Kalau melanjutkan ke depan, kita terhalang Sungai Kuning yang lebar. Bagaimana kalau kita naik ke puncak itu? Kelihatannya di atas itu adalah sebuah kota kuno yang besar dan kita bisa mencari penginapan di sana dan makan sepuasnya di rumah makan."

Syanti Dewi yang merasa sudah lelah sekali itu mengangguk.

"Terserah kepadamu, In-moi. Aku setuju saja. Hanya lain kali lebih baik kita melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki saja. Perjalanan melalui air yang telah kita tempuh, demikian enak dan membikin malas sehingga begitu diganti dengan perjalanan darat, kaki ini menjadi seperti mau patahpatah rasanya. Padahal, sebelum itu, dipakai berjalan sampai sebulan lebih tidak apa-apa."

Siang In tersenyum dan menggandeng puteri itu.

"Kasihan engkau, Enci Syanti, dan kasihan kedua kakimu yang mungil itu. Biasanya pergi dekat saja engkau tentu menggunakan joli atau kereta, dan biasanya kalau terasa capai, tentu ada pelayan-pelayan yang memijatinya. Sayang, kalau ada Tek Hoat, tentu"

"Hushhh, genit kau....!"

Syanti Dewi mencubit lengan Siang In dan dara ini menjerit-jerit minta ampun. Dengan kelakar itu Siang In berhasil membuat puteri itu melupakan kelelahannya dan mereka bersendau-gurau sambil mendaki jalan naik ke puncak itu.

Posting Komentar