Wajahnya bulat telur dengan dagu meruncing. Matanya tajam lembut namun jenaka, mulutnya yang agak kecil itu selalu tersenyum manis. Sikapnya lincah jenaka dan dia memandang dunia dengan cerah. Pakaiannya bersih namun sederhana.
Pada pagi hari itu, Thai Kek Siansu yang kini berusia sekitar enam puluh tahun dan duduk bersila di atas batu di depan pondok, memanggilnya. Han Lin menghadap dan berlutut di depan guru nya. Di antara guru dan murid ini terdapat hubungan batin yang amat erat seperti ayah dan puteranya sendiri.
"Han Lin, aku memanggilmu karena ada sebuah tugas yang kuharap engka dapat melakukannya."
“Teecu siap melakukan semua perintah Suhu!" kata Han Lin dengan girang karena setiap perintah gurunya memberi semangat kepadanya karena itu berarti bahwa dia dapat melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain. Dia tahu bahwa kalau gurunya memerintahkan sesuatu, pasti bukan untuk kepentingan gurunya, melainkan untuk kepentingan! orang lain.
"Han Lin, di negara yang luas ini terdapat banyak sekali orang yang memiliki ilmu silat yang tinggi. Seperti juga ilmu-ilmu lain di dunia ini, sesungguhnya ilmu diberikan Tuhan kepada manusia untuk dipakai sebagai alat menyejahterakan kehidupan di bumi. Akan tetapi kebanyakan orang lupa diri dan bahkan banyak yang menggunakan ilmu untuk mencapai tujuan guna kepentingan dan keuntungan diri sendiri. Ada yang dipakai melakukan kejahatan, mengandalkan kekuatan ilmunya, memaksakan kehendak memeras dan menindas orang lain, ada yang melakukan perampokan, penganiayaan, bahkan pembunuhan. Ada yang mempergunakan ilmu untuk mencari nama besar, untuk mengangkat diri sendiri sebagai yang terkuat atau terpandai sehingga terjadi persaingan dan permusuhan. Yang amat menyedihkan, bahkan di antara para datuk dan guru besar ilmu silat, setiap tahun mereka mengadakan pertemuan di Puncak Thaisan dan di sana mereka saling berlumba mengadu ilmu silat untuk memilih seorang yang paling tangguh untuk diberi julukan Thian-he-te-it Bu-hiap (Pendekar Silat Nomor Satu di Kolong Langit)! Untuk memperebutkan gelar atau julukan ini, orang-orang itu berlumba mengadu kepandaian dan sering dalam pertandingan itu terdapat banyak yang terluka bahkan ada yang sampai tewas. Biasanya, dulu setiap tahun akan mendatangi Puncak Thaisan untuk menjadi pengamat dan mencegah terjadinya bunuh membunuh. Akan tetapi karen mereka itu sulit disadarkan dan biarpun tidak lagi setahun sekali, namun beberapa tahun sekali pasti terjadi perebutan seperti itu. Sekarang aku tidak mau lagi mencampuri, namun dalam hati aku selalu merasa menyesal mengapa orang-orang pandai bersikap seperti itu. Nah, pertemuan seperti itu akan diadakan pada permulaan musim semi dan tahun ini terjatuh sekitar satu bulan lagi. Maka, aku ingin engkau mewakili aku mengamati dan mencegah terjadinya bunuh membunuh dan menyadarkan mereka akan kosong dan bodohnya kebiasaan bersaing dan berebut gelar nomor satu itu."
"Wah, Suhu, jadi teecu harus pergi ke Puncak Thaisan sekarang, mewakili Suhu?" seru Han Lin dengan girang. Dia seringkali disuruh turun gunung untuk menjual rempah-rempah dan menukarkannya dengan bahan kebutuhan hidup mereka. Akan tetapi belum pernah dia pergi demikian jauhnya. Baru membayangkannya saja dia sudah merasa amat gembira!
"Han Lin, engkau belum pernah pergi jauh dan engkau belum tahu jalan ke Thaisan. Oleh karena itu, biarlah Tiauw-cu yang mengantarmu. Engkau tentu masih ingat akan nama para datuk besar dan ciri-ciri mereka seperti yang kugambarkan kepadamu, bukan?"
“Teecu masih ingat semua, Suhu."
"Bagus, sekarang berkemaslah. Bawa semua pakaianmu untuk bekal pengganti dalam perjalanan dan sisa uang penjualan rempah-rempah dalam almari itu bawalah. Engkau memerlukan uang dalam perjalananmu, untuk membeli makanan dan kalau perlu membayar rumah penginapan."
"Baik, Suhu!" Dengan girang dan menari-nari pemuda itu memasuki pondok dan menaati perintah gurunya. Tak lama kemudian dia keluar lagi menggendong sebuah buntalan berisi pakaian dan seKantung uang perak. Ketika dia tiba diluar, rajawali itu telah mendekam di depan Thai Kek Siansu yang bicara kepadanya.
"Tiauw-cu, engkau harus mengantar Han Lin ke Puncak Thai-san."
Rajawali itu mengeluarkan suara lirih dan mengangguk-anggukkan kepalanya.! Han Lin berlutut di depan suhunya.
"Suhu, apakah teecu harus berangkat sekarang bersama Tiauw-ko?"
"Ya, berangkatlah, Han Lin, dan bawalah ini. Kuberikan ini padamu!" Thai Kek Siansu mengambil sebuah pedang dengan sarungnya dari balik lipatan kain yang melibat tubuhnya. Han Lin memandang heran. Dia tidak pernah melihat gurunya mempunyai pedang! Bahkan ketika dia mempelajari ilmu silat pedang, gurunya dan dia menggunakan sebatang! ranting pohon. Dia memang tidak membutuhkan pedang karena ilmu silat yang diajarkan gurunya, dapat dimainkan dengan benda apa pun.
Maka, kini tiba-tiba gurunya memberi sebatang pedang kepadanya. Tentu saja dia menjadi heran sekali. "Suhu, Suhu memberi teecu sebatang pedang. Untuk apakah pedang ini, Suhu?" Dia bertanya sambil menerima pedang itu dengan kedua tangannya.
Thai Kek Siansu tersenyum. "Pedang ini bernama Pek-sim-kiam (Pedang Hati Putih), Han Lin. Pedang hanyalah alat, sebagai pembantu tangan. Tidak ada bedanya dengan anggota badanmu. Apakah engkau juga bertanya untuk apakah tanganmu, kakimu atau anggauta badanmu yang lain? Pedang ini bukan untuk mencelakai atau membunuh orang, melainkan untuk perlengkapan melindungi dirimu. Jangan dikira hanya senjata saja yang disebut jahat. Tangan pun dapat dipergunakan untuk kejahatan. Jahat tidaknya sebuah benda tergantung dari dia yang menggunakannya. Dan pedang ini masih bersih, belum pernah melukai orang. Bahkan namanya selalu mengingatkan pemegangnya agar selalu berhati putih, bersih dari niat kotor."
Han Lin ingin melihat dan perlahan-lahan mencabut pedang itu dari sarungnya. Ternyata pedang itu memang putih, putih seperti kapas, seperti kapur atau seperti salju! Bersih dan indah sekal sampai mengkilap, tidak ada cacat sedikit pun.
"Terima kasih, Suhu. Teecu akan menjaga baik-baik pedang ini."
Setelah memberi hormat dengan berlutut sekali lagi dan gurunya memberi isarat dengan tangan agar dia berangkat Han Lin lalu naik ke punggung; rajawali dan berkata.