Gadis ini biasanya bersenjata siangkiam (pedang pasangan) akan tetapi ia pun ahli dalam mempergunakan pedang tunggal. Setelah Kwee Cin menerima pedang itu mereka bertiga lalu menyerbu ke depan dan sebentar saja mereka itu dikeroyok oleh banyak sekali pengawal yang bertempur sambil berteriak-teriak. Diantara murid Bu-tong-pai, hanyalah Hek I Kim Hiap Lauw Tik Hiong yang paling lihai namun pendekar pedang ini sudah patah lengan kanannya sehingga hal ini tentu saja mengurangi kelihaiannya. Adapun anak murid lainnya adalah murid-murid tingkat rendah, maka biarpun kini mereka itu dibantu oleh Kwee Cin, Siang Hwi dan Giok Lan serentak juga menahan serbuan para pengawal, tetap saja mereka terdesak hebat oleh pihak pengawal yang jumlahnya lima kali lebih banyak daripada jumlah mereka itu.
Pertandingan itu tidak seimbang dan makin lama pihak Bu-tong-pai terdesak makin hebat dan setiap saat tentu akan dapat terbasmi habis dalam pengeroyokan para pengawal, yang amat hebat adalah pertandingan antara Loan Khi Tosu dan Ho-sim Pek-mo. Ternyata kedua orang kakek ini setingkat dan memiliki kehebatan masing-masing, Loan Khi Tosu yang bersenjata tongkat bambu itu agaknya lebih kuat ginkangnya sehingga biarpun senjatanya hanya tongkat bambu, namun gerakannya mantap dan dari tongkat bambu itu tergelar tenaga ginkang yang amat kuat sehingga wakil ketua Bu-tong-pai ini dapat menahan serbuan sepasang gelang hitam putih dari Ho-sim Pek-mo yang hebat sekali. adapun keunggulan Ho-sim Pek-mo adalah senjatanya itulah. Benar-benar sepasang senjata aneh dan ampuh sekali.
Sepasang gelang atau roda itu berputar-putar membentuk lingkaran-lingkaran yang sukar sekali dijaga, seolah-olah sepasang roda itu hidup dan seolah-olah terbang tanpa dipegang di udara. Dua senjata yang berlawanan warna itu berputaran, mengeluarkan suara mengaung dan berubah menjadi dua gulungan sinar hitam putih yang saling melibat, dan mempunyai daya serang bertubi- tubi sehingga Loan Khi Tosu benar-benar terdesak dan hanya mampu memutar tongkat melindungi tubuhnya, Hanya kadang-kadang saja dia menyerang hebat, namun perbandingan penyerangannya adalah satu lawan tiga, Kwan Bu pemuda perkasa kembali memperlihatkan kelihaianya, Biarpun dikeroyok oleh dua orang panglima yang berilmu tinggi, namun pemuda dengan pedang pusakanya ini selalu berada di pihak unggul, selalu menekan dan membagi-bagi serangan. Tubuhnya lenyap, yang tampak hanyalah gulungan sinar merah darah yang seperti naga bermain di angkasa menyambar-nyambar kearah Gin-san-kwi Lu Mo Kok dan Kim I Lohan, Pemuda ini biarpun tidak mudah mengalahkan dua orang lawannya, namun dia masih mendesak terus, tinggal mencari kesempatan baik merobohkan dua orang kakek pengawal itu, Sayang bahwa Kwan Bu tak dapat mencurahkan seluruh perhatiannya kepada pertandingan itu, kadang matanya mengerling ke arah Siang Hwi yang bersama Giok Lan dan Kwee Cin sedang terdesak hebat oleh pengeroyokan pengawal. Hal ini mengurangi daya serang Kwan Bu, dan pemuda itu tidak tahu pula betapa Ho-sim Pek-mo juga seringkali mengerling ke arah dia dan agaknya kakek itu merasa tidak puas menyaksikan betapa dua orang sahabatnya terdesak oleh murid Pat-jiu Lo-koai itu.
Tiba-tiba sinar merah darah yang bergulung-gulung itu melesat ke kiri dibarengi bentakan-bentakan Kwan Bu yang marah sekali ketika dengan lirikan sudut matanya ia melihat betapa Siang Hwi yang untuk kesekian kalinya merobohkan seorang pengeroyok dengan tusukan pedangnya, menjadi gugup ketika pedangnya itu terjepit diantara tulang iga lawan yang ditusuknya dan pada saat itu, empat orang pengawal telah menerjangnya dengan senjata mereka. Siang Hwi yang belum berhasil mencabut pedangnya dari dada lawan yang dirobohkan, mengelak, akan tetapi pundaknya masih terserempet golok sehingga pangkal lengannya terluka dan mengucurkan darah, padahal empat orang pengawal yang mengeroyoknya sudah menerjang lagi. Saat itulah Kwan Bu melupakan keadaanya sendiri dan tubuhnya melesat meninggalkan dua orang panglima pengawal yang sudah didesaknya,
Sinar merah darah menyambar seperti sebuah bintang terbang dan terdengar jerit mengerikan ketika ujung Tot-beng-kiam sekaligus membabat robek perut empat pengawal yang mengancam Siang Hwi itu! akan tetapi pada saat itu, Lu Mo Kok dan Kim I Lohan meloncat mengejar dan mereka ini pun marah sekali melihat banyaknya para pengawal anak buah mereka roboh binasa, Sungguh tidak mereka duga sama sekali bahwa Kwan Bu yang baru saja menolong Siang Hwi merobohkan empat orang pengawal, diam-diam memperhatikan gerakan mereka dan sebelum dua orang pengawal tingkat tinggi itu sempat menyerang, tiba-tiba pemuda itu langsung membalik dan meloncat ke depan, tubuhnya meluncur seperti terbang dan pedangnya bergerak secara luar biasa sekali membabat ke depan membabat leher Lu Mo kok dan Kim I Lohan!
“Hayaa !” Gin-san-kwi Lu Mo Kok tak sempat menangkis dan cepat menjatuhkan diri, akan tetapi
pedang itu sudah meluncur ke bawah dan ujungnya amblas ke dalam ulu hatinya, dan cepat menyambar sudah tercabut pula dan menyambar ke arah leher Kim I Lohan,
“Celaka !” Kim I Lohan yang melihat betapa darah muncrat dari dada temannya, cepat menangkis,
“Trangggg... auggghhh...!” tongkat itu terbabat buntung dan pedang Toat-beng-kiam dan terus meluncur dan menyabet pinggir leher Kim I Lohan, tepat mengenai urat besar sehingga tubuh hwesio panglima pengawal itu terpelanting, darah seperti muncrat-muncrat dari lehernya!
“Keji...!” Terdengar bentakan keras dan angin yang amat kuat menyambar dari sebelah kiri ke belakang Kwan Bu, Pemuda ini maklum bahwa ada serangan yang amat berbahaya, Cepat ia menggerakkan pedang menangkis,
“Traakkkkl” Pedangnya itu melekat pada gelang putih di tangan Ho-sim Pek-mo yang ternyata telah datang membantu dua orang kawannya, karena Kwan Bu baru saja mengeluarkan tenaga besar untuk merobohkan dua orang lawan tangguh, sedangkan serangan Ho-sim Pek-mo amat tiba-tiba dan dari belakang datangnya, maka ketika pedangnya melekat pada roda putih Kwan Bu menjadi gugup dan berusaha menarik kembali pedangnya, Pemuda ini lupa bahwa kakek tua itu memiliki dua buah roda, maka pada detik berikutnya gelang atau roda hitam telah menyambar dadanya tanpa dapat dielakkan lagi oleh Kwan Bu.
“Bukkkk...!” Kwan Bu sudah mengerahkan ginkang untuk bertahan, namun tetap saja tubuhnya terbanting keras sampai bergulingan di atas tanah dalam keadaan pingsan!
“Kwan Bu.....!” Siang Hwi menjerit dan menubruk ke depan dengan nekad ketika melihat kakek berambut putih itu sudah kembali meloncat dan agaknya hendak memukul Kwan Bu yang sudah pingsan itu dengan rodanya, Loan Khi Tosu yang tadi ditinggalkan lawannya, hanya menonton saja karena dia menganggap tidak perlu menolong Kwan Bu karena dia tahu bahwa pemuda ini melawan para pengawal sekali-kali bukan karena membantu pihaknya! Kenekadan Siang Hwi tentu akan ditebus dengan nyawanya ketika ia menubruk maju, tidak peduli akan keampuhan roda di tangan kakek itu untuk menolong Kwan Bu, kalau saja pada saat itu tidak bertiup angin yang kuat sekali, didahului oleh suara menbela,
“Tua Bangka tak tahu malu!” dan tiba-tiba tubuh Ho-sim Pek-mo terhuyung ke belakang! Ketika Siang Hwi menengok ternyata yang muncul itu adalah seorang hwesio tua yang tidak memakai baju, celananya yang lebar dan besar itupun terbuat dari kain yang tebal dan murah, badannya gemuk dan perutnya gendut sekali, persis seperti arca Jilaihud akan tetapi hanya sebentar saja Siang Hwi memandang hwesio itu karena ia segera teringat akan Kwan Bu dan cepat la berlutut di dekat tubuh pemuda ini.
“Kwan Bu....... ah, Kwan Bu.....!” ia mengguncang-guncang tubuh pemuda yang pingsan itu, dan menangis! la melihat wajah pemuda itu pucat seperti mayat, napasnya sesak dan matanya meram.
“Pat-jiu Lo-koai...!” Seruan ini hampir berbareng keluar dari mulut Loan Khi Tosu dan Ho-sim Pek- mo, dan mendengar disebutnya nama ini, otomatis pertandingan yang masih berjalan itu terhenti, Sepuluh orang anak murid Bu-tong-pai tinggal lima orang lagi yang lima orang telah roboh dan tewas, Adapun pihak pengawal, selain kehilangan dua orang panglima mereka yang tewas di ujung pedang Kwan Bu, juga lebih dari dua puluh orang anak buah pengawal roboh, Pat-jiu Lo-koai memandang ke arah tumpukan mayat-mayat dan orang-orang terluka itu, dengan lirih menyebut,
“Omitohud.....” dan menggeleng-gelengkan kepalanya, “Darah mengalir keluar.... nyawa melayang....
apa sih yang diperebutkan manusia-manusia tolol ini ? sungguh mengenaskan dan menyedihkan!”
Ketika mendengar disebutnya nama itu, Siang Hwi terkejut dan menoleh. Ah, kiranya kakek gundul yang aneh itu adalah guru Kwan Bu! Timbullah harapan di hatinya yang penuh kekhawatiran melihat keadaan Kwan Bu, Cepat ia melompat dan berlutut di depan kakek itu sambil berkata,
“Lcianpwe..... tolonglah..... Kwan Bu.....” Pada saat itu Giok Lan juga telah menggandeng tangan Kwee Cin, setengah dipaksanya pemuda itu berlari menghampiri si kakek gundul dan diajak berlutut di depan kakek itu sambiil berkata,
“Locianpwe, saya adalah adik tiri kakak Kwan Bu. Saya mohon perlindungan Locianpwe harap bebaskan Kwan Bu, Siang Hwi, saya dan saudara Kwee Cin ini yang pernah menolong Kwan Bu-koko dan saya. Kami hendak dibunuh oleh orang-orang Bu-tong-pai dan pengawal-pengawal kerajaan”
“Omitohud........ orang-orang tua seharusnya menyenangkan hati dan membimbing orang-orang
muda, malah mengganggu mereka, Bangunlah dan jangan khawatir, pinceng memang pelindung orang-orang muda!” Tiba-tiba Siang Hwi mengeluh dan terguling, roboh pingsan. Kiranya gadis ini sejak tadi telah amat menderita karena luka di pangkal lengannya mengeluarkan terlalu banyak darah, Hanya karena kekhawatiran hatinya melihat keadaan Kwan Bu saja yang masih membuat ia masih kuat bertahan, Sekarang, setelah hatinya lega mendengar betapa guru Kwan Bu yang ia yakin amat sakti menyatakan hendak melindungi mereka, rasa lemas menyelimutinya dan membuat dia jatuh pingsan, Giok Lan cepat memeluk dan memondongnya, Adapun Kwee Cin tanpa disuruh juga sudah memondong tubuh Kwan Bu yang pingsan, kemudian mereka itu digiring dan dikawal oleh Pat-jiu Lo- koai yang tersenyum-senyum tenang seolah-olah di situ tidak ada siapa-siapa, Tidak ada seorang pun berani bergerak menghadang, karena baik di pihak Loan Khi Tosu maupun dipihak para pengawal masing-masing saling berhadapan sebagai musuh dan mereka itu merasa ragu-ragu untuk menambah lawan dengan seorang seperti Pat-jiu Lo-koai!
“Baringkan dia di sini, pinceng hendak memeriksa lukanya,” kata Pat-jiu Lo-koai ketika mereka tiba di dalam sebuah hutan dan telah jauh meninggalkan tempat pertempuran antara anak murid Bu-tong- pai dan para pengawal tadi,
Kwee Cin menurunkan tubuh Kwan Bu di atas tanah bertilam rumput di bawah sebatang pohon besar. kemudian dia sendiri duduk tak jauh dari situ memandang penuh perhatian pada bersama Giok Lan dan juga Siang Hwi yang sudah siuman. Biarpun wajahnya masih pucat, Siang Hwi tidak pening lagi karena diberi minuman obat penambah darah dan lukanya telah diobati pula oleh Pat-jiu Lo-koai dalam perjalanan tadi, Kwan Bu yang kini rebah terlentang masih pingsan, Napasnya masih terengah, bahkan sebagian mukanya kelihatan menghitam sehingga Siang Hwi yang melihatnya menjadi khawatir sekali, Demikian pula Kwee Cin dan Giok Lan memandang dengan hati gelisah sehingga mereka bertiga tidak berani membuka mulut, hanya memandang kakek gundul yang kini mulai memeriksa tubuh Kwan Bu. Setelah membuka baju pemuda itu dan meraba dadanya, Pat-jiu Lo-koai menggeleng kepala dan berkata perlahan.