“Aku masih giat berlatih, nona. Suhu masih belum sembuh benar dan setiap hari masih harus memulihkan kesehatannya dan bersemadhi dalam pondoknya. Aku harus berlatih dan bersiap-siap menghadapi serbuan musuh yang kurasa akan datang mencari suhu!”
“Bu-tong-pai?” Kwan Bu mengangguk.
“Dan tokoh Bu-tong-pai adalah lawan yang berat?”
“Ah, Kwan Bu, lupakanlah sebentar urusan itu! Aku ingin sekali bicara denganmu tentang urusan kita berdua..?”
“Apakah yang akan dibicarakan, nona? Orang seperti aku tidak berharga untuk..?”
“Kwan Bu, hentikanlah suara mengejek itu. Ataukah engkau sengaja hendak menusuk perasaanku?”
“Tidak sama sekali, nona..!” Siang Hwi mengerutkan keningnya. Hatinya tidak senang mendengar sebutan “nona” akan tetapi sebagai seorang wanita ia merasa malu untuk mengungkapkan isi hatinya begitu saja, apa lagi Kwan Bu kelihatannya, seolah-olah mundur dan menghindarkan diri.
“Kwan Bu, engkau selalu berusaha menghindariku. Ada apakah? Apakah engkau masih merasa sakit hati terhadap sikapku dahulu? Engkau masih merasa sakit hati karena dahulu dianggap sebagai kacungku? Kuanggap sebagai seorang rendah? Kuanggap sebagai seorang anak haram dan kuhinakan? Tidak percayakah kau bahwa aku merasa menyesal sekali kalau teringat akan itu semua, Kwan Bu? Tidak maukah engkau memaafkan semua kesalahanku itu...?” Suara Siang Hwi perlahan perlahan putus dan akhirnya dengan susah payah gadis yang keras hati ini menahan isaknya. Hampir saja Kwan Bu tidak dapat menahan hatinya yang penuh keharuan. Kalau menurutkan dorongan hatinya, ingin ia menjatuhkan diri berlutut dan memeluk gadis itu, mohon ampun bahwa sikapnya telah menyakitkan hati Siang Hwi. Akan tetapi dia menekan perasaannya dan kalau Siang Hwi tidak mau menyatakan cinta kasih kepadanya, yang masih amat diragukan karena dianggapnya tidak mungkin, dia akan selalu menahan diri dan menahan perasaannya.
“Tidak ada yang harus dimaafkan, nona. Semua sikapmu yang dahulu sudah sewajarnya, aku berterimakasih sekali atas pembelaanmu padaku di depan para tokoh Bu-tong-pai, dan aku amat menyesal kalau teringat akan kekurang-ajaranku dahulu terhadapmu, nona. Aku amat tidak sopan dan kurang ajar sehingga Semua sikapmu terhadapku dahulu adalah sudah pantas!”
“Kwan Bu !” Siang Hwi merasa jantungnya seperti ditusuk.
“Engkau selamanya amat baik kepadaku. selalu merendahkan diri, engkau tidak pernah kurang ajar..!”
“Dosaku padamu tak perlu ditutup, nona. Sampai mati aku tidak akan pernah melupakannya. Dua kali aku telah... telah memeluk dan menciummu. sungguh perbuatan yang amat kurang ajar dan. ”
“Kwan Bu, aku tidak menganggapnya sebagai perbuatan kurang ajar, bahkan... bahkan. sebaliknya,
aku.... aku merasa bahagia akan perbuatanmu itu... aku malah suka sekali..! Wajah gadis itu jadi merah seperti udang direbus dan ia tak kuasa melanjutkan kata-katanya. Jantung Kwan Bu berdebar keras! Biarpun hal ini bukan merupakan pengakuan cinta gadis itu, akan tetapi sudah mendekati! Gadis ini menyatakan bahwa dia merasa suka dan bahagia ketika ia peluk dan cium! Akan tetapi pernyataan ini menimbulkan rasa penasaran di hati Kwan Bu! Benarkah merasa suka dan bahagia? kenyataanya dahulu tidak sama dengan ucapan Siang Hwi!
“Tak perlu nona berpura-pura. Dahulu nona menuduhku yang bukan-bukan sehingga hampir saja aku dibunuh oleh kedua suhengmu dan oleh ayahmu. Mengapa nona dahulu menyatakan bahwa aku berkurang ajar dan memaksamu? Kenapa?” Sekarang mangertilah Siang Hwi. Diam-diam pemuda ini merasa sakit sekali oleh peristiwa itu. pertama kali, ketika Kwan Bu menurunkan ilmu memperlancar jalan darah sehingga ia tertidur dan pemuda itu memeluknya kemudian muncul Liu Kong dan Siang Hwi lalu menuduh Kwan Bu memaksanya dan berkurang ajar! kedua kalinya, ketika Kwan Bu menolongnya terbebas dari ancaman mengerikan di tangan Ma Chiang yang hendak memperkosanya. Setelah terbebas, Kwan Bu manciumnya dan ia merasa bahagia sekali, akan tetapi muncul ayahnya dan dalam bingung, jengah dan malu Siang Hwi telah menampar muka Kwan Bu.
“Kwan Bu, apakah engkau tidak mengerti? Apakah engkau tidak dapat menduga mengenai sikapku seperti itu...?”
“Hemm. , arti satu-satunya bahwa engkau merasa marah dan menganggap aku kurang ajar, sama
sekali tidak membayangkan bahwa engkau... suka dan bahagia nona..”
“Kwan Bu !!” Kwan Bu dan Siang Hwi meloncat berdiri dengan kaget mendengar panggilan ini dan
muncullah Kwee Cin dan Giok Lan. Wajah dua orang muda ini tegang sekali. Sebelum Kwan Bu atau Siang Hwi sempat bertanya, Kwee Cin sudah berkata cepat dan gugup.
“Suhu... tahu-tahu sedang bertanding dengan seorang tosu lihai.... suhu terdesak hebat..?”
“Ah. suhu masih belum sembuh ” Kwan Bu berkata dan cepat meloncat, pergi ke pondok suhunya
yang berada agak jauh dari tempat ia berlatih pedang itu. Siang Hwi dan dua orang muda yang membawa kabar itu cepat meloncat pula menyusul, ketika mereka tiba di depan pondok Pat-jiu Lo- koai, mereka berdiri tertegun memandang ke arah dua orang kakek yang bertanding dengan hebatnya itu. Tosu yang menjadi lawan Pat-jiu Lo-koai di bawah sinar bulan tampak amat cepat dan gesit gerakannya itu adalah seorang Tosu tua yang usianya tentu tujuh puluh tahun lebih. Sikapnya gagah, keren dan agung. Pakaiannya serba putih rapi dan bersih.
Di punggungnya terdapat gagang pedang yang dihias ronce kuning. Empat orang muda itu tidak mengenal siapa adanya Tosu yang amat lihai itu, dan mereka memandang dengan gelisah karena jelas tampak betapa Pat-jiu Lo-koai yang masih tertawa-tawa itu sesungguhnya terdesak hebat. Dua orang kakek ini bertanding dengan tangan kosong, kadang-kadang gerakan mereka cepat tak dapat diikuti pandangan mata, kadang-kadang lambat sekali namun dari gerakan tangan yang lambat ini menyambar angin pukulan yang dapat dirasakan oleh empat orang muda yang menonton di pinggiran. Ketika Pat-jiu Lo-koai mengirim pukulan dengan tangan kanan dari samping mengarah ke lambung, Kakek lawannya itu menangkis dan tangkisan ini membuat Pat-jiu Lo-koai terhuyung tiga langkah ke belakang, Hwesio gendut ini tertawa.
“Ha-ha-ha. Thian Khi Tosu, engkau Tosu tua bau apek makin tua makin hebat!”
“Pat-jiu Lo-koai, tak parlu banyak kelakuan lagi. Malam ini harus diputuskan siapa yang berhak disebut pemenang. Jaga serangan pinto!” Tosu itu sudah menerjang ka depan, gerakannya cepat dan mangandung kekuatan dahsyat. Pat-jiu Lo-koai yang masih tersenyum lebar itu menyambut dengan kedua lengan dilanjutkan Kembali dua pasang lengan bertumbukan dan akibatnya tubuh Pat-jiu Lo-koai terlempar dan bergulingan di atas tanah seperti sebuah bola ditendang. Hwesio gendut ini sudah bangun berdiri lagi sambil tertawa- tawa, seolah-olah tidak merasakan hebatnya benturan tenaga sinkang tadi, akan tetapi darah mangalir kaluar dari ujung bibirnya! melihat keadaan lawannya. Tosu itu menerjang maju lagi dengan maksud mengirim pukulan tarakhir mengalahkan Hwesio gendut yang keras kepala itu, akan tetapi tiba-tiba bayangan Kwan Bu berkelebat dan pemuda ini sudah berdiri di depan suhunya. mawakili suhunya mendorong kedua lengan menangkis.