Dendam Si Anak Haram Chapter 47

NIC

“Baik, nona bersiaplah!” maksudnya tentu saja ingin memberi kesempatan kepada nona itu untuk memasang kuda-kuda agar dapat menghadapi serangannya dengan baik. Akan tetapi nona itu hanya tersenyum dan berkata,

“Sudah sejak tadi aku siap, engkau bicara terus-terusan dan tidak lekas menyerang, mau tunggu apalagi sih?” Pengawal muda itu menjadi makin gugup karena wanita muda yang cantik jelita itu seolah-olah hendak “memberi angin” kepada komandannya untuk menegurnya. Maka tanpa menanti teguran itu ia cepat merobah kedudukan kuda-kudanya dengan melangkahkan kaki kiri ke depan dengan lutut ditekuk sedangkan kaki kanan lurus mendoyong ke belakang, tangannya yang amat kuat mencengkeram pundak Bi Hwa, mulutnya berseru.

“Sambutlah serangan ini!” Cengkeraman itu amat cepat dan kuat sehingga tidak boleh dipandang ringan. Namun hati Gin-sang-kwi mendongkol sekali karena serangan seperti itu jelas membuktikan betapa anak buahnya ini masih segan-segan dan tidak menyerang dengan sungguh-sungguh. Hal ini membuktikan bahwa kalau anak buahnya itu tidak memandang rendah si gadis cantik, tentu mempunyai hati tidak tega yang timbul dari rasa sayang! Bi Hwa adalah murid Pat-jiu Lo-koai, tingkat kepandaiannya amat tinggi. Melihat serangan seperti ini ia tersenyum saja. Selain ia tahu akan akal suhengnya untuk mendemonstrasikan kepandaian mencari kesan baik sehingga tentu saja ia tidak boleh mencelakai pengawal itu,

Juga hatinya menjadi lunak karena lawan ini agaknya tidak tega untuk menyerang sungguh-sungguh kepadanya. Maka ia berlaku tenang. tidak terburu-buru mengelak, hanya setelah tangan yang mencengkeram itu sudah dekat, ia miringkan pundaknya sehingga cengkeraman itu luput. Pengawal itu memang jatuh hati, akan tetapi pada dasarnya dia seorang mata keranjang, bukan cinta yang murni, melainkan cinta nafsu seorang pria yang tergila-gila kepada seorang wanita cantik. Pula, sebagai seorang pengawal, entah sudah berapa banyak ia mempermainkan wanita, baik secara halus maupun kasar. Kini melihat cengkeramannya luput dan tangannya lewat di depan dada nona itu, timbullah niatnya untuk mempergunakan kesempatan ini meremas dada Bi Hwa! Dengan gerakan pergelangan tangannya, jari-jari tangan yang luput mencengkeram pundak itu kini membalik dan hendak meremas dada.

Bi Hwa mengeluarkan suara mendengus lirih dari hidungnya. Tangan kirinya bergerak ke atas seperti orang menangkis, padahal ia diam-diam menggunakan sebuah jari telunjuknya menotok pergelangan tangan lawan, membarengi selagi tangan itu meremas dadanya yang agaknya seperti ia biarkan saja. Pengawal itu sudah kegirangan karena kalau serangan kedua ini berhasil, selain ia dapat menikmati rabaan tangannya pada dada. juga berarti ia sudah membikin malu lawan dan dapat dianggap menang dalam gebrakan pertama. Akan tetapi segera terdengar keluhan kaget dan nyeri ketika tiba-tiba jari tangannya yang kiri itu seketika menjadi kaku tanpa ia ketahui apa sebabnya, hanya merasa betapa setelah mendekati dada jari-jari tangannya tak dapat ia gerakkan lagi! Biarpun hanya sebentar tangannya kaku dan lumpuh, namun ia kaget sekali dan meloncat mundur melangkah lebar.

“Hemm, hanya begitu saja kemampuanmu?” Gin-sang-kwi membentak marah. Pengawal itu terkejut dan tahulah ia, atau dapat menduga bahwa tangannya yang kaku itu tentu saja disebabkan oleh si gadis manis. Dan dia kini kembali ditegur komandannya. Karena malu dan takut, ia lalu mengeluarkan seruan keras dan kini tubuhnya menubruk ke depan, tangan kiri memukul ke arah muka Bi Hwa. Namun pukulan yang amat keras dan cepat ini hanya pancingan belaka karena lengan belakangnya yang sungguh-sungguh menyerang, yaitu dengan gerak cepat meraih pinggang untuk dipeluknya! Bi Hwa tentu saja dapat mengikuti semua gerakan ini dan tahu pula akan siasat lawan.

la mendahului dengan memutar tubuhnya ke kanan menghindarkan pukulan ke arah muka dengan mengibaskan tangan kanan dari samping menyampok tangan kiri lawan, sedangkan tangan kirinya menyambar tangan kanan yang memeluk pinggangnya dengan sebuah totokan pula pada telapak tangan lawan. Selain ini iapun membarengi dengan tendangan dengan ujung kaki mengarah lutut. Gerakannya cepat bukan main, sukar diikuti pandangan mata. dan tahu-tahu pengawal muda itu menjerit keras karena telapak tangan yang tertotok itu terasa nyeri sekali, rasa nyeri yang terus menusuk sampai ke jantung, seolah-olah ada jarum beracun yang menjalar dari telapak tangannya terus sampai ke dalam dada. Dan pada saat yang sama, hanya seperempat detik selisihnya, tiba-tiba kakinya menjadi lumpuh karena sambungan lututnya tepat sekali kena dicium ujung sepatu Bi Hwa. Tanpa dapat dicegahnya lagi, pengawal muda itu jatuh berlutut di depan kaki Bi Hwa!

“Eh, eh, aku bukan puteri istana, mengapa engkau memberi penghormatan secara berlebihan? Aku tidak bisa menerimanya!” kata Bi Hwa mengejek. Siok Lun tertawa dan berkata kepada Gin-sang-kwi yang menjadi merah mukanya,

“Lociangkun, tidak tepatkah kata-kataku bahwa lociangkun membuang tenaga sia-sia saja membawa anak buah ini?”

“Menjemukan... menjemukan...!” kata Gin-sang-kwi dan sekali kakinya bergerak, terdengar suara “dukk!” dan tubuh pengawal muda itu terpental dalam keadaan pingsan. “Urus dia!” katanya dan pengawal-pengawal lainnya cepat menolong teman yang sialan itu. Baik Siok Lun maupun Bi Hwa terkejut dan kagum. Tendangan kakek bongkok itu membikin si pengawal pingsan, akan tetapi sekaligus juga menyembuhkan lutut yang tadi tercium ujung sepatu Bi Hwa. Hal ini saja membuktikan bahwa kakek inipun seorang ahli totok yang ampuh sekali kepandaian nya.

“Kalian berdua tentu mempunyai maksud tersembunyi maka berani berlagak di depan kami. orang- orang gagah tidak akan melakukan hal-hal yang tersembunyi. Lebih baik kalian mengaku agar kami dapat mengambil keputusan turun tangan. Siapakah kalian ini, dari golongan mana dan apa hendak kalian mengacau barisan pengawal yang kami pimpin?” Ucapan si bongkok ini berwibawa, sesuai dengan kedudukannya sebagai pengawal nomor satu dari istana.

Siok Lun menjawab, suaranya gagah dan sikapnya tenang, bahkan senyumnya masih belum meninggalkan wajahnya yang tampan. “Saya bernama Phoa Siok Lun, dan ini adalah sumoi saya bernama Liem Bi Hwa. Kami adalah perantau-perantau dan seperti saya katakan tadi, kami sedang duduk bercakap-cakap ketika rombongan lociangkun lewat sehingga kuda kami lari entah ke mana. Harena tertarik, kami lalu menemui lociangkun untuk sekedar bercakap-cakap. Kiranya lociangkun sedang memipin barisan untuk membasmi perampok-perampok. Hal ini sungguh kebetulan sekali karena kamipun merupakan tukang membasmi perampok-perampok. Hanya sekali lagi saya nyatakan bahwa membasmi perampok tidak perlu membawa barisan besar seperti ini yang hanya akan memperlambat perjalanan danbmemusingkan belaka.

“Hemm, kalian berdua ini orang-orang muda yang memiliki sedikit kepandaian namun bersikap sombong. Apa yang kami lakukan tidak ada hubunganya dengan kalian. Kalau memang kalian memandang rendah kami, mari kita cbba-coba!” setelah berkata demikian, Gin-sang-kwi menggerakkan kipasnya, dibuka dengan suara “greeekkk!” yang nyaring sekali dan ketika daun kipas terbuka, ada angin menyambar keras. “Omitbhud, orang-orang muda memang seperti burung yang baru belajar terbang, tidak tahu luasnya lautan tingginya awan!” kata Kim I Lohan dan kakek gundul inipun menggerakkan Kim-coa- pang di tangannya sehingga terdengar suara “wuuuttt” dan angin pukulan tongkat yang berat itu menyambar-nyambar.

“Hemm, jiwi lociangkun (bapak panglima berdua! memiliki senjata, kamipun mempunyai senjata! Sumoi, mari kita layani dua orang terhormat ini bermain-main sebentar untuk membuktikan bahwa kita tidaklah berlagak dan bersombong diri!” sambil berkata demikian, Siok Lun memberi kedipan mata kepada Bi Hwa yang mengerti bahwa suhengnya ingin memperlihatkan kelihaian agar dapat menarik hati panglima-panglima pengawal istana ini, karena sesungguhnya, mereka itu dapat dijadikan jembatan yang baik agar cita-cita mereka tercapai.

“Singgg.........!” Dua sinar terang berkelebat dan tahu-tahu kakak beradik seperguruan itu telah berdiri tegak dengan pedang yang berkilauan di tangan kanan, sedangkan tangan kiri ditekuk di depan dada dengan jari terbuka miring. Sikap mereka sungguh indah dan sedap dipandang.

“Silakan, jiwi lociangkun. Kami berdua kakak beradik siap melayani jiwi bermain-main.” kata Siok Lun sikap dan kata-katanya halus namun mengandung tantangan. Melihat sikap dua orang muda itu, biarpun tidak terang-terangan hendak memasuki barisan pengawal, bahkan tadipun gadis lihai itu tidak menewaskan anggauta pengawal, Gin-sang-kwi yang sudah banyak pengalaman tetap menjadi curiga. Boleh jadi kedua orang muda ini bukan musuh, bukan golongan yang anti kaisar, namun juga dapat dikatakan bahwa mereka itu merupakan golongan kawan. Sebagai seorang tokoh yang tinggi ilmunya, tentu saja dia dan Kim I Lohan menjadi penasaran ditantang oleh dua orang muda itu.

“Bagus sekali, kalian dua orang muda sombong, boleh maju!” kata Gin-san-kwi yang sudah membuka daun kipasnya dan mengembangkannya di depan dada. Juga Kim I Lohan sudah memasang kuda- kuda, melintangkan tongkatnya yang berkepala ular emas itu siap menanti serangan.

“Sumoi, kedua lociangkun ini mau mengalah, mari kita mulai!” kata Siok Lun dan bagaikan dua ekor burung garuda menyambar, mereka itu sudah berkelebat, maju, didahului sinar putih bagaikan kilat menyambar ke arah dua orang komandan atau panglima pengawal itu. Siok Lun yang dapat menduga bahwa si kakek bongkok bersenjata kipas itu adalah lawan yang paling kuat, sudah menerjang. Gin-san-kwi dengan pedangnya, membuat gerakan menusuk ke arah mata dengan cadangan mengurat ke bawah dari leher ke pusar lawan! Juga Bi Hwa tidak mau kalah cepat dari suhengnya. Dalam hal ini, ilmu gerak cepat memang Bi Hwa istimewa sekali.

Tubuhnya ringan dan gerakannya cepat bukan main, sigap dan gesit seperti burung walet, kini ia sudah menyerang Kim I Lohan dengan bacokan ke arah ubun-ubun kepala gundul itu dari atas ke bawah dibarengi dengan tendangan ke arah pusar dari bawah ke atas! Menyaksikan gerakan pertama yang amat hebat dan yang merupakan serbuan dahsyat ini, baik Gin-san-kwi maupun Kim ILohan tidak berani memandang rendah. Sebagai orang-orang yang sudah tinggi ilmu silatnya dan yang sudah puluhan tahun pengalaman mereka dalam pertempuran-pertempuran, maka kini tahulah mereka bahwa dua orang muda ini benar-benar lihai dan tentu murid~murid orang sakti. Gin-san-kwi sudah cepat mengelak dengan kepala dimiringkan. Ketika pedang Siok Lun menggurat dari atas ke bawah, ia menangkis pedang itu dengan tulang kipasnya.

“Cringg...!” pedang Siok Lun terpental, akan tetapi terpental hanya untuk membuat gerakan melingkar dan tahu-tahu ujung pedang sudah menusuk ke arah lambung si kakek bongkok. Gerakan ini indah, cepat dan tidak terduga-duga sama sekali. “Bagus!” Gin-san-kwi berseru kaget dan cepat ia menggeser kaki merobah kedudukan sambil menyampok dengan kipasnya. Namun Siok Lun yang hendak mendemanstrasikan ilmunya yang hebat, yang ia pelajari dari si manusia sakti Pat-jiu Lo-koai, telah menghujamkan serangan-serangan berbahaya, sehingga kakek bongkok itu tidak mendapatkan kesepatan untuk membalas sama sekali. Sampai sepuluh jurus Siok Lun terus menerjang dan mengurung si kakek bongkok dengan gulungan sinar pedangnya yang amat cepat dan kuat.

Bi Hwa juga mengimbangi suhengnya. Gadis lihai ini dapat menduga bahwa awannya, seorang hwesio yang bersenjata tongkat seberat itu, tentu merupakan lawan yang amat tangguh dan sukar dikalahkan, baik dengan kekuatan maupun dengan desakan ilmu pedangnya. Karena itu, gadis cerdik ini mengandalkan kecepatan gerakannya, mengandalkan ginkangnya. Ia menerjang dengan cara menyambar-nyambar seperti seekor burung, hanya menggunakan ujung pedangnya untuk menyerang bagian-bagian tubuh lawan yang lemah, namun begitu dielakkan atau ditangkis, ia tidak melanjutkan serangannya melainkan berkelebat cepat untuk melakukan serangan dari lain jurusan. apalagi kalau tongkat itu menangkis, gadis cerdik ini sama sekali tidak membiarkan pedangnya kena di hantam tongkat.

Dia dapat menduga bahwa tongkat itu tentu merupakan senjata berat yang ampuh, dan untuk mengadu tenaga, ia tahu bahwa ia bukanlah tandingan hwesio yang ilmu tongkatnya jelas menunjukan ilmu silat Siauw-lim-pai itu. Dan memang jitu sekali perhitungan Bi Hwa. Kim I Lohan menjadi kewalahan menghadapi gerakan yang luar biasa cepatnya itu sehingga tidak mendapat kesempatan untuk membalas pula. Maka dengan menggereng marah hwesio ini lalu memutar tongkat Kim-coa-pang di sekeliling tubuhnya sehingga tubuhnya bagai terlindung ileh benteng baja yang kuat! Sementara itu, Liu Kong yang tingkat kepandaiannya tidak setinggi tingkat mereka yang sedang bertanding namun sejak kecil telah dibimbing oleh Bu Keng Liong yang gagah perkasa, berdiri dengan mata terbelalak kagum.

Pemuda ini biarpun baru saja mendapatkan kedudukan diantara para pengawal istana, namun karena ia adalah putera mendiang Liu Ti yang sudah terkenal dan disegani di kalangan para pengawal, maka Liu Kong juga mempunyai pengaruh yang besar. Apalagi ketika para tokoh panglima pengawal melihat bahwa pemuda ini amat cerdik, seperti ayahnya, pandai mengatur siasat, dalam menghadapi para pemberontak, maka ia lebih disegani lagi oleh Gin-san-kwi lalu diajak bersama- sama membasmi para pemberontak sebagai seorang penasehat dan pengatur siasar. Kini, melihat dua orang muda yang memiliki ilmu pedang sedemikian tangguhnya, ilmu silat sedemikian lihainya, Liu Kong yang dapat mengikuti pertandingan itu dengan matanya yang terlatih, menjadi kagum dan cepat-cepat ia mengambil keputusan. Ia melompat maju dan berseru keras.

“Harap cuwi menahan senjata!” Seruannya cukup nyaring dan karena dua orang murid Pat-jiu Lo- koai tidak berniat memusuhi para pengawal, maka sambil tersenyum Siok Lun meloncat mundur diikuti oleh sumoinya. Mereka ini sudah menyimpan pedang dengan gerakan yang mengagumkan, seolah-olah pedang mereka bermata dan bisa kembali sendiri ke sarungnya.

“Lociangkun berdua harap suka memastikan dua orang saudara ini karena mereka ini bukanlah musuh, bukan pemberontak-pemberontak yang harus kita ganyang.” Demikian Liu Kang berkata kepada Gin-san-kwi dan Kim I Lohan. Kemudian ia melanjutkan cepat sebelum ada orang lain yang bicara sehingga mengeruhkan suasana, dan kini ia tujukan kata-katanya kepada Siok Lun dan Bi Hwa sambil menjura.

“Saya harap saudara berdua suka menghentikan pertandingan main-main ini. Hendaknya jiwi [kalian berdua) ketahui bahwa main-main dengan pengawal istana merupakan permainan berbahaya, karena melawan pengawal istana dapat membuat jiwi dianggap pemberantak. Dan saya yakin bahwa jiwi bukanlah golongan pemberontak yang hina dan rendah!” Siok Lun memandang kepada Liu Kong dengan mata penuh selidik.

Kini dia tidak memandang rendah pemuda tampan ini, dan tahulah dia betapa cerdik dan pandainya pemuda ini yang melihat pakaiannya, tentu tidak setinggi dua orang kakek pengawal itu pangkatnya, Namun, melihat betapa pemuda ini berani menghentikan pertandingan yang dilakukan dia orang kakek pengawal, jelas membuktikan bahwa pemuda ini mempunyai pengaruh dan kekuasaan pula, Selain itu, dia kagum, akan para pemuda ini bicara terhadap kedua pihak, Terhadap dua orang kakek pengawal. pemuda ini memintakan maaf untuk mereka berdua, dengan demikian, penghentian pertandingan itu tidak merendahkan kedudukan dua orang kakek pengawal. Sebaliknya, terhadap mereka berdua, pemuda itu meminta pengertian dan memuji-muji mereka yang dianggapnya bukan pemberontak yang hina. Siok Lun tersenyum kemudian menjura kepada Gin-san-kwi,

Posting Komentar