“Saudara iparnya? Bagus, kalau begitu akan kuberi anugerah kedudukan sebagai kepala kantor pos di Ceng Ho Sian.” Di isinya pula sebuah surat pengangkatan atas nama Bu Tian Heng. Atas anugerah ini, Bu Tian Heng tentu saja menjadi girang sekali dan diapun membentur-benturkan dahinya di atas lantai sambil menghaturkan terima kasihnya. Lai Pao tidak ketinggalan Diapun diberi anugerah dengan kedudukan sebagai Komandan Pintu Gerbang dari Istana Pangeran Guan di Ceng-Ho-Sian.
“Terimalah surat-surat pengangkatan ini dan besok pagi pergilah kalian ke kantor Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Peperangan untuk rnencatatkan nama kalian dalam daftar pegawai dan menerima tanda-tanda pangkat kalian. Dan kamu, Komandan Ti, antarlah mereka, beri makan mimun sebaiknya dan berikan masing-masing sepuluh ons perak dari perbendaharaan agar dalam perjalanan pulang, mereka tidak sampai kekurangan bekal.” Merekapun mengundurkan diri dengan hati penuh kegembiraan. Setelah kedua orang itu makan minum, Komandan atau Kepala Pengawal Ti mendekati mereka dan berbisik,
“Saya mempunyai sedikit permohonan untuk disampaikan kepada majikan kalian. Akan tetapi apakah sekiranya dia mau membantu saya?”
“Akan tetapi, Komandan, bagaimana anda masih menyangsikan kebaikan hati majikan kami? Bagaimanapun juga, dengan bantuan andalah maka kami dapat diterima menghadap Perdana Menteri sampai berhasil baik. Karena itu, apapun yang anda kehendaki, katakan kepada kami dan majikan kami pasti akan memperhatikan semua keinginan anda.”
“Baiklah kalau begitu. Terus terang saja, yang saya butuhkan adalah seorang gadis muda untuk menjadi selir saya, berusia lima belas atau enam belas tahun begitulah. Tentu saja yang cantik dan pandai menarik hati. Tentang harganya tidak menjadi soal “
“Ah, itu perkara mudah, Komandan. Majikan kami pasti akan dapat memenuhi keinginan anda itu Girang sekali hati Komandan Ti Mendengar ini. Dia mengambilkan uang sebanyak sepuluh ons perak untuk masing-masing dari perbendaharaan Perdana Menteri Cai ditambah lagi masing-masing lima ons dari sakunya sendiri.
“Aih, kami baru saja menerima hadiah dari Perdana Menteri Cai, bagaimana anda begitu repot “
“Sudahlah, ini tidak ada artinya. Demi persahabatan kita, harap anda berdua tidak menolak,” kata Komandan Ti yang memerintahkan sekretarisnya untuk menemani dua orang itu agar pada keesokan harinya semua urusan ke kantor Kementerian Dalam Negeri dan Peperangan itu dapat terlaksana dengan baik dan lancar. Setelah semua berjalan beres, Lai Pao dan Bu Tian Heng memberi hadiah uang tiga ons perak kepada sekretaris itu selain menjamunya makan untuk menyatakan terima kasih. Maka berangkatlah mereka pulang dengan hati ringan dan gembira.
Siang itu panas sekali, maklum pada pertengahan musim panas. Shi Men dan semua isterinya, kecuali isteri ke enam, mengadakan pesta makan dilayani oleh gadis-gadls pelayan mereka, sambil men- dengarkan musik yang dimainkan oleh gadis-gadis terlatih itu, di ruangan belakang yang terbuka, menghadap ke taman.
“Di manakah nyonya majikanmu?” tanya Goat Toanio kepada Ciu Hwa, pelayan Nyonya Peng, isteri Shi Men yang termuda.
“Ia merasa tidak enak badan, sakit dalam perutnya sehingga malas keluar dari kamar,” jawab Ciu Hwa.
“Ah, kurasa ia tidak begitu payah. Sebaiknya kalau menikmati makan minum di sini dan mendengarkan musik. Kau jemputlah majikanmu dan ajaklah ia ke sini untuk menghibur hati.”
“Ia kenapakah?” tanya Shi Men.
“Katanya sakit perut, akan tetapi kurasa sudah makan obat dan sebentar lagi tentu datang,” Jawab Goat Toanio, akan tetapi dengan perlahan ia berkata kepada Mong Yu Lok, madunya yang ke tiga,
“Kandungannya sudah delapan bulan lebih. Waktunya sudah dekat.” Degan kata-kata itu ia hendak menyatakan bahwa ketidak hadiran madunya termuda itu dapat dimaafkan.
“Kurasa masih terlalu pagi waktunya untuk melahirkan,” kata Kim Lian dengan suara tegas.
“Kalau begitu, suruh ia datang mendengarkan musik,” kata Shi Men. Tak lama kemudian muncullah Nyonya Peng diikuti oleh pelayannya.
“Tentu engkau masuk angin,” kata Goat Toanio. “Minum sedikit anggur panas akan menyembuhkanmu.” Para gadis pelayan lalu mulai memainkan alat musik mereka mengiringi nyanyian merdu seorang di antara mereka. Namun, belum habis satu lagu, Nyonya Peng mengeluh lirih dan tertatih-tatih kembali ke kamarnya.
“Wah, ia tentu akan melahirkan!” kata Goat Toanio. “Sudah kukatakan tadi, akan tetapi tentu saja Kim Lian lebih tahu! Dan kita belum memanggil seorang dukun beranak!” Shi Men mengutus seorang pelayan muda untuk cepat memanggil Bibi Cai, dukun beranak. Pesta dihentikan dan semua orang pergi ke pondok isteri ke enam itu.
“Bagaimana rasanya?” tanya Goat Toanio dengan lemah lembut.
“Semua isi perut seperti terbalik-balik, seolah-olah ada seekor kura-kura bergerak-gerak di dalam perutku.”
“Naikkanlah sedikit tubuh atasmu agar bayi itu dapat lebih mudah menemukan jalan keluarnya dan tidak tercekik.” “Eh, mana dukun beranaknya? Apakah sudah dipanggilkan? Aih, kenapa lambat amat? Hayo cepat suruh Siauw Thai untuk menyusulnya dan cepat-cepat membawa dukun beranak itu ke sini!” kata pula Goat Toanio. Kim Lian menarik tangan Mong Yu Lok keluar dari dalam kamar dan bersungut-sungut lirih,
“Huh, semua keributan ini! Dan kamar penuh sesak mencekik leher. Ribut-ribut tentang seorang bayi yang belum keluar, seolah-olah mereka menanti lahirnya seekor anak gajah!” Di dalam kamar itu semakin sibuk, suara bidan yang minta disediakan ini itu diseling perintah suara Goat Toanio dan pelayan-pelayan hilir mudik menyediakan segala keperluan yang dibutuhkan. Akhirnya terdengarlah tangis seorang bayi dan bibi Cai muncul di depan pintu, dengan bangga seolah-olah ia sendiri yang menciptakan anak itu, ia berkata,
“Telah lahir seorang anak laki-laki. Cepat beritahukan kepada majikan, dia sepantasnya mengeluarkan uang dengan royal untuk berita yang membahagiakan ini.”
Ketika menerima kabar Itu, Shi Men cepat berlutut dan bersembahyang untuk menghaturkan terima kasih kepada Langit dan Bumi, kepada arwah Nenek moyangnya, dan semua ikut bergembira menyambut kelahiran bayi laki-laki itu. Semua orang, kecuali Kim Lian. Ketika mendengar bahwa madunya itu melahirkan seorang anak laki-laki, diam-diam ia kembali ke dalam kamarnya mengunci pintu, menjatuhkan diri ke atas pembaringan dan menangis dengan sedih. Baru sekarang ini ia merasa terpukul, tak berdaya, dan kalah. Benarlah kata orang bahwa nasib selalu mempermainkan manusia, bahkan kadang-kadang seperti mencemoohkan. Kalau nasib baik sedang muncul, maka selalu yang datang yang baik-baik saja dan kesenangan datang bertumpuk-tumpuk.
Sebaliknya kalau nasib sial sedang melanda seseorang, agaknya kesusahan tidak mau datang sendirian, melainkan mengajak teman sehingga berbagai rnacam kesusahan datang bergadengan tangan melanda seseorang. Demikian pula agaknya dengan Shi Men. Berita baik yang amat menggembirakan dengan terlahirnya seorang putera pertama itu ditambah lagi dengan berita kesenangan lain, yaitu datangnya Lai Pao dan Bu Tian Heng yang baru kembali dari Kotaraja membawa pengangkatan pangkat untuk Shi Men! Tentu saja Shi Men menjadi girang bukan main. Kalau saja dia masih kecil, kegirangan itu dapat membuat dia berjingkrak dan bersorak. Sambil berlari kegirangan dia membawa semua pakaian kebesaran dan tanda pangkat itu ke dalam dan memperlihatkannya kepada para isterinya!