"Nah, aku pergi, Hwi-moi!" "Nanti dulu, koko."
Tiong LI menahan langkahnya dan membalik. "Ada apa lagi, Hwi-moi?"
Gadis itu menghampiri dan merangkul leher Tiong Li. "Engkau...... yang hati-hati menjaga dirimu, koko."
Tiong Li menunduk dan mencium dahi gadis itu. "Aku tahu, aku masih belum ingin berpisa h darimu, Hwi-moi. Rngkau juga berhati-hatilah. Menyingkirlah kalau ada orang mendekat tempat ini ."
Kemudian Tio ng Li berkelebat dan lenyap ditelan kegelapan malam.
Untung bagi mereka. Malam itu gelap sekali karena udara mendung dan angin bertiup mendatangkan hawa dingin. Karena udara buruk, maka jarang ada orang keluar dari rumahnya dan suasana di sekeliling tempat itu sunyi sekali. Akan tetapi penjagaan di rumah gedung Panglima Besar Wu Chu tetap ketat. Di depan pintu gerbang berkumpul belasan orang perajurit yang berjaga. Dan Tio ng Li sudah tahu bahwa di atas ge nteng terdapat alat-alat rahasia yang dapat memberi tahu kalau ada orang datang melalui atap.
Dia sudah melompati pagar tembok dan tiba di taman. Agaknya taman ini yang paling aman karena banyak pohon-pohon. Dia mengintai dari balik rumpun bunga yang tebal dan melihat dua orang peronda membawa lampu teng berjalan datang sambil bercakap-cakap. Tiong Li berpikir sejenak dan mengambil keputusan yang amat berani. Dia menanti sampai dua orang itu datang dekat. lalu tiba-tiba dia meloncat dan sekali kedua tangannya bergerak, dua orang itu sudah menjadi lumpuh tertotok dan lampu teng sudah berpindah ke tangannya! .
Dia memandangi kedua orang itu dengan lampu teng menyi nari wajah mereka. Orang yang tinggi besar Itu memandang dengan wajah ketakutan sedangkan yang kurus bahkan mendelik dengan marah. Dia lalu menotok lagi yang kurus sehingga roboh pi ngsan, mengikat kaki tangannya dengan sabuk orang itu sendiri, juga mulutnya ditutup kain, lalu menyeretnya ke balik semak belukar. Sedangkan yang tinggi besar itu dia to-tok urat gagunya sehingga tidak dapat bicara. dan dalam keadaan masih tertotok lemas itu, diancamnya orang itu sambil menodongkan golok di batang lehernya.
"Engkau ingin hidup?" gertaknya.
Orang tinggi besar itu mengangguk-angguk lemah. Hanya kaki tangannya saja yang tidak mampu digerakkan.
"Engkau tidak ingi n mampus?" kembali dia bertanya.
Orang itu menggeleng-gelengkan kepala dengan mata terbelalak penuh ketakutan.
"Baik, kalau begitu, aku minta engkau mengantarkan aku ketempat di mana Panglima Wu Chu berada. Sanggup?"
Orang itu memandang liar ke kanan kiri, nampak ketakutan dan agaknya sulit untuk mengambil keputusan.
"Hayo jawab, atau engkau ingin aku menyembelihmu sekarang juga!" Goloknya ditempelkan ke kulit leher. Orang itu cepat mengangguk-angguk, menyatakan sanggup.
Tiong Li lalu melucuti pakaian si kurus dan dipakainya pakaian itu. Dia menyamar sebagai seorang petugas ronda. Kemudian, dengan golok telanjang di tangan, dia membebaskan si tinggi besar yang ketakutan, akan tetapi orang tinggi besar itu biarpun sudah dapat menggerakkan kaki tangan, tetap saja dia tidak dapat mengeluarkan suara :
"Nah, sekarang bawa aku ke sana. Awas, sekali saja engkau melakukan gerakan yang tidak kukehendaki, golok ini akan memenggal lehermu!"
Kembali dia menempelkan golok di leher orang itu yang nampak menggigil saking takutnya. Tio ng Li merasa senang. Pilihannya tepat. Orang tinggi besar ini berhati kecil dan penakut sehi ngga dapat di harapkan akan menaati semua perintah nya.
"Bawa lampu teng ini dan berjalanlah di depan," bisiknya. "Bersikap biasa saja kalau bertemu penjaga lain se olah tidak terjadi sesuatu. Dan cepat bawa aku ke tempat di mana Wu Chu berada!" Dari belakang dia menodongkan goloknya ke punggung orang itu dan bergeraklah mereka meninggalkan taman.
Orang itu benar-benar ketakutan, mereka memasuki gedung itu dari pintu belakang dan empat orang penjaga yang meli hat dua orang peronda ini tidak menaruh perhatian. Apa lagi wajah Tio ng Li terhalang bayangan si tinggi besar yang membawa lampu di depannya, sehingga wajah Tio ng Li terlip uti kegelapan.
Setelah melalui jalan berlika liku, dari jauh orang itu menunjuk ke sebuah ruangan. Tio ng Li meli hat seorang laki-laki berusia limapuluhan tahun, tinggi besar dan mukanya brewok, seda ng bermain-main dengan seorang anak laki - laki.
"Itukah Wu Chu?" bisik Tiong Li dan 'tawanannya mengangguk.
"Antarkan aku ke kamar puteranya !" kata pula Tio ng
Li.
Orang Itu menunjuk ke depan, ke arah-anak yang
sedang bermai n-mai n dengan orang tinggi besar itu. "Kaumaksudkan anak itu puteranya?"
Orang itu mengangguk. "Engkau tindak berbohong?" tanya Tio ng Li yang merasa gembira.bukan main.
Sungguh baik sekali peruntungannya, sekaligus dapat menemukan Panglima Besar Wu Chu dan puteranya. Sebetulnya dia ingin menculik putera itu yang masih kecil dan yang di sayang untuk ditukar de ngan sang puteri dan Mestika Golok Naga. Akan tetapi sekarang keduanya berada di situ. Sungguh kebetulan yang menguntungkan sekali.
Orang itu menggeleng kepalanya. "Awas. engkau kutinggal dulu di sini dalam keadaa n tertotok, kalau engkau berbohong, aku akan kembali di sini untuk memenggal lehermu. Benar engkau tidak membohong?"
Orang itu kembali menggeleng kepala keras-keras dan Tiong Li segera merampas lampu teng sambil menotok orang itu sehi ngga roboh pi ngsan tanpa mengeluarkan suara karena dia sudah menahan tubuhnya.
Kemudian, sambil membawa lampu teng dia menghampiri ruangan yang terbuka itu. Orang tinggi besar yang sedang main-mai n dengan anak itu. ketika melihat seorang peronda menghampiri, segera memondong anak itu dan menghardik, "Mau apa engkau ke sini!"
"Maafkan saja, ciangkun. Ada seorang yang menanyakan di mana adanya Panglima Besar Wu Chu."
"Siapa orang yang bertanya tentang aku itu?" bentak sang panglima marah karena dia merasa terganggu dengan kemunculan peronda itu.
"Aku yang
menanyakannya!" kata Tiong Ll dan tiba-tiba dia meloncat ke depan, tangan kirinya menyambar tahu-tahu anak itu telah berada dalam cengkeraman tangan kirinya.
"Keparat! Kembalikan anakku!" teriak Wu Chu sambil menubruk untuk merampas anaknya. Akan tetapi, biarpun dia seorang panglima besar dan ahli dalam urusan peperangan, namun dalam hal ilmu silat, dia masih jauh kalau dibandingkan Tiong LI. Sambarannya luput dan sebaliknya, tiba-tiba golok di tangan Tiong Li sudah menodong dadanya.
"Sedikit saja bergerak, golok ini akan menembus jantungmu, ciangkun!" bentak Tio ng Li sementara itu anak kecil yang berada dalam po ndongan tangan kiri nya sudah menjerit-jerit menangis.
PangTima Besar Wu C hu tidak berani bergerak lagi akan tetapi dia sempat berteriak memanggil pengawal. Tak lama kemudian sedikitnya tigapuluh orang pengawal memenuhi tempat itu, akan tetapi mereka tidak berani bergerak ketika melihat panglima mereka di todong dan putera panglima mereka dipondong seorang pemuda yang berpakaian peronda. Di antara para pengawal itu terdapat lima orang anggauta Golok Naga, dan mereka segera mengenal pemuda itu yang mereka sudah rasakan kelihaiannya ketika mengepung dan mengeroyoknya.
"Semua mundur! Siapa berani bergerak berarti matinya panglima dan puteranya!" bentak Tiong Li dan para pengepung itu dengan sendirinya melangkah mundur. Ada pula yang berlari keluar memanggil bala bantuan sehingga sebentar saja tempat itu penuh dengan pasukan.
"Orang muda, apa sebenaknya yang kaukehendaki?" Panglima Wu C hu yang masih tenang itu bertanya.. Dia adalah seorang panglima besar, tidak mudah panik walaupun ditawannya puteranya membuat dia khawatir sekali.
"Tidak banyak," kata Tiong LI, "Nyawamu dan nyawa anakmu ini hendak kutukar dengan kebebasan puteri Sung Hia ng Bwee dan Mestika Golok Naga!"
"Akan tetapi "
"Jangan banyak cakap lagi. Kalau tidak setuju, aku akan membunuh puteramu dulu baru engkau!"
Para pasukan itu hendak menerjang maju, akan tetapi Panglima Wu C hu membentak mereka agar tidak bergerak. "Kalian jangan bergerak! Perwira Tong, cepat ambilkan sebuah golok naga!"
Yang disebut perwira Tong itu seorang yang pendek gendut segera maju dan menyerahkan sebatang golok yang berukir naga kepada Tio ng Li. "Apakah ini Mestika Golok Naga7" tanyanya kepada Wu Chu.
"Benar!"
Tiong Li mengambil golok itu, menekuk dengan kedua tangan sambil memodong anak itu dan golok itu patah menjadi dua potong!
"Kau bohong!" dia menghardik dan menodongkan senjatanya sehi ngga sedikit melukai kulit dada panglima itu. "Serahkan yang aselinya atau anakmu akan kusembelih!" Kini dia menempelkan goloknya ke leher anak itu yang menjerit-jerit ketakutan.
Panglima Wu Chu memandang dengan khawatir sekali. "Cepat ambilkan Mestika Golok Naga di kamarku, tergantung di dinding!" perintahnya dan perwira Tong itu segera berlari pergi. Tak lama kemudian dia telah kembali membawa sebatang golok dalam sarung.