“Aku diangkat menjadi Hakim Pembantu di daerah! Mulai sekarang aku telah menjadi seorang bangsawan tingkat lima! Dan engkau “ Dia menoleh kepada Goat Toanio,
“Mulai sekarang engkau boleh menghias rambutmu dengan bunga emas sebagai isteri bangsawan! Dua kebahagiaan datang dalam waktu berdekatan. Berkah berlimpah-limpah memenuhi rumah tangga kita! Dan ini semua dibawa oleh anakku yang baru lahir, maka kunamakan dia Kwan Ko Si Bangsawan Kecil!”
Tentu saja Shi Men merayakan kebahagiaan itu. Para tetangga dikirimi masakan bakmi panjang usia, dan berdatanglah para tetangga dan kenalan untuk memberi selamat kepada Shi Men, bukan saja memberi selamat atas kelahiran puteranya, melainkan juga memberi selamat atas pengangkatan Shi Men sebagai seorang bangsawan! Agaknya lengkaplah sudah kebahagiaan Shi Men. Betapa tidak? Harta bertumpuk, badan sehat kuat sehingga mampu menikmati segala macam kesenangan, dari makan enak, melihat tontanan, mendengarkan musik, menikmati keharuman taman bunga yang semerbak wangi, dikelilingi wanita-wanita muda yang cantik yang saling berebutan untuk melayani dan menyenangkan hatinya. Dan kini ditambah lagi dengan satu hal yang memang tadinya dirasakan masih kurang, yaitu, kedudukan, pangkat, kemulian dan kehormatan, nama besar! Akan tetapi, itukah yang dinamakan kebahagiaan? Tidak salah lagi, bahwa kesenanganlah semua itu, dan memang. kesenanganlah yang selalu dikejar oleh kita manusia di dunia ini. Akan tetapi, apakah kesenangan ada batasnya? Dan lebih meragukan lagi. Apakah kesenangan itu kekal? Biasanya yang dapat menikmati kesenangan hanyalah mereka yang belum memilikinya! Yang rnembayangkan nikmatnya punya harta banyak hanyalah mereka yang miskin. Yang membayangkan nikmatnya mempunyai kedudukan pangkat tinggi hanyalah mereka yang tidak berkedudukan. Yang membayangkan nikmatnya mempunyai isteri banyak hanyalah mereka yang belum beristeri dan sebagainya.
Bagaimana dengan mereka yang sudah memiliki apa yang dianggapnya sebagai sarana kesenangan sebelum dimilikinya itu? Jelas bahwa pertama kali memperolehnya, akan timbul perasaan puas dan senang, bahkan mungkin berbahagia. Akan tetapi, berapa lama kebahagiaan semacam ini mampu bertahan? Celaka, ternyata kesenangan itu berekor kebosanan dan kekecewaan, dan keinginan menjadi makin subur, semakin murka, semakin serakah. Segala yang sudah dicapai tangan akan kehilangan daya tariknya, dan mata ditujukan jauh ke depan, kepada hal-hal yang belum dimilikinya, yang dianggap jauh lebih menyenangkan daripada yang sudah dimilikinya semua itu! Dan kitapun hanyut dalam lingkaran setan dari kesenangan, kebosanan, kekecewaan dan kehausan akan hal-hal lain yang belum dimilikinya.
Sebulan telah lewat. Bulan lalu itu merupakan bulan yang teramat sibuk bagi keluarga Shi Men. Bapak Cou si ahli penjahit bersama tujuh orang pembantunya, setiap hari sibuk membuatkan pakaian kebesaran yang baru untuk pejabat baru itu. Kemudian, surat-surat pemberitahuan dan perkenalan harus dibuat, surat-surat pernyataan selamat diterima dan dibalas. Kemudian dipilihkan suatu hari baik oleh para peramal, untuk menentukan hari pembukaan atau permulaan dari tugas yang dipikul oleh Shi Men sebagai seorang hakim pembantu! Dengan segala kebesaran dan kebanggaan, hari itu Shi Men diumumkan menjadi seorang pejabat, seorang bangsawan.
Lalu disusul oleh pesta pora besar-besaran dan tak dilupakan sekutu atau gerombolah saudara angkat dari Shi Men yang dijamu dalam sebuah pesta yang meriah. Sembilan orang itu berpesta pora, ditemani oleh empat orang gadis panggilan, di antaranya terdapat Bi Hwa dan Gin Nio, dua orang langganan Shi Men sejak dulu. Hanya Kim Lian seorang yang tidak dapat merasakan kegembiraan dalam rumah tangga suaminya itu. Cintanya terhadap suaminya hanya berpamrih kesenangan dirinya sendiri. Betapapun mujur nasib suaminya, kalau ia sendiri tidak secara langsung menikmatinya, maka hal itu tidak disambutnya dengan gembira. Bahkan sebaliknya, ia senang duduk dengan wajah muram di depan cermin di dalam kamarnya. Percuma saja ia berdandan semoleknya, pikirnya.
Sejak kelahiran bayi itu, ia merasa betapa semakin jarang Shi Men mengunjunginya, semakin dingin terhadap semua kemolekannya. Suaminya itu tiada hentinya memuji-muji bayi itu dan ibunya, dan lebih suka tinggal di kamar isteri ke enam itu daripada di kamar isteri-isteri lainnya, termasuk ia sendiri. Dan hal ini amat mengesalkan hatinya. Selesailah sudah ia menata rambutnya. Sambil melepas kuap di balik angan karena kesal, iapun berjalan-jalan memasuki taman. Ketika ia lewat di dekat pondok Nyonya Peng, ia mendengar tangis bayi itu dan iapun melangkahkan kaki memasuki pondok. Bayi itu sedang diasuh oleh seorang pengasuh yang sengaja didatangkan untuk merawat anak itu. Pengasuh itu ditinggal suaminya yang menjadi tentara, seorang wanita berusia tiga puluh tahun yang berwajah lumayan dan berkulit bersih, bernama Yu I.
“Kenapa ia menangis demikian kerasnya?” tanya Kim Lian kepada Yu I. “Dia ingin ikut ibunya yang masih berada di rumah besar,” jawab pengasuh itu.
“La-la-la” Kim Lian mendekat dan menimang anak itu. “Masih begini kecil, baru saja terlahir sudah mengenal ibunya. Mari kuantarkan dia menyusul ibunya!”
“Nyonya, harap jangan bawa dia keluar. Dia takut kepada nyonya, dan dia akan mengotorkan nanti,” pengasuh itu memperingatkan.
“Diam kau cerewet!” Kim Lian menghardik.
“Aku akan memondongnya di atas bantal. Apa yang dapat dia lakukan untuk mengotori aku?” Kim Lian mengangkat anak itu dengan kasar, kadang-kadang mendekapnya di dadanya dan kadang-kadang mengayun-ayunnya dengan kasar.
“Lihat apa yang kubawa!” Ia berseru sambil tertawa kepada Goat Toanio yang sedang duduk santai di serambi depan. “Bocah ini mencari ibunya.” Dan sekali lagi ia mengayun dan mengangkat anak itu di atas kepalanya.
“Hai, Ngo-moi (adik ke lima), bagaimana engkau begitu sembarangan menimang anak itu? Dia akan menjadi ketakutan!” Goat Toanio menegur.
“Ibunya berada di dalam. Liok-moi (adik ke enam), keluarlah! Anakmu mencarimu!” ia berteriak ke dalam. Dengan terkejut, Nyonya Peng lari keluar.
“Ah, seharusnya engkau meninggalkan anakku dalam kamarku bersama pengasuh,” la menegur Kim Lian.
“Sama sekali tidak perlu mengajaknya ke sini. Nah, kulihat noda basah pada pakaianmu, rasakan sekarang!”
“Dia menangis mencarimu, aku menjadi tidak tega.” Kim Lian membela diri. Nyonya Peng mengambil anaknya, mendekap anaknya dengan aman ke dadanya dan mengajaknya kembali ke pondoknya.
''Bagaimana engkau berani menyerahkan anakku kepada nyonya ke lima!” ia memaki pengasuh itu.
“la memaksa anak itu dan mengambilnya dari saya dengan marah sehingga saya tidak berani menentangnya,” kata Yu I. Sementara itu, setelah menjadi seorang Ayah dan menjadi seorang pejabat pula, terjadilah perubahan besar dalam hidup Shi Men. Dua kali sehari dia pergi ke kantor, di mana dia mengadakan pertemuan dan perundingan dengan pejabat Hou yang menjadi rekannya, atau duduk di bangku bersamanya. Tugas pekerjaannya itu menyita banyak waktunya dan terasa olehnya amat melelahkan. Pendeknya, kini dia tidak ada waktu sama sekali untuk melanjutkan cara hidupnya seperti yang sudah-sudah, berkeliaran di kedai-kedai dan rumah-rumah pelesir.
Bahkan dia tidak mempunyai waktu lagi untuk bergerombol dan bersenang-senang bersama delapan orang kawan yang menjadi saudara angkatnya. Hanya Ying Po Kui dan Cia Si Ta saja dua di antara mereka yang sejak dahulu menjadi sahabat baik dan anak buahnya, yang masih suka datang berkunjung kepadanya. Sebagai seorang pejabat dan bangsawan, kini dia harus lebih menjaga martabat. Pada suatu hari, seorang utusan berkuda datang, menyerahkan sepucuk surat dari Kepala Perngawal Ti, yaitu kepala pengawal Istana Perdana Menteri. Isi surat itu mengingatkan Shi Men akan permohonannya yang pernah disarnpaikan lewat Lai Pao, yaitu agar Shi Men suka mencarikan seorang gadis muda untuk menjadi selirnya. Dan bersama surat itu dia mengirimkan uang sepuluh ons emas sebagai biaya mencarikan gadis itu.
“Aih, bagaimana aku sampai dapat melupakan urusan ini!” kata Shi Men di depan Goat Toanio.
“Kita harus cepat menyuruh Bibi Hong dan Bibi Pi untuk mencarikan gadis yang cocok bagi Ti-Ciangkun (Perwira Ti)!” Dua orang mak comblang itu dipanggil dan diberi tugas mencarikan seorang gadis yang cantik dan pandai, dan pada suatu hari, ketika dia sedang menunggang kuda pulang dari kantornya, Shi Men melihat Bibi Hong. Dia cepat menyuruh Siauw Thai yang selalu mengikutinya untuk memanggil Bibi Hong.
“Bagaimana, Bibi Hong? Sudahkah engkau mendapatkan gadis yang dicari itu?” Nenek itu tersenyum menyeringai.
“Susah payah saya mencari di seluruh kota tanpa hasil. Akhirnya, secara kebetulan sekali, saya menemukan seorang gadis yang cantik jelita dan manis sekali, dan usianya belum cukup lima belas tahun. Setangkai kuncup bunga yang sedang mulai mekar dengan Indah dan harumnya. Wajahnya cantik jelita, tubuhnya mungil dan ramping. Kakinya kecil, kulitnya halus mulus dan putih bersih. Mulutnya ah, gadis bernama Mei Li itu memang pilihan Kongcu (Tuan muda) eh, maaf Taijin (orang besar) sendiri akan jatuh cinta sekali melihatnya.” Shi Men tertawa.
“Jangan berolok. Sekali ini, gadis itu bukan untuk aku. Puteri siapakah ia?”
“Puteri siapa? Taijin tidak perlu melihat jauh. la adalah anak dari pengurus toko Taijin sendiri, yaitu Han Tao Kok, dengan lsterinya yang pertama. Kalau Taijin menghendaki, saya akan berunding dengan Ayahnya dan menentukan suatu hari agar Taijin dapat melihatnya sendiri.”
“Baiklah, rundingkan dengan dia, dan jangan lupa catat hari dan tanda-tanda kelahiran anak itu.” Dua hari kemudian Bibi Hong datang mengunjungi Shi Men sambil membawa catatan tentang kelahiran Mei Li. Dari catatan itu tahulah Shi Men bahwa Mei Li benar puteri Han Tao Kok, berusia lima belas tahun, dan terlahir pada tanggal lima bulan lima.