Si Teratai Emas Chapter 18

NIC

“Suhu sekalian,” Nenek Wang berkata kepada mereka dengan heran. “Semua barang telah terbakar habis menjadi abu, upacara telah selesai, akan tetapi mengapa suhu sekalian masih saja membunyikan kelenengan dan memukul tambur itu?”

“Biarlah, sekali lagi saja” jawab mereka. Mendengar ini, Shi Men mengerti bahwa ulahnya bersama Kim Lian di dalam kamar tadi diketahui orang. Dia lalu memberi sejumlah uang kepada para Hwesio dan minta agar mereka itu segera pulang ke kuil mereka. Para Hwesio minta kepada Nenek Wang agar nyonya rumah suka keluar untuk menerima ucapan terima kasih mereka. Namun, Kim Lian yang tadi juga mendengar sindiran mereka, tidak, berani keluar akhirnya para Hwesio itu dapat dibujuk oleh Nenek Wang untuk pergi. Pada keesokan harinya, Kim Lian mengunjungi Nenek Wang untuk berpamit, dan ia menitipkan Bu Ying kepada Nenek Wang agar dipelihara dan anak itu dapat pula membantu Nenek Wang. Di situ telah hadir Shi Men yang bermaksud memboyong kekasihnya ke rumahnya.

“Bagaimana kalau sampai Bu Siong tahu bahwa bekas iparnya telah menjadi isteriku?” kata Shi Men khawatir.

“Ah, serahkan saja kepada saya, Kongcu. Biarlah saya yang akan menghadapinya kalau dia datang ke sini,” jawab Nenek Wang yang membuat hati kedua kekasih itu menjadi tenang.

Tentu saja Shi Men tidak lupa untuk memberi hadiah uang secukupnya kepada Nenek yang sudah banyak berjasa dalam hubungannya dengan kim Lian itu. Pada keesokan harinya, tanggal delapan bulan delapan yang dipilih sebagai hari baik setelah diperhitungkannya dengan teliti, Shi Men menyambut pengantinnya dengan joli. Janda Wang, Siauw Thai si kacung, dan empat orang pembawa lentera seperti lajimnya pengantin wanita yang diboyong ke rumah pengantin pria, mengawal joli yang dipikul empat orang itu, di mana Kim Lian duduk sebagai pengantin dengan hati yang amat gembira. Akhirnya berhasillah apa yang diinginkan dan diidamkannya selama ini, menjadi seorang isteri Shi Men dan tinggal di rumah gedung kekasihnya itu.

Tentu saja, para tetangga yang tinggal di Jalan Batu Ungu dapat menduga apa yang sebenarnya telah terjadi dengan Kim Lian dan Bu Toa dan Shi Men, namun karena mereka semua merasa segan terhadap Shi Men, merekapun tidak mau mencampuri urusan yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan mereka itu. Banyak tetangga yang diam-diam mencibirkan Bibir mereka. Mereka maklum bahwa sebelum Bu Toa meninggal, Kim Lian telah berjina dengan Shi Men. Dan kini, biarpun nampaknya dijemput seperti seorang mempelai, namun tak seorangpun keluarga Kim Lian yang mengantar, kecuali Nenek Wang, seorang perantara atau calo manusia. Ini tiada bedanya dengan pelacuran! Shi Men sudah mempersiapkan segalanya untuk menyambut isteri barunya. Untuk Kim Lian, dia sudah menyediakan sebuah bangunan mungil yang berloteng di sudut yang sunyi dah indah dari tamannya yang luas.

Bangunan kecil mungil itu diperbaiki, dicat baru, diisi dengan perabot-perabot baru yang serba menyenangkan. Terutama sekali kamar tidurnya. Sebuah tempat tidur yang besar dan baru berdiri di kamar ini, dengan kelambu sutera merah yang disulam indah, tiang kelambunya diukir dengan cat emas, dan di depan tempat tidur itบ terdapat meja ukiran yang indah pula dengan kursi-kursi yang dihias beludru. Inilah tempat yang disediakan untuk Kim Lian. Goat Toanio, isteri pertama Shi Men mempunyai dua orang dayang, yaitu pelayan wanita yang masih muda remaja. Dua orang perawan ini manis-manis dan namanya adalah Cun Bwe dan Siauw Giok. Mereka adalah pelayan-pelayan pribadi Goat Toanio. Oleh Shi Men, Cun Bwe dimintai untuk diangkat sebagai pelayan dari Kim Lian.

Cun Bwe harus melayani segala. keperluan Kim Lian dan menyebut Toanio (nyonya besar). Shi Men juga membeli seorang budak perempuan untuk bekerja di dapur dan budak ini bernama Ling Siok kemudian seorang budak perempuan lain untuk Goat Toanio sebagai pengganti Cun Bwe yang bernama Siauw Si. Setelah kini Kim Lian menjadi anggauta keluarga, wanita ini menjadi isteri ke lima. Urutannya adalah, isteri pertama Goat Toanio, ke dua Li Kiao, ke tiga Mong Yu Lok, ke empat Sun Siu Oh, dan ke lima Pang Kim Lian. Pada hari pertama Kim Lian memasuki rumah tangga Shi Men, dengan pakaian baru dan rambut digelung secara rapi, Kim Lian menghadap Goat Toanio untuk memperkenalkan diri kepada semua anggauta keluarga yang sudah berkumpul di ruangan besar rumah gedung itu.

Goat Toanio yang duduk di kursi kehormatan, memandang madunya yang baru penuh selidik dan diam- diam mengagumi kecantikan Kim Lian yang penuh gairah itu. Kim Lian menjatuhkan diri berlutut di dekat kaki Goat Toanio, memberi soja empat kali, dan dihadiahi sendal sebagai ucapan selamat datang yang sudah merupakan kelajiman. Setelah memberi hormat kepada Goat Toanio, lalu ia memberi hormat kepada para madunya yang lain sesuai dengan nomor kedudukan mereka, yaitu Li Kiao, Mang Yu Lok, dan Sun Siu Oh. Setelah memberi hormat kepada empat orang madunya, Kim Lian lalu melangkah minggir, Goat Toanio menyuruh pelayan mengambilkan kursi untuk Kim Lian dan memberi tahu kepada para pelayan untuk menyebut Kim Lian sebagai Nyonya Ke Lima.

Tanpa menoleh, hanya mempergunakan lirikan matanya yang tajam, dari tempat duduknya Kim Lian mengamati empat orang madunya itu. Pertama-tama, la memperhatikan Goat Toanio yang ia tafsir berusia kurang lebih dua puluh tujuh tahun. Wajahnya halus dan putih bersih, matanya bundar dan bening, gerakannya lembut dan lemas, sikapnya anggun dan tutur sapanya sopan. Yang ke dua adalah Li Kiao bekas penyanyi dari rumah pelesiran, tubuhnya agak mohtok dan wajahnya cantik, mungkin bekas pelacur kelas tinggi, namun dibandingkan dengan Kim Lian, masih kalah jauh dalam soal asmara. Isteri ke tiga, Mong Yu Lok berusia tiga puluh tahun, tubuhnya ramping dan penuh gairah, wajahnya berbentuk bulat seperti semangka, dan di sana sini terdapat tahi lalat kecil yang menambah kemanisan wajahnya, kedua kakinya sekecil kaki Kim Lian. Kemudian yang ke empat, Sun Siu Oh, si bekas pelayan.

Tubuhnya leblih ramping daripada isteri ke tiga, agak pendek, akan tetapi ia seorang ahli masak dan pandai pula menari. Diam-diam Kim Lian memperhatikan dan mencatat semua tanda-tanda tentang keadaan dan watak mereka. Semenjak tinggal di situ, Kim Lian membiasakan diri untuk bangun pagi-pagi sekali dan pergi menghadap Goat Toanio, mengoper semua pekerjaan menjahit dan lain-lain. Kim Lian sangat penuh perhatian dan selalu sibuk mengerjakan urusan rumah tangga tanpa diperintah lagi oleh Goat Toanio. Cekatan, cepat dan hasil pekerjaannya selalu mengagumkan. Juga ia selalu bersikap penuh hormat kepada isteri pertama itu sehingga dengan mudah ia dapat merebut rasa sayang dari madunya yang nomor satu. Hal ini tentu saja tidak begitu menyenangkan hati isteri-isteri yang lain dan diam-diam mereka bertiga sering membicarakan Kim Lian dengan hati penuh iri.

“Ia datang belakangan akan tetapi selalu diterima dengan manis budi oleh Goat Toanio. Sungguh bikin kita penasaran!” Semenjak Kim Lian menjadi isterinya yang ke lima, mendadak saja Shi Men kini betah tinggal di rumah. Tentu saja setiap malam tidur di kamar Kim Lian dan hal ini tentu saja menambah rasa cemburu dan iri di hati tiga isteri muda yang lain.

Bu Siong tiba di kota Ceng-Ho-Sian. Segera dia menghadap Kepala Daerah untuk melaporkan tugasnya yang telah dilaksanakan dengan baik dan menyerahkan surat balasan dari Komandan Istana Cu. Kepala Daerah merasa girang sekali dan memberi hadiah kepadanya. Setelah selesai menghadap Kepala Daerah, Bu Siong segera menuju ke markasnya, berganti pakaian dan bergegas pergi mengunjungi rumah Kakaknya. Rumah itu tertutup dan diam-diam Bu Siong merasa girang. Kakaknya itu agaknya, mentaati pesan dan nasihatnya.

“Toako...” Dia berteriak memanggil sambil mengetuk pintu. Tidak ada jawaban. “So-so (Kakak Ipar)...” Ia memanggil dan mengetuk pintu. Tiada jawaban walaupun dia sudah memanggil berulang kali sambil mengetuk daun pintu semakin keras. Pada saat itu, Nenek Wang kebetulan melihatnya. Nenek ini menekan perasaan takutnya dan cepat menghampiri.

“Bibi, di manakah Kakakku dan di mana pula Kakak iparku?” tanya Bu Siong.

“Duduklah dulu, aku akan menceritakan segala sesuatunya dengan jelas,” kata Nenek itu. “Tidak perlu duduk, kalau ada persoalan ceritakanlah saja, Bibi.”

“Kakakmu Bu Toa telah terserang penyakit berat dalam bulan empat, tidak lama setelah engkau berangkat dan dia meninggal karena penyakitnya itu.” Tentu saja Bu Siong merasa terkejut bukan main mendengar akan kematian Kakaknya itu. Dia menuntut keterangan dari Nenek Wang kapan meninggalnya Kakaknya itu, dan apa penyakitnya, diberi obat apa pula. Dengan cepat otak tua yang cerdik itu sudah merangkai karangan yang sesuai.

“Pada tanggal dua puluh bulan empat, dia terserang penyakit perut yang parah. Dia rebah sakit tak dapat turun dari pembaringan selama delapan atau sembilan hari. Dia telah minum bermacam obat, namun segala usaha untuk menyembuhkannya sia-sia belaka. Akhirnya dia meninggal, kasihan sekali Bu Toa.”

“Bagaimana dia sampai terkena penyakit perut ini? Sebelumnya, tidak pernah dia menderita sakit perut. Aku tidak mengerti.”

“Ciangkun (sebutan perwira), sekarang pertanyaanmu terlalu sukar bagiku untuk menjawab. Nasib yang ditentukan oleh Tuhan tak mungkin dapat dimengerti manusia.”

“Dan di mana adanya Kakak iparku?”

“Nona Kim Lian? Ah, ia hanya seorang wanita lemah yang tiba-tiba kehilangan tempat ia bersandar, maka, setelah berkabung selama seratus hari, ia mentaati nasihat Ibunya. la menikah lagi dengan seorang laki-laki terhormat dari Kotaraja. la membawa semua miliknya, kecuali perawan cilik itu yang ia serahkan kepadaku untuk dipelihara. Aku hanya menanti kedatanganmu Ciangkun untuk menyerahkan anak itu kepadamu dan dengan demikian selesailah sudah tugasku.”

Bu Siong menarik napas panjang, hatinya penuh duka. Dia meninggalkan wanita tua itu tanpa sepatah katapun, dan kembali ke markasnya. Dia mengenakan pakaian terburuk, membeli pula kain putih untuk dibuat menjadi pakaian berkabung, kemudian menyuruh anak buahnya membeli alat-alat untuk sembahyang seperti buah-buahan, manis-manisan, dupa lidi, gambar-gambar dan uang-uangan kertas. Kemudiaภ dia membawa semua perabot sembahyang ini ke rumah Kakaknya. Di rumah itu dia mengatur sebuah meja sembahyang, dan melakukan upacara berkabung. Pada malam harinya, dia bersembahyang dengan penuh kekhusukan, kemudian mengucapkan kata-kata yang ditujukan kepada arwah Kakaknya,

“Toako, jiwamu tentu tak jauh dari sini. Di dalam hidupmu, engkau lemah dan selalu mengalah. Aku masih belum mengerti bagaimana engkau sampai meninggal dunia. Adakah suatu penasaran yang kau derita?” Bu Siong menghidangkan minuman, membakar gambar-gambar dan uang kertas, lalu dia berlutut dan menangis. Sampai tengah malam, Bu Siong masih berada di situ, gelisah tak dapat tidur walaupun tubuhnya terasa lelah. Dia lalu bangkit duduk.

“Toako begitu lemah dan mengalah ketika masih hidup, aku curiga bahwa kematiannya tidaklah wajar” Matahari mulai membakar langit di ufuk timur, Bu Siong mandi dan membersihkan mulut, kemudian keluar. Mulailah dia bertanya-tanya dan melakukan penyelidikan kepada para tetangga Kakaknya. Dia ingin menyelidiki sebab kematian Kakaknya dan dengan siapa Kakak iparnya menikah lagi. Para tetangga tahu akan persoalannya, namun mereka semua takut kepada Shi Men, maka mereka lebih suka menutup mulut sehingga gagalah usaha Bu Siong untuk memperoleh keterangan yang sebenarnya.

“Tanyalah saja kepada, Nenek Wang, atau tanya kepada pedagang buah A Goan, atau kepada pejabat pemeriksa kematian, Hu Kiu. Mereka itu akan dapat menceritakan segalanya kepadamu, Bu-Ciangkun.” kata mereka semua. Mendengar ini, makin besar perasaan curiga mengaduk hati Bu Siong. Tentu ada suatu rahasia karena kalau tidak, para tetangga itu tidak akan bersikap seperti itu. Pergilah dia mencari si kecil A Goan penjual buah dan tidak sukar mencari anak yang bengal ini.

“Selamat siang, adik A Goan.” Bu Siong memberi salam. Senang hati A Goan disapa begitu hormat dan ramahnya oleh si pembunuh harimau yang terkenal ini. “Ciangkun, sayang engkau datang agak terlambat.” Anak ini segera dapat menduga mengapa pendekar itu mencarinya.

Posting Komentar