Dia sama sekali tidak akan menyesal kalau dia dibunuh wanita yang dicintanya ini, ha-nya dia akan merasa menyesal karena perbuatan itu merupakan suatu perbuatan yang berdosa bagi Eng Eng.
Dia tidak ingin melihat kekasihnya ini menjadi seorang yang jahat.
"Eng-moi, setelah engkau membebas-kan aku, aku lalu cepat pulang ke kota raja.
Akan tetapi, setelah tiba di sana, aku mendengar bahwa Panglima Ciong memimpin pasukan untuk menyerbu Pao-beng-pai.
Aku terkejut dan cepat aku kembali lagi ke sana untuk menyusul pasukan itu karena aku mengkhawatirkan keselamatanmu dan keselamatan ibumu.
Namun aku terlambat.
Setelah tiba di Ban-kwi-kok, pasukan telah menyerbu ke perkampungan Paobeng-pai...." "Tanpa penunjuk jalan, tidak mungkin pasukan akan mudah memasuki daerah Pao-beng-pai yang dipasangi banyak je-bakan rahasia!" Eng Eng memotong dan kini sepasang matanya mengamati wajah pemuda itu penuh selidik dan hatinya menuduh bahwa tentu pemuda itu yang menjadi penunjuk jalan.
"Dugaanmu memang benar, Eng-moi.
Hal ini pun kuketahui kemudian dari para perwira yang memimpin penyerbuan itu.
Ada memang penunjuk jalan yang memungkinkan pasukan itu dapat menyerbu dengan mudah...." "Engkaulah penunjuk jalan itu!" bentak Eng Eng.
Cia Sun tersenyum dan menggeleng kepalanya.
"Bukan, Eng-moi, bukan aku.
Penunjuk jalan itu adalah seorang gadis, murid Pao-beng-pai sendiri, bernama Tio Sui Lan...." "Bohong tidak mungkin....!" teriak Eng Eng, akan tetapi teriakan mulutnya ini tidak sesuai dengan perasaan hatinya yang menjadi bimbang.
Setelah apa yang dilakukan Siangkoan Kok kepada Sui Lan, memaksanya menjadi isteri dan memper-kosanya, bukan hal yang tidak mungkin kalau Sui Lan lalu berkhianat.
Dan pula, Sui Lan tentu saja mengenal semua jalan rahasia naik ke sarang Pao-beng-pai, sedangkan Cia Sun tidak akan menge-tahui banyak tentang jebakan-jebakan itu.
Kalau Sui Lan yang menjadi penunjuk jalan, tentu saja pasukan itu akan me-nyerbu naik dengan mudah.
"Terserah kepadamu, Eng-moi, untuk percaya atau tidak.
Aku hanya men-dengar keterangan para perwira.
Ketika pasukan tiba di kaki bukit dan mulai mendaki, tiba-tiba muncul gadis itu yang kemudian menawarkan diri menjadi pe-nunjuk jalan.
Ketika pasukan menyerbu, Siangkoan Kok sedang berkelahi dengan isterinya dan ibumu sudah terdesak.
Ga-dis yang mengkhianati gurunya itu lalu menyerang Siangkoan Kok, akan tetapi dengan mudah ia roboh dan tewas di tangan gurunya sendiri!" "Tapi ibuku....! Tentu ia terbunuh oleh pasukan pemerintah!" kata Eng Eng, mulai tertarik karena apa yang dicerita-kan Cia Sun itu agaknya memang masukakal.
Ia sudah melihat mayat Sui Lan dan luka yang mengakibatkan kematian-nya memang luka beracun yang dikenal-nya sebagai racun dari pedang Siangkoan Kok! Dengan sikap tenang Cia Sun meng-geleng kepala, kini senyumnya meng-hilang dan dia mengerutkan alisnya, me-ngenang kembali peristiwa menyedihkan itu.
"Sudah kuceritakan tadi, ketika pa-sukan menyerbu, aku cepat ikut di baris-an depan karena aku ingin mencegah agar engkau dan ibumu tidak sampai ikut diserang.
Ketika kami tiba di sana, kami melihat ibumu berkelahi dengan ayahmu dan ibumu roboh tertendang ayahmu.
Aku cepat mencegah ketika pasukan hendak menyerang ibumu yang sudah roboh, dan memerintahkan mereka mengejar ayahmu yang melarikan diri.
Aku lalu memondong tubuh ibumu yang pingsan dan ternyata ia telah menderita luka-luka parah, tentu ketika berkelahi melawan ayahmu." Cia Sun berhenti sebentar untuk mengamati wajah Eng Eng dan melihat bagaimana tanggapan dan sikap gadis itu terhadap ceritanya.
"Terus, lalu bagaimang" "Eng Eng mu-lai tertarik dan pada saat seperti itu, ia lupa akan kemarahan dan kebenciannya terhadap Cia Sun.
"Kubawa ibumu ke dalam rumah dan kurebahkan di bangku panjang.
Kucoba untuk merawatnya, akan tetapi sia-sia.
Ibumu hanya siuman untuk bicara sedikit kepadaku, meninggalkan pesan-pesan dan akhirnya ia meninggal dunia dalam rang-kulanku." "Ibuku...., bagaimana aku dapat mem-percayaimu" Engkau berbohong.
Ketika engkau merayuku, engkau hanya pura-pura...." "Tidak, Eng-moi.
Langit dan Bumi menjadi saksi bahwa aku sungguh men-cintamu, sejak pertama kali kita ber-temu, sampai sekarang...." "Bohong! Pendusta!" Eng Eng marah kembali karena ia teringat akan per-cakapan antara pemuda ini dan orang tuanya, tentang pengakuan Cia Sun ke-pada ayah ibunya bahwa pemuda itu te-lah mencinta seorang gadis lain.
"Eng-moi, kenapa engkau tidak per-caya kepadaku dan menuduhku berbo-hong?" Cia Sun bertanya dan dia merasa kepalanya pening sekali, bumi seperti berputaran.
Itu adalah akibat racun dari jarum Eng Eng, juga karena dia meng-alami tamparan-tamparan malam tadi.
Namun, dia mempertahankan diri agar tidak jatuh pingsan lagi.
Dia memandang gadis itu dengan sinar mata penuh per-mohonan.
Eng Eng melompat berdiri dan ber-tolak pinggang, memandang kepada pa-ngeran itu dengan sinar mata membakar.
Makin diingat tentang percakapan keluar-ga pangeran itu, semakin panaslah hati-nya.
"Bagaimana aku dapat percaya omong-an perayu busuk macam engkau" Engkau- telah mencinta seorang gadis lain dan masih engkau berani mengatakan bahwa engkau mencintaku?" Biarpun kepalanya sudah pening sekali, akan tetapi mendengar ucapan itu, Cia Sun membelalakkan matanya dan berkata de-ngan suara mengandung penasaran.
"Sekali ini, engkau yang berbohong, Eng-moi! Aku tidak pernah dan tidak akan mencinta gadis lain kecuali engkau seorang!" "Pendusta besar! Kedua telingaku sendiri mendengar pengakuanmu kepada ayah ibumu bahwa engkau men-cinta gadis lain yang bernama Sim Hui Eng! Hayo sangkal kalau engkau berani! Kuhancurkan mulutmu kalau engkau ber-dusta!" Cia Sun mencoba untuk tersenyum,akan tetapi karena rasa nyeri berdenyut--denyut di kepalanya,membuat kepala seperti akan pecah rasanya, senyumnya menjadi pahit sekali.
"Aku tidak berdus-ta, Eng-moi.
Memang benarlah, aku men-cinta Sim Hui Eng, sejak pertama kali jumpa sampai sekarang dan aku akan tetap mencintanya karena Sim Hui Eng adalah engkau sendiri, Eng-moi....
ahhh...." Cia Sun tidak dapat menahan lagi rasa nyeri di dada dan kepalanya.
Dia pingsan lagi.
Dia tidak tahu betapa Eng Eng me-mandang kepadanya dengan mata terbe-lalak dan muka pucat.
Sampai lama Eng Eng mengamati wajah Cia Sun, pandang matanya meragu.
Ia bernama Sim Hui Eng" Apa pula artinya ini" Benarkah semua yang diceritakan Cia Sun" Ia ha-rus tahu apa artinya semua itu.
Cia Sun mengaku kepada orang tuanya bahwa dia hanya mencinta gadis yang bernama Sim Hui Eng, dan kini dia menjelaskan bahwa Sim Hui Eng adalah ia sendiri! Bagai-mana pula ini" Namanya seperti dikenal Cia Sun adalah Siangkoan Eng, kemudian karena ibunya membuka rahasia bahwa ia bukan puteri kandung Siangkoan Kok, ia pun tidak sudi lagi memakai nama ke-luarga Siangkoan, lebih memilih marga ibunya, yaitu Lauw.
Dan kini, tiba-tiba saja Pangeran Cia Sun mengatakan bah-wa ia she Sim, dan nama lengkapnya Hui Eng! Jangan-jangan pangeran ini tidak berbohong dan sudah mengenal ayah kan-dungnya.
Ayah kandungnya! Ibunya amat membenci ayah kandungnya.
Benarkah ayah kandungnya she Sim" Benarkah semua cerita Cia Sun" Sayang bahwa pemuda ini keburu jatuh pingsan sehingga tidak dapat melanjutkan keterangannya.
Eng Eng berlutut di dekat tubuh Cia Sun.
Hatinya sempat berdegup ketika ia berada begitu dekat dengan pangeran itu, dan keharuan mulai menggigit perasaan-nya ketika ia melihat wajah yang tam-pan itu bengkak-bengkak.
Ia cepat me-ngeluarkan sebutir pil, lalu menggunakan bekal air minumnya untuk memasukkan pil itu ke dalam mulut Cia Sun yang di-bukanya dengan penekanan kepada ra-hang pemuda itu.
Pil itu sukar ditelan maka terpaksa ia mendekatkan mulutnya dan meniup ke dalam mulut pemuda itu sehingga pil itu dapat tertelan karena ia telah menotok beberapa jalan darah, membuat pemuda itu hanya setengah pingsan.
Kemudian ia mengurut sana-sini, mengobati luka-luka memar itu dengan semacam obat gosok yang selalu dibawanya sebagai bekal.
Kemudian, ia menempelkan tangan kirinya ke dada pemuda itu, menyalurkan sin-kang untuk membantu pemuda itu terbebas dari luka sebelah dalam tubuhnya.
Akhirnya Cia Sun membuka matanya dan dia tersenyum melihat gadis itu ber-simpuh di dekatnya dan menempelkan telapak tangan ke dadanya.
Terasa be-tapa lembutnya telapak tangan yang mengeluarkan hawa panas itu.
"Ah, Eng-moi, engkau masih mau mengobati dan menolongku" Terima ka-sih...." katanya lembut dan wajah yang kini hanya tinggal membiru karena beng-kaknya sudah hilang itu tersenyum! Se-nyum itulah yang menikam jantung Eng Eng.
Kalau pangeran itu marah-marah dan memaki-makinya, kiranya tidak akan sesakit itu hatinya.
Sejak ditangkapnya tadi, sampai disiksanya, pangeran itu tidak pernah marah, bahkan selalu ber-bicara lembut, pandang matanya penuh kasih dan mulutnya tersenyum.
"Aku mengobatimu hanya agar engkau tidak mampus sekarang," katanya, suara-nya diketusketuskan.
"Hayo katakan, apa maksudmu dengan kata-katamu tadi bah-wa aku bernama Sim Hui Eng! Jangan mempermainkan aku kalau kau tidak ingin kusiksa lebih berat lagi!" "Sejak tadi aku tidak pernah mem-permainkanmu, tidak pernah berdusta, Eng-moi.
Engkau yang kurang sabar men-dengarkan keteranganku.
Nah, sekarang kulanjutkan ceritaku tadi.
Sebelum ibu-mu meninggal dunia dalam rangkulanku, ia menceritakan suatu rahasia yang amat mengejutkan hatiku, juga tentu akan mengejutkan hatimu dan mungkin engkau semakin tidak percaya kepadaku.
Nah, sudah siapkah engkau mendengarkan ceri-taku tentang pengakuan ibumu?" Eng Eng merasa betapa jantungnya berdebar penuh ketegangan.
Kini ia ham-pir yakin bahwa pangeran ini tidak per-nah berbohong kepadanya! Tidak pernah berbohong dan ia sudah menculiknya, menyiksanya dan bahkan nyaris mem-bunuhnya.
Kemungkinan ini membuat darahnya berdesir meninggalkan mukanya, membuat wajahnya menjadi pucat sekali.
"Ceritakan semua!" perintahnya.
"Rahasia yang dibuka bibi Lauw Cu Si ini seluruhnya mengenai dirimu, Eng--moi.
Pertamatama, engkau bukanlah anak kandung Siangkoan Kok ketua Pao-beng-pai!" Cia Sun mengira bahwa gadis itu akan terkejut sekali mendengar ini.
Akan tetapi dia kecelik.
Gadis itu se-dikit pun tidak kelihatan kaget atau heran, bahkan mulutnya seperti memben-tuk senyum mengejek.
"Aku sudah tahu.
Dia adalah ayah tiriku." katanya pendek.
Cia Sun menggeleng kepalanya.
"Bu-kan, Eng-moi.
Sama sekali bukan ayah tirimu.
Dia bukan apa-apamu." 212 Eng Eng terbelalak.