Si Tangan Sakti Chapter 66

NIC

Kalau tidak, aku akan membunuhmu di sini juga tanpa banyak cakap lagi." Cia Sun bergidik.

Dia tidak takut mati.

Biarpun dia seorang pangeran, na-mun dia berjiwa pendekar dan kematian bukan sesuatu yang menakutkan baginya.

Yang membuat dia merasa ngeri adalah sikap dan suara gadis yang dicintanya itu.

Segitu tidak wajar, begitu dingin dan penuh ancaman maut! Dia dapat men-duga bahwa gadis itu tentu sedang di-bakar api dendam dan kebencian.

"Baiklah, Eng-moi.

Bebaskan totokan-mu dan hentikan kenyerian ini agar tidak ada orang curiga.

Aku akan mencari dua ekor kuda untuk kita." "Jangan mengira engkau akan dapat lari dariku, sebelum kau lari, aku akan membunuhnya!" kata Eng Eng, kemudian dia memberi sebuah pil merah untuk ditelan oleh Cia Sun setelah ia mem-bebaskan totokannya.

Setelah menelan pil itu, Cia Sun tidak begitu menderita lagi.

Kebetulan ada serombongan penjaga keamanan kota terdiri dari enam orang menunggang kuda datang dari depan.

Cia Sun cepat memberi isyarat kepada rom-bongan berkuda.

Ketika mereka telah dekat dan melihat siapa yang menahan mereka, enam orang itu terkejut, turun dari atas kuda dan memberi hormat ke-pada Pangeran Cia Sun.

"Kami membutuhkan dua ekor kuda, berikan dua ekor yang terbaik," kata pangeran itu.

Enam orang itu tergopoh memilihkan dua ekor kuda dan Cia Sun segera mengajak Eng Eng untuk menung-gang kuda dan segera melarikan kuda ke pintu gerbang selatan seperti dikehendaki Eng Eng.

Sejam kemudian, kota raja geger karena Pangeran Cia Yan minta bantuan pasukan keamanan untuk menangkap pen-culik yang melarikan Pangeran Cia Sun.

Terjadilah geger dan kekacauan, apalagi ketika ada perajurit yang melapor bahwa Pangeran Cia Sun tidak diculik, melain-kan pergi dengan suka rela bersama se-orang yang berpakaian hitam, bahkan pangeran itu sendiri yang minta dua ekor kuda kepada rombongan perajurit dan menunggang kuda keluar dari pintu ger-bang selatan.

Tentu saja berita ini mem-buat para perwira yang memimpin pe-ngejaran itu menjadi bingung dan ragu.

Bagaimana kalau Pangeran Cia Sun tidak diculik melainkan pergi dengan suka re-la" Tentu pangeran itu akan marah ka-lau pasukan melakukan pengejaran.

Kare-na kebingungan inilah maka pengejaran dilakukan setengah hati, dan andaikata mereka dapat bertemu Pangeran Cia Sun, tentu mereka tidak akan berani lancang menangkap gadis berpakaian hitam se-perti diperintahkan Pangeran Cia Yan.

Mereka tentu akan melihat bagaimana sikap Pangeran Muda Cia Sun.

Karena memang sudah merencanakan lebih dahulu, tanpa ragu-ragu Eng Eng mengajak pangeran itu memasuki hutan kecil di mana tadi ia menangis, dan mereka lalu turun dari atas kuda, me-nambatkan kuda dan membiarkan dua ekor kuda itu makan rumput.

Karena tubuhnya masih terasa sakit akibat tu-sukan dua batang jarum di pundaknya, jarum-jarum hitam yang mengandung racun, Cia Sun lalu menjatuhkan diri di atas rumput, memandang kepada gadis itu yang berdiri memandangnya dengan sinar mata yang bernyala-nyala.

Biarpun tempat itu gelap, namun Cia Sun seolah--olah dapat melihat sepasang mata yang memandang marah itu.

Malam masih amat dingin, akan te-tapi mendung telah tersapu angin dan langit kini nampak bersih dengan sinar bulan sepotong sehingga mereka dapat saling melihat, walaupun hanya remang--remang."Nah, katakanlah.

Eng-moi, apa arti-nya semua ini" Benarkah dugaanku tadi bahwa engkau marah kepadaku karena mengira aku yang memimpin pasukan menyerbu Paobeng-pai?" Sejak tadi Eng Eng menahan ke-marahannya terutama kemarahan karena mendengar percakapan antara pangeran itu dan orang tuanya tadi.

Kini, kemarah-annya meledak! "Engkau manusia paling busuk di dunia! Engkau manusia palsu, jahanam keparat yang berbudi rendah!" "Silakan memaki dan mencaci, bahkan engkau boleh saja membunuhku, Eng--moi, akan tetapi, setidaknya jelaskan dulu mengapa engkau begini marah kepadaku, agar andaikata engkau membunuhku, aku tidak akan mati penasaran.

"Huh, tidak perlu engkau merayuku lagi dengan omonganmu yang seperti madu berbisa! Engkaulah yang membuat banyak orang mati penasaran, termasuk ibuku dan Tio Sui Lan! Engkau menyamar, menyelundup ke Pao-beng-pai untuk me-mata-matai Pao-beng-pai.

Engkau bahkan merayuku sehingga aku terbujuk dan membebaskanmu, mengkhianati Paobeng--pai sendiri.

Ternyata engkau hanya palsu, engkau mempermainkan aku, engkau me-mimpin pasukan membasmi Pao-beng--pai, membunuhi keluargaku! Engkau sung-guh keji, kejam dan curang!" Suara Eng Eng terkandung isak tangis.

"Hemmm, kalau begitu tepat dugaan-ku.

Engkau marah kepadaku karena me-ngira aku yang memimpin pasukan menyerbu Pao-beng-pai.

Semua itu tidak benar, Eng-moi! Aku tidak memimpin pasukan itu! Baru sebentar aku pergi, bagaimana aku dapat mengumpulkan pa-sukan besar untuk menyerbu Pao-beng--pai" Tidak, aku tidak mengerahkan pasu-kan itu.

Aku mendengar bahwa ada pasukan yang pergi menyerbu Pao-beng--pai, karena tempatnya sudah diketahui.

Ketika Pao-beng-pai mengadakan per-temuan itu, di antara para tamu ter-dapat orang-orang yang menentang dan merekalah yang memberi laporan kepada pemerintah.

Panglima Ciong yang me-mimpin pasukan itu menyerbu, dan aku menyusul cepat untuk menyelamatkan engkau dan ibumu." "Omong kosong! Rayuan gombal! Si-apa dapat percaya" Kalau bukan engkau yang menjadi penunjuk jalan, bagaimana mungkin pasukan dapat naik ke Lembah Selaksa Setan, dapat melampaui semua jebakan dan membasmi Pao-beng-pai" Tidak perlu engkau mencoba untuk mem-bohongi aku lagi!" Saking marahnya, tu-buh Eng Eng bergerak, tangannya me-nyambar ke arah dada Cia Sun.

"Bukkk!" Pukulan tangan terbuka itu keras sekali dan tubuh Cia Sun terjeng-kang dan terguling-guling.

Eng Eng me-ngejar dan kembali tangannya menampar ke arah kepala orang yang sudah rebah di atas tanah itu.

Akan tetapi tangan itu tertahan di udara, tidak jadi memukul.

Cia Sun terbatuk-batuk, dadanya te-rasa sesak.

Akan tetapi dia masih ter-senyum ketika mengangkat kepala memandang.

"Kenapa tidak kaulanjutkan, Eng-moi" Pukullah, hajar dan siksalah aku, bunuhlah kalau hal itu akan dapat meredakan kemarahanmu." "Kenapa....

kenapa engkau tidak me-lawan" Tidak mengelak atau menangkis" bentaknya.

"Untuk apa" Aku rela mati di tanganmu kalau engkau menghendaki itu, Eng-moi.

Hanya kuminta, sebelum engkau mem-bunuhku, dengarlah dulu keteranganku...." "Huh, keterangan bohong! Penuh tipu-an!" "Andaikata benar aku berbohong se-kalipun, kumohon padamu, dengarlah ke-bohonganku sebelum engkau membunuhku.

Setelah aku memberi keterangan, nah, engkau boleh percaya atau tidak, boleh membunuhku atau tidak, terserah." "Bohong! Kau penipu! Ah, untuk ke-bohongan itu saja, aku dapat membunuh-mu seratus kali!" Dan kini Eng Eng me-nampar lagi, menendang dan menampar lagi sampai Cia Sun terguling-guling dan tidak mampu bergerak lagi.

Pingsan! Ke-tika Eng Eng hendak memberi pukulan terakhir, ia teringat akan niat semula, yaitu membunuh pemuda itu di depan makam ibunya, maka ia pun menahan diri."Biar kubersabar sampai besok.

Engkau akan mampus di depan makam ibuku, bedebah!" katanya dan ia pun duduk dibawah pohon, bersamadhi.

Akan tetapi, samadhinya tidak pernah berhasil.

Ia bahkan gelisah dan beberapa kali men-dekati Cia Sun, untuk mendapat kepasti-an bahwa pemuda itu belum tewas.

Malam terganti pagi.

Pagi yang amat indah.

Sinar matahari pagi agaknya me-ngusir semua kegelapan, kegelapah alam yang berpengaruh terhadap keadaan hati.

Sinar matahari mendatangkan kehidupan.

Burung-burung berkicauan dan sibuk mempersiapkan diri untuk bekerja.

Ayam jantan berkeruyuk saling saut.

Semua nampak cerah gembira, bahkan daun-daun nampak berseri.

Seluruh mahluk seolah-olah menyambut munculnya sinar kehidupan dengan puja-puji kepada Yang Maha Kasih.

Sang Maha Pencipta, me-lalui suara, melalui keharuman, melalui keindahan.

Keharuman rumput dan tanah basah, daun dan bunga, keharuman udara itu sendiri.

Eng Eng juga terpengaruh oleh semua keindahan itu.

Hatinya terasa ringan dan perasaan marahnya tidak terasa lagi olehnya.

Namun, ketika ia menengok ke arah Pangeran Cia Sun, ia teringat se-galanya dan ia pun bangkit menghampiri.

Cia Sun sudah siuman, namun seluruh tubuhnya terasa nyeri.

Melihat gadis itu menghampiri, dia pun bangkit duduk, memandang kepada gadis itu dengan se-nyum sedih! Senyum itu seperti pisau menusuk kalbu bagi Eng Eng.

"Eng-moi, kenapa kepalang tanggung" Kenapa engkau tidak membunuh aku semalam?" tanya Cia Sun.

Eng Eng hampir tidak percaya.

Pe-muda bangsawan ini masih bersikap de-mikian manis kepadanya.

Bukan, bukan sikap yang terdorong rasa takut, melain-kan sikap yang demikian wajar.

Masih tersenyum, dan pandang mata kepadanya itu demikian lembut dan mesra, jelas nampak sinar kasih sayang di dalamnya.

Padahal, ia sudah menyiksanya sampai pingsan, nyaris membunuhnya! "Aku akan membunuhmu di depan makam ibuku!" katanya singkat.

"Eng-moi, arwah ibumu akan berduka kalau engkau melakukan itu.

Aku bukan pembunuh ibumu, aku bahkan berusaha berusaha menyelamatkannya, dan ia me-ninggal dunia di dalam rangkulanku " "Bohong!!" "Eng-moi, untuk apa aku berbohong" Aku tidak takut mati, bahkan aku tidak akan penasaran mati di tanganmu.

Aku hanya tidak ingin melihat engkau salah tindakan dan menyesal di kemudian hari, aku hanya ingin agar engkau mengetahui dengan betul siapa sebenarnya dirimu.

Aku telah mengetahui rahasia besar me-ngenai dirimu, Eng-moi, dan aku akan menceritakan semua, kalau engkau bersedia mendengarkan.

Memang semua akan kedengaran amat aneh bagimu, dan mung-kin engkau akan menganggap aku ber-bohong, akan tetapi demi Tuhan, aku tidak berbohong." Agaknya sinar matahari memang ber-pengaruh besar terhadap hati manusia, setidaknya terhadap Bng Eng.

Gadis itu merasa agak tenang dan ia dapat melihat kenyataan bahwa tidak ada ruginya men-dengarkan apa yang akan diceritakan oleh pemuda itu.

Bohong atau tidak, pemuda itu memang berhak untuk mem-bela diri.

Dan melihat wajah yang tam-pan dan yang tadinya amat disayangnya itu agak bengkak-bengkak oleh tamparan-nya semalam, timbul juga perasaan iba di dalam hatinya.

"Bicaralah, aku tetap tidak akan per-caya padamu." katanya dengan sikap ketus yangdipaksakan.

Ia bahkan tidak menatap langsung wajah yang bengkak--bengkak itu, karena ia merasa tidak enak, mengingatkan ia betapa ia telah bertindak kejam terhadap satu-satunya pria di dunia ini yang dicintanya.Lega rasa hati Cia Sun.

Posting Komentar