Pendekar Super Sakti Chapter 83

NIC

Kalau seorang ketua perkumpulan besar seperti Siaw-Lim-pai sudah rnenyatakan hendak rnemimpin sendiri penyerbuan, hal ini menandakan bahwa ketua itu sudah tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Dan memang demikianlah keadaan Ceng San Hwesio yang sudah marah sekali. Liok Si Bhok dan Liong Ki Tek adalah dua di antara murid-murid yang paling ia sayang, kini melihat murid-muridnya itu tewas dalam keadaan mengenaskan, hwesio tua ini tak mampu lagi mengendalikan kemarahannya. Sutenya, Ceng To Hwesio yang bertugas menjaga kuil dan membantu pekerjaan suhengnya yang menjadi ketua, juga merupakan guru dan pelatih dari sebagian besar murid-murid Siauw-lim-pai, menariknapas panjang dan berkata.

"Baiklah, Suheng. Penjagaan akan diperkuat, dan pinceng akan mengutus murid-murid mengumpulkan tenaga. Akan tetapi, maaf, Suheng. Mengenai hal yang menyangkut permusuhan dengan pihak Hoa-san-pai ini, apakah tidak sebaiknya kalau kita bertanya nasihat kepada Su-pek?"

"Bagaimana kita dapat mengganggu Supek dengan urusan ini? Supek sudah bertahun-tahun bertapa dalam sebuah diantara kamar-kamar penyiksaan diri, tidak mau diganggu. Biarpun bagi kita urusan ini adalah urusan besar yang tidak hanya menyangkut nyawa murid-murid kita, juga menyangkut nama dan kehormatan Siauw-lim-pai, akan tetapi bagi Supek yang sudah mengasingkan diri dari dunia ramai, tidak melibatkan diri dengan urusan dunia, tentu merupakan hal yang tidak ada artinya sama sekali, Tidak, Sute, tidak semestinya kalau kita mengganggu Supek untuk urusan ini.Urusan mengenai Siauw-lim-pai menjadi tugas pinceng sebagai ketua dan tugas semua anak murid Siauw-lim-pai."

"Terserah keputusan Suheng, pinceng hanya mentaati perintah,"

Jawab Ceng To Hwesio yang menjadi tegang hatinya karena maklum bahwa kalau suhengnya itu mengumumkan perang terhadap Hoa-san-pai, akan terjadi geger dan tentu akan mengambil korban yang banyak sekali di kedua pihak.

"Bagus, Sute. Dan engkau Sin Lian, engkau mengatakan bahwa menurut dugaanmu, kedua orang Gurumu itu terbunuh oleh seorang pemuda bernama Sie Han. Mungkinkah itu? Seorang pemuda dapat membunuh dua di antara tujuh orang Gurumu?"

"Teecu tidak ragu-ragu lagi, Sukong (Kakek Guru). Han Han.eh, Sie Han itu kini ternyata telah menjadi seorang pemuda yang pandai ilmu iblis."

"Coba ceritakan keadaannya dan bagaimana engkau dapat mengenali dia?"

"Ketika masih kecil, Sie Han ini adalah seorang gelandangan. seorang pengemis yang terlantar. Kemudian Ayah yang menaruh kasihan, membawanya dan mengambilnya sebagai murid. akan tetapi hanya sebentar karena dia itu berkhianat, malah kemudian menjadi murid atau pelayan dari Kang-thouw-kwi Gak Liat....."

"Omitohud..."

Ceng San Hwesio berseru kaget. Nama tokoh datuk hitam ini selalu mengejutkan hati semua orang pandai.

"Dia menjadi murid setan itu Akan tetapi... andaikata benar menjadi muridnya. pinceng tetap masih meragukan apakah bocah itu mampu mengalahkan Liok Si Bhok dan Liong Ki Tek"

"Teecu tidak ragu-ragu lagi, Sukong. Ketika berusaha menghajar orang-orang Hoa-san-pai dan bergebrak dengan Han Han itu, dalam bentrokan tenaga teecu mendapat kenyataan bahwa tenaga sinkang bocah itu melampaui sinkang semua suhu."

"0mitohud..., mana mungkin...?"

Ceng San Hwesio kembali berseru.

"Teecu tidak berbohong, Sukong. Ketika itu, teecu menyerangnya dan mengirim pukulan dengan pengerahan lweekang sekuatnya. Pukulan teeucu itu adalah jurus Cam-liong-jiu (Pukulan Membunuh Naga) dan dia sama sekali tidak menangkis. Teecu yakin bahwa tujuh orang Suhu tidak akan dapat menerima pukulan itu dengan dada, akan tetapi Han Han menerima dengan dadanya dan akibatnya teecu sendiri yang terbanting roboh dan tangan teecu membengkak."

"Hemmm..."

Ceng San Hwesio mengulur lengannya ke depan dan membuka tangan dengan telapak di atas.

"Coba engkau menggunakan Cam-liong-jiu dengan kekuatan seperti yang kau gunakan memukul bocah itu, dengan mengukur kekuatan pukulanmu dapat kiranya sedikit banyak menilai kepandaiannya."

Lauw Sin Lian maklum akan maksud kakek gurunya Itu, maka ia lalu mengerahkan tenaga dan mengayun kepalan tangannya, memukul ke arah telapak tangan kakek tua itu.

"Plakkk."

Sin Lian merasa betapa kulit tangannya panas dan tergetar, maka ia cepat menarik kembali tangannya.

"Omitohud, sukar dipercaya kalau bocah itu mampu menerima pukulanmu tadi dengan dadanya."

Ketua Siauw-lim-pai berseru kaget.

"Memang dia luar biasa, Sukong."

"Kalau murid Hoa-san-pai semuda itu takkan mungkin memiliki sinkang yang cukup kuat untuk menerima pukulanmu tadi. Akan tetapi kalau dia murid Gak Liat yang menjadi kaki tangan penjajah, bagaimana dia dapat membantu Hoa-san-pai yang selama ini anti penjajah?"

"Siapa tahu Hoa-san-pai menyeleweng atau mungkin hanya Pek-eng-piauwkiok atau sebagian murid Hoa-san-pai saja yang bersekutu dengan kaki tangan penjajah. Urusan ini amat berbahaya, kalau Sukong mengijinkan, biarlah teecu pergi menyusul lima orang Suhu untuk diundangke sini."

"Memang, semua murid Siauw-lim-pai harus berkumpul. Terutama sekali para Gurumu yang tinggal lima orang itu..."

Kakek gundul ini menarik napas duka teringat akan dua orang muridnya yang tewas.

"Apakah engkau tahu di mana mereka itu kini merantau?"

"Teecu mendengar bahwa para Suhu merantau ke Telaga Barat, tentu masih berada di sana. Teecu akan menyusul mereka dan menyampaikan berita duka tentang kematian Liok-suhu clan Jit-suhu (Guru ke Enam dan ke Tujuh)."

"Baiklah, Lian-ji, berangkatlah sekarang juga. Pinceng amat membutuhkan bantuan guru-gurumu."

Pada hari itu juga, berangkatlah Lauw Sin Lian pergi menyusul guru-guru nya untuk menyampaikan berita kematian dua orang gurunya dan undangan ketua Siauw-lim-pai, dan selain Sin Lian, berangkat pula murid-murid Siauw-lim-pai yang diutus oleh Ceng San Hwesio untuk mengundang tokoh-tokoh Siauw-lim-pai yang kebetulan melakukan perjalanan, atau yang memang tidak lagi bertempat ting-gal di pusat ini. Beberapa hari kemudian semenjak para murid Siauw-lim-pai pergi melakukan tugas masing-masing menghimpun tenaga yang diundang ke pusat, para hwesio penjaga pintu gerbang Siauw-lim-pai menyambut datangnya dua orang tamu dengan pandangan mata penuh kecurigaan.

Tamu ini bukan lain adalah Han Han dan Lulu. Seperti biasa, pemuda ini tenang-tenang saja menghampiri pintu gerbang, diikuti dari belakang oleh Lulu yang juga bersikap tenang. Dara ini makin cantik jelita saja, apalagi kini di punggungnya tampak sebatang pedang yang amat indah gagangnya, yaitu pedang pusaka Cheng-kong-kiam yang dirampasnya dari tangan Kong Seng-cu tokoh Hoa-san-pai. Biarpun di luarnya kelihatan tenang, namun di sebelah dalam dada gadis ini terjadi ketegangan karena ia ingin sekali segera bertemu dengan Sin Lian untuk bertanya di mana adanya Lauw-pangcu, musuh besarnya. SembiIan orang hwesio penjaga yang segera datang ke pintu gerbang itu mengangkat tangan sebagai tanda penghormatan dan seorang di antara mereka ber-tanya.

"Ji-wi hendak mencari siapakah?"

Dengan sikap tenang akan tetapi membalas penghormatan itu, berbeda dengan Lulu yang memandang ke kanan kiri penuh perhatian, Han Han lalu menjawab.

"Saya ingin bertemu dengan Nona Lauw Sin Lian, dan dengan ketua dari Siauw-lim-pai."

Para hwesio penjaga itu saling pandang. Keadaan pemuda yang aneh Ini mencurigakan. Pakaian pemuda ini sederhana, akan tetapi rambutnya dibiarkan riap-riapan begitu saja, sungguh mencurigakan, dan lebih-lebih sepasang-mata itu yang amat tajam.

"Nona Lauw Sin Lian tidak berada disini, sedangkan keinginan Kongcu untuk berjumpa dengan Ketua, agaknya hal ini tidaklah mudah dilaksanakan. Hendaknya Kongcu berdua suka memberitahukan nama dan keperluan barulah kami akan menyampaikan keatasan apakah permohonan Kongcu, menghadap dapat dikabulkan"

"Han Han mengerutkan alisnya yang tebal, masih dapat menahan kesabarannya, akan tetapi Lulu yang mendengar bahwa Sin Lian yang dicarinya itu tidak -berada di kuil itu, sudah kehilangan kesabarannya dan ia membentak.

"Wah-wah, seorang pendeta biarpun sudah menjadi ketua, masa lagaknya melebihi seorang raja saja? Orang mau berjumpa saja sukarnya setengah mati."

Para hwesio penjaga itu memandang dengan muka tidak senang dan wakil pembicara mereka segera menjawab,

"Nona, kalau yang kau maksudkan raja penjajah, memang ketua kami jauh lebih tinggi dan terhormat. Ada perkumpulan ada pula peraturan, dan Siauw-lim-pai adalah perkumpulan besar yang memegang teguh peraturannya, siapa pun tidak berhak melanggarnya."

"Waduh-waduh, galaknya. Eh, hwesio-gundul, apakah engkau ini ber-liamkeng (membaca doa) dan bersembahyang, memantang makanan berjiwa yang enak-enak, bertapa susah payah, hanya untuk belajar galak kepada orang lain? Kalau sikapmu masih galak dan tidak ramah-tamah terhadap orang, tidak baik budi, percuma saja dong rambutmu dibuang. Ternyata kepalamu menjadi bertambah panas."

Sikap dan omongan Lulu yang ugal-ugalan ini membuat para hwesio menjadi merah mukanya, akan tetapi karena kata-kata itu tepat menusuk hati dan merupakan sindiran bagi mereka, sejenak mereka tak mampu membantah. Kalau mereka menuruti nafsu kemarahan, hal ini hanya membuktikan betapa tepatnya ucapan gadis nakal itu, kalau tidak marah, hati yang tidak kuat.

"Heiii, dia inilah bocah setan itu. Dia yang membunuh saudara-saudara kita, dia yang membela orang-orang Hoa-san-pai."

Tiba-tiba terdengar suara dua orang anggauta Siauw-lim-pai yang bukan lain adalah Liong Tik dan seorang sutenya, dua orang di antara sembilan murid Sauw-lim-pai yang tidak tewas ketika mengeroyok Han Han.

Posting Komentar