"Bunga dewa tak perlu berkecil hati!" tiba-tiba seorang diantara para perajurit berkata.
"Biarpun dusun kita terbakar dan beberapa kawan kita gugur, akan tetapi jumlah korban di fihak musuh Iebih banyak lagi! Kita harus merasa bangga karena baru kali ini tentara kerajaan yang terkenal gagah perkasa, ternyata menghadapi kita mereka menderita kerugian lebih besar, biarpun tadinya jumlah mereka dua kali lebih besar daripada jumlah kita!"
Mendengar ucapan ini, semua orang menyatakan setuju, bahkan Piloko sendiri lalu menghibur Eng Eng dengan gagah.
"Ucapan tadi benar, anakku. Mengapa kita harus berkecil hati? Mati dalam perang guna membela bangsa dan mempertahankan kehormatan bangsa adalah mati yang amat berharga. Laki-laki gagah yang manakah tidak ingin gugur di dalam peperangan membela tanah air dan bangsa? Percayalah, arwah dari kawan-kawan kita yang tewas, pada saat ini tentu tersenyum-senyum melihat betapa mereka tidak tewas dengan sia-sia, bahwa pertempuran yang menewaskan mereka itu ternyata membawa kemenangan." Terbangun semangat Eng Eng mendengar ini.
"Ayah kau benar sekali. Maafkan kelemahan hatiku. Dusun yang sudah musnah biarlah, kita sekarang mencari tempat dan membangun lagi."
"Marilah kita naik ke puncak dan membuat pertahanan di sana. Siapa tahu kaIau-kalau musuh akan mengejar kita." kata Piloko. Maka naiklah mereka ke atas bukit itu, disambut oleh tangisan keluarga-keluarga yang tidak melihat suami atau ayah mereka ikut datang! Eng Eng dan Piloko dengan bantuan Yamani menghibur keluarga yang kehilangan ayah atau suami dengan berbagai kata-kata bersemangat.
Di dalam perjalanan mendaki bukit ini, dengan girang sekali Eng Eng mendapat kenyataan bahwa gunung ini amat suburnya dan amat baik untuk dijadikan tempat tinggal bagi keluarga besar itu. Puncaknya yang bertanah subur dan luasnya beberapa li itu dikelilingi oleh jurang yang amat terjal dan jalan satu-satunya untuk naik hanya melalui jalan batu karang yang kanan kirinya penuh dengan hutan-hutan di dalam jurang! Hanya puncak-puncak pohon saja yang sampai di jalan batu karang itu. Selain jalan batu karang ini, tidak ada jalan yang dapat membawa orang sampai ke puncak!
"Ayah, tempat ini bagus sekali! Dengan menduduki puncak, biarpun diserang oleh ribuan musuh, kita dapat menghancurkan mereka dengan amat mudahnya!" kata Eng Eng. Piloko adalah seorang yang semenjak kecilnya seringkali menghadapi pertempuran-pertempuran. Sekali pandang saja ia maklum akan maksud kata-kata anak angkatnya ini. Ia mengangguk-angguk membenarkan. Memang dengan penjagaan beberapa belas orang saja di puncak, di atas jalan tunggal itu bersenjata batu-batu dan panah, mereka akan dapat menghalau musuh dengan amat mudah.
Jalan itu tidak berapa lebar, hanya dapat dinaiki oleh sejajar yang terdiri dari lima orang. Biarpun musuh berjumlah banyak, namun hanya lima orang yang dapat maju paling depan dan sebelum tiba di puncak, dari atas dengan mudah saja orang dapat melempar batu untuk membuat orang orang atau musuh yang mencoba naik itu terusir pergi! Sekali lagi sibuklah suku bangsa Cou ini membangun gubuk gubuk di atas puncak. Dengan amat girang mereka mendapat kenyataan bahwa di puncak yang subur itu banyak terdapat pohon-pohon buah dan juga binatang-binatang hutan, Eng Eng lalu mengatur penjagaan di atas mulut jalan tunggal itu dan tempat iti dijaga oleh dua puluh orang secara bergilir dan terus menerus siang malam!
Semenjak mereka tinggal di atas puncak bukit itu, telah dua kali pasukan Ouigour dan pasukan dari Oei-ciangkun mencoba untuk mendaki ke atas, akan tetapi dengan amat mudahnya mereka ini dihalau dan terpaksa membatalkan niatnya ketika dari atas jalan tunggal itu menggelinding batu-batu bagaikan hujan lebatnya! Jalan naik lain telah dicari, akan tetapi sia-sia belaka sehingga akhirnya tidak ada lagi pasukan musuh yang berani naik.
"Aku harus mengajukan protes kepada Kaisar Tai Cung atas serangan-serangan tentara kerajaan yang membantu Ouigour!" kata Piloko dengan marah dan penasaran sekali.
"Bagaimana kalau kau nanti ditangkap di kota raja?" tanya Eng Eng kuatir,
"Tidak mungkin! Tak mungkin kalau dari kerajaan yang besar sudi melakukan kerendahan yang hina itu. Sudah beberapa kali aku bertemu dengan Kaisar Tai Cung dan melihat sikapnya sungguh aku tidak mengerti mengapa sekarang tentaranya mau mengganggu rakyatku. Aku harus pergi ke kota raja dan minta agar segala gangguan ini dihabiskan!"
Karena kehendak Piloko tak dapat dibantah lagi, akhirnya Eng Eng berkata,
"Baiklah ayah. Aku akan ikut dengan kau ke kota raja! Biar aku yang menjadi pembela dan pengawalmu. Kita berdua dapat pergi dengan hati aman karena keluarga kita berada di tempat yang sentosa. Bilakah kita berangkat, ayah?"
"Besok!" jawab ayah angkatnya dengan tegas. Demikianlah pada keesokan harinya, dari atas puncak, melalui jalan tunggal itu, turunlah Piloko yang mengenakan pakaian kebesaran bersama Eng Eng. Mereka mempergunakan ilmu lari cepat dan turun dari atas gunung itu, langsung menuju ke selatan, kota raja untuk menghadap Kaisar Tai Cung!
Ketika Tiong Kiat dan Ang Hwa kembali ke benteng membawa berita kemenangan yang telah berhasiI membasmi dusun orang-orang Cou dan mengusir mereka ke puncak gunung, Huayen-khan merasa gembira sekali. Juga Oei Sun menjadi gembira karena ternyata bahwa Tiong Kiat merupakan tenaga bantuan yang boleh diandalkan, tetapi Go-bi Ngo-koai. Tung dan Oei Sun menjadi penasaran sekali ketika mendengar bahwa gadis gagah perkasa yang membantu Piloko bukan lain adalah Suma Eng, nona yang pernah tertawan oleh mereka itu.
"Nah apa kataku dulu?" kata Oei ciangkun kepada Go bi Ngo-koai-tung dengan suara menyesal setelah mereka berada sendiri,
"nona itu hanya mendatangkan kesulitan belaka. Kalau dulu kita tidak melepaskannya, tidak nanti kita sampai kehilangan seratus orang dalam pertempuran itu."
Thian It Tosu menarik napas panjang.
"Mungkin dia tidak tahu bahwa tentara yang membantu Huayen-khan adalah tentara kita. Kalau kemarin kita yang maju, belum tentu ia suka melawan kita. Akan tetapi sudahlah sekarang Piloko sudah kehilangan banyak orang dan ia telah mengungsi di atas puncak bukit. Apakah artinya beberapa orang Cou itu bagi gerakan kita?"
Akan tetapi ternyata Huayen khan tidak berpikir demikian. Kepala suku bangsa Ouigour ini masih belum merasa puas kalau belum dapat melenyapkan Piloko dari muka bumi ini. Oleh karena itu, diam-diam ia lalu memimpin orang-orangnya untuk menyerbu ke atas gunung. Akan tetapi, ternyata ia menerima hukuman berat dari usaha ini, karena dari atas turunlah batu bagaikan hujan yang melukai banyak orang-orangnya bahkan ada beberapa orang perajurit tewas karena terjungkal ke dalam jurang!
Kembali Huayen-khan minta pertolongan Oei Sun yang menyuruh sepasukan tentara menyerang ke atas gunung. Sama saja, pasukan inipun menderita karena hujan batu dan semenjak itu, Oei-ciangkun maupun Huayen-khan tidak berani lagi mengganggu benteng di puncak gunung dari orang-orang Cou ini.
Sementara itu, Ang Hwa tetap saja mendekati Sim Tiong Kiat tanpa mengenal malu lagi sehingga tak seorangpun di antara orang-orang yang berada di benteng itu tidak tahu akan adanya hubungan antara perwira she Sim yang baru ini dengan Si bunga Merah, isteri dari Huayen-khan, kepala suku bangsa Ouigour yang sudah tua itu.
Pada suatu hari, selagi Tiong Kiat duduk di ruang dalam bersama Ang Hwa, Huayen khan dan Go bi ngo koai tung, seorang penjaga datang memberi laporan bahwa di luar benteng terdapat lima orang tosu yang minta bertemu dengan Sim Tiong Kiat.
Pemuda itu mengerutkan kening. Pada waktu itu, Oei-ciangkun sedang pergi keluar benteng, katanya untuk urusan dinas yang tak diketahui olehnya, dan Oei-ciangkun telah menyerahkan komando tertinggi kepadanya sebagai wakil Oei ciangkun. Siapakah tosu-tosu yang datang mencarinya? Tiong Kiat menjadi bimbang, lalu ia bertanya!
"Siapakah mereka itu? Datang dari mana dan perlu apa mencari aku?"
"Kami sudah bertanya Sim ciangkun. Akan tetapi tosu-tosu yang kelihatan galak itu hanya menjawab bahwa mereka ingin bertemu dengan orang yang bernama Sim Tiong Kiat. Mereka tidak mau memberi tahu sama sekali siapa adanya mereka." Tiong Kiat menjadi makin curiga.
"Sim ciangkun," tiba-tiba Thian It Tosu, orang pertama dari Go-bi Ngo-koai-tung berkata,
"mengapa ciangkun ragu-ragu? Keluarlah dan jumpai orang-orang itu. Biar pinto berlima mengantar ciangkun dengan diam-diam dan pinto berlima mengintai dari balik pintu gerbang. Kalau terjadi sesuatu yang mencurigakan, tentu pinto berlima takkan tinggal diam."