Lui Seng Cu menjadi marah. Kiranya hwesio tua renta ini berbeda dengan para hwesio lainnya. Para hwesio biasanya pendiam dan suka mengalah, tidak pandai bicara. Akan tetapi hwesio tua muka hitam ini ternyata tukang ngobrol dan pandai berdebat! Baru beberapa kali tukar bicara saja dia sudah terdesak dan sukar untuk menjawab.
"Hek-bin Hwesio! Engkau tidak tahu siapa aku? Aku adalah Hok-houw Toa-to Lui Seng Cu, pemimpin penganut penyembah Thian-te Kwi-ong! Lihat aku, pandang mataku, dan berlututlah engkau! Aku perintahkan engkau, demi nama Thian-te Kwi-ong yang sakti, berlututlah engkau wahai hwesio!!" Dalam suara itu terkandung getaran yang amat hebat dan kuat, yang membuat Giok Cu merasa betapa lututnya gemetar. Tadi, dengan tenaga setengahnya saja, Lui Seng Cu hampir berhasil menyuruh Giok Cu tunduk dan menuruti kehendaknya. Kini dia mempergunakan hampir seluruh kekuatan sihirnya, bahkan menggunakan nama Thian- te Kwi-ong sebagai ilmu hitam, untuk menyerang dan menundukkan hwesio tua muka hitam! Akan tetapi, Hek-bin Hwesio yang, diserang dengan ilmu hitam itu yang hanya terkekeh saja, lalu berkata dengan suara lantang sambil tertawa. "Ha-ha-ha! Omitohud… pinceng
tidak memerintah, akan tetapi kalau engkau memang ingin berlutut, silakan, Hok-houw Tofw to!"
Sungguh aneh karena tiba-tiba saja Lui Seng Cu lalu menjatuhkan diri berlutut menghadap hwesio itu! Melihat ini tentu saja Giok Cu menjadi terheran-heran. Penglihatan itu sedemikian lucunya sehingga mau tidak mau ia pun tertawa. Mendengar gadis itu tertawa Hek-bin Hwesio menengok sambil tertawa pula, senang karena gadis yang tak disangkanya jahat akan tetapi yang ternyata gagah perkasa dan berbudi mulia itu ternyata juga memiliki watak periang. Karena dia menengok, maka Lui Seng Cu yang tadinya terpukul oleh kekuatan sihirnya sendiri yang membali menjadi sadar, apalagi karena Ban-to Mo-li sudah mengguncang pundaknya dengan mendongkol.
"Engkau ini apa-apaan sih?" bentak Ban-tok Mo-li yang ikut merasa malu melihat kawannya bertindak seperti seorang badut. Lui Seng Cu meloncat berdiri dan dia sudah mencabut golok besarnya, mukanya berubah merah karena marahnya. Ban-tok Mo-li juga sudah mencabut senjata yang ampuh, yaitu sebuah kipas di tangan kiri dan sebatang pedang di tangan kanan. Tanpa banyak cakap lagi dua orang ini sudah maju menyerang Hek-bin Hwesio dengan ganas sekali. Ban-tok Mo- li menggerakkan kipasnya dan dari kedua ujung gagang kipasnya meluncur jarum-jarum beracun yang amat berbahaya, yang mendahului serangan totokannya dengan gagang kipas, disusul tusukan-tusukan pedangnya. Juga Lui Seng Cu sudah memutar goloknya sehingga nampak sinar golok bergulung-gulung. Dia memang dijuluki Hok houw Toa- to (Golok Besar Penaluk Harimau), tentu saja dia seorang ahli sila golok yang pandai, maka goloknya mengeluarkan suara berdesing-desing ketik menyambar-nyambar dalam gulungan sinar yang menyilaukan. "Losuhu, awas senjata rahasia jarum beracun!" Tiba-tiba Giok Cu berseru. Ia tentu saja mengenal kipas dari subonya dan tahu betapa berbahayanya jarum-jarum kipas itu yang dilepas dari jarak dekat dan tidak nampak saking lembut dan cepatnya.
"Ha-ha-ha, ia yang menabur benih, ia yang menuai!" Berkata demikian, hwesio tua itu mengebutkan lengan bajunya dan jarum-jarum halus itu disambar angin dan membalik, kini menyerang ke arah pemiliknya! Tentu saja Ban-tok Mo-li terkejut bukan main. Cepat ia melempar diri ke belakang dan bergulingan di atas tanah, tidak peduli betapa perbuatan itu membuat pakaiannya menjadi kotor! Ia bergidik dan tidak berani lagi mempergunakan senjata rahasia yang dapat membalik dan "makan nyonya" itu. Ia menyerang dengan gagang kipas dan pedangnya, membantu Lui Seng Cu mengeroyok hwesio tua muka hitam.
Terjadilah perkelahian yang seru dan menegangkan hati Giok Cu. Inilah saat yang ditakutinya. Mampukah hwesio tua itu menahan dua orang lawan yang demikian tangguhnya? Akan tetapi, terjadi hal yang lucu. Hwesio tua itu hanya memegang sebatang tongkat yang butut dan rapuh, sebatang dahan atau ranting pohon yang sudah rapuh, dan selanjutnya hanya menjaga diri dengan kebutan lengan bajunya yang lebar. Akan tetapi, tiga macam senjata lawan itu sama sekali tidak mampu menyentuhnya, selalu menyeleweng, atau bahkan membalik kena sambaran angin kebutan ujung lengan baju, sedangkan tongkat bututnya beberapa kali hampir menusuk hidung Lui Seng Cu dan mata Ban-tok Mo-li. Tentu saja Giok Cu menjadi kagum bukan main dan juga hatinya girang karena kini ia tidak khawatir lagi. Dua orang muda itu tentu akan dapat bebas dari ancaman maut di tangan subonya dan Lui Seng Cu.
Dugaan Giok Cu memang tidak keliru. Hek-bin Hwesio memang memiliki tingkat kepandaian yang jauh lebih tinggi daripada dua orang lawannya. Biarpun senjatanya hanya ujung lengan jubah yang lebar dan sebatang tongkat butut, namun dua orang lawannya tidak mampu berbuat sesuatu. Semua serangan mereka bertemu dengan ujung lengan baju, bahkan kalau ujung lengan baju itu bertemu langsung dengan pedang atau golok, maka dua senjata itu hampir terlepas dari pegangan tangan pemiliknya! Karena itu, baik Ban-tok Mo-li maupun Lui Seng Cu tidak berani lagi mengadu senjata mereka secara langsung dengan ujung lengan jubah yang lebar itu, dan mereka pun terdesak oleh tongkat butut.
"Omitohud ! Kalian sungguh jahat, akan tetapi masih
untung karena pinceng lihat belum tiba saatnya kalian mati, dan pinceng seorang yang pantang membunuh. Nah, pergilah kalian dari sini dan jangan ulangi lagi kejahatan kalian kalau ingin selamat!" Berkata demikian, tiba-tiba kedua lengan bajunya mengebut keras dan ujung tongkatnya menusuk- nusuk. Kedua orang itu terkejut, terhuyung dan pada saat itu, kaki Hek-bin Hwesio menendang. Dua kali berturut-turut dai menendang.
"Desss!!! Desssss!!" Tendangannya itu kuat bukan main dan tubuh kedua orang itu seperti dua butir bola yang ditendang, melambung ke atas dan melayang sampai jauh, kemudian jatuh ke atas tanah. Biarpun keduanya sudah mengerahkan gin-kang, tetap saja tubuh mereka terbanting dan terguling-guling.
Keduanya terkejut setengah mati. Belum pernah selama hidup mereka bertemu dengan lawan yang begini tangguhnya. Maka, seperti dikomando saja, begitu mereka mampu bangkit berdiri, keduanya sudah lari tunggang langgang tanpa menoleh lagi, ketakutan seperti melihat setan!
Dengan gembira sekali Giok Cu menghampiri kakek itu, memandang dengan penuh kagum kepada wajah yang tua dan hitam namun selalu tersenyum itu. "Wah, engkau sungguh hebat sekali, Kek! Engkau sakti dan pandai bukan main sampai dua orang seperti Subo dan iblis She Lui itu lari tunggang-langgang! Kalau saja aku dapat menjadi muridmu, Kakek yang baik, aku akan merasa berbahagia sekali!”
Hek-bin Hwesio
Bakat yang amat baik, watak yang baik pula dan walaupun selama ini agaknya menjadi murid iblis betina, namun buktinya ia malah menentang guru sendiri, menyelamatkan calon korban gurunya, hal ini saja membuktikan bahwa pada dasarnya, gadis remaja ini memiliki watak pendekar yang gagah. Apalagi wajah yang cerah dan sepasang mata yang penuh semangat, cerah dan periang itu sungguh cocok sekali dengan wataknya sendiri, maka hati Hek-bin Hwesio tertarik sekali. Dia sudah amat tua, tak lama lagi tentu mati, lalu untuk apa semua ilmu yang pernah dipelajarinya selama puluhan tahun itu? Dia belum pernah mengangkat murid, dan bukankah pertemuannya dengan gadis remaja ini merupakan suatu jodoh yang sudah ditentukan oleh Tuhan?
"Heh-heh-heh, Nona Kecil. Beginikah sikap orang yang ingin menjadi murid?"
Mendengar ucapan itu, sepasang mata Giok Cu terbelalak dan ia mengeluarkan teriakan seperti bersorak girang. Tadinya ia hanya iseng-iseng saja berkata demikian, sama sekali tidak mengira bahwa kakek itu suka menerimanya sebagai murid. Maka, setelah mengeluarkan teriakan bersorak, ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki ka kek muka hitam itu, dekat sekali sehingga hidungnya hampir mencium jari kaki.
"Suhu, teecu menghaturkan terima kasih dan menghaturkan hormat!" Melihat sikap ini dan mendengar ucapan yang amat menghormat itu, Hek-bin Hwesio tertawa bergelak. Perutnya! yang gendut itu terguncang-guncang dan bergerak-gerak seperti bayi tua dalam kandungan! "Hua-ha-ha-ha, anak baik, pinceng tidak mengajarkan seorang murid untuk menjadi penjilat! Bersikaplah biasa saja, jangan berlebihan. Dalam hidup ini, kita harus bersikap wajar, tidak pura-pura, tidak berlebihan karena berlebihan ini menyeret kita ke dalam ketidakwajaran! Kalau sudah tidak wajar, berarti menyembunyikan pamrih dan pinceng tidak ingin melihat murid pinceng menjadi penjilat!"
Giok Cu terkejut sekali dan seperti disengat kelabang ia pun meloncat bangun dan berdiri dengan sikap masih hormat. "Teecu akan mentaati semua perintah dan petunjuk Suhu!"
Bukan main girangnya hati Hek-bin Hwesio. Anak perempuan ini memang hebat, pikirnya. Sayang ia telah mempelajari ilmu-ilmu sesat yang ganas. Maka, diam-diam dia mengambil keputusan untuk memperbaiki ilmu-ilmu itu sehingga menjadi ilmu yang kuat dan hebat, akan tetapi berkurang sifat ganas dan kejamnya.
"Sekarang ceritakan apa yang terjadi, siapa kedua orang muda ini dan mengapa pula engkau menentang Subomu sendiri!" kata Hek-bin Hwesio.Giok Cu lalu bercerita, singkat dan jelas tentang subonya yang terbujuk oleh Liu Seng Cu menjadi penyembah Thian Kwi-ong dan sudah beberapa kali mengorbankan beberapa orang muda laki-laki dan perempuan.
"Teecu tidak tahan melihat hal itu, maka malam tadi ketika Subo dan orang she Lui itu kembali menculik sepasang orang muda, teecu lalu membakar gudang dan selagi semua orang memadamkan api, teecu membawa lari mereka, berdua ini. Akan tetapi, ternyata teecu dapat disusul Subo dan tentu teecu dan kedua orang muda itu akan celaka kalau saja Suhu tidak muncul menyelamatkan kami." "Sekarang, apa yang akan kaulakukan terhadap mereka itu?"