Lembah Selaksa Bunga Chapter 68

NIC

“Kau...... kau Thai-lek-sian (Dewa bertenaga besar) Sie Bun Liong?” Sie Bun Liong atau Bu-beng-cu (Si Tanpa Nama) mengangguk. “Sekarang terserah kepadamu, Hwa Hwa Hoat-su. Kaukatakan siapa penculik Sribaginda Kaisar dan aku tidak akan mengganggumu, atau kalau engkau tidak mau mengaku, terpaksa aku tidak akan mengampunimu lagi.”

Terbayanglah dalam benak Hwa Hwa Hoat-su akan peristiwa enam tahun lebih yang lalu. Ketika itu dia atas nama Pek-lian-kauw bersama belasan orang anak buahnya mengadakan kegiatan di sekitar See-ouw (Telaga barat), seperti biasa membujuk rakyat untuk mendukung gerakan Pek-lian-kauw, lalu minta kepada rakyat di dusun-dusun untuk menyerahkan sumbangan untuk biaya “perjuangan”. Mereka yang membantah atau tidak menaati lalu disiksa, bahkan ada yang ibunuh.

Pada waktu itu, Sie Bu Liong yang mendengar akan hal ini, apalagi mendengar betapa beberapa orang pendekar yang mencoba menentang Hwa Hwa Hoat-su semua dikalahkan datuk Pek-lian-kauw itu, segera datang ke tempat itu. Dia mengobrak-abrik semua anak buah Pek-lian-kauw dan akhirnya bertanding dengan Hwa Hwa Hoat-su.

Akhirnya Hwa Hwa Hoat-su roboh dan dia tertotok dengan Ilmu Penghancur Tulang yang membuat dia menderita kesakitan yang amat hebat. Seluruh isi tubuhnya seperti ditusuk-tusuk pisau, nyeri, panas dan pedih yang hampir tak tertahankan. Celakanya, dia tidak pingsan atau tewas sehingga siksaan itu membuat dia mohon ampun dan bersumpah untuk tidak melakukan kejahatan lagi.

Demikianlah kenangan itu dan kini kembali dia berhadapan dengan Thai-lek-sian Sie Bun Liong yang tadi sudah membuktikan bahwa tingkat kepandaian pendekar itu masih tetap lebih tinggi daripada tingkatnya. Dia merasa ngeri sekali.

“Thai-lek-sian, aku tidak mungkin dapat memenuhi permintaanmu, lebih baik kaubunuh saja aku!” katanya.

Bu-beng-cu menggelengkan kepala. “Kalau engkau tidak mau mengaku, terpaksa aku akan memukulmu dengan Ilmu Penghancur Tulang lalu meninggalkanmu di sini. Engkau akan tersiksa selama empatpuluh hari baru akan mati.”

Ancaman itu membuat Hwa Hwa Hoat-su mati kutu. Dia merasa ngeri sekali dan akhirnya dia mengaku setelah menghela napas berulang-ulang.

“Biarpun aku sendiri tidak dapat membuktikan, namun aku yakin bahwa satu-satunya orang yang mampu melakukan penculikan terhadap Kaisar, kalau orang itu dari Pek-lian-kauw, adalah suhengku (kakak seperguruanku) Cui-beng Kui-ong (Raja Setan Pengejar Arwah). Dialah yang memiliki ilmu kepandaian paling tinggi di antara kami.”

“Hemm, bagus engkau mau mengaku. Sekarang katakan di mana dia berada dan di mana pula dia menyembunyikan Sribaginda Kaisar!”

Hwa Hwa Hoat-su menggelengkan kepalanya. “Thai-lek-sian, aku telah tertawan dan ditahan di sini, sama sekali tidak mendapatkan hubungan luar penjara. Bagaimana aku dapat mengetahui di mana dia berada dan di mana pula Kaisar disembunyikan? Tadinya pun aku hanya menduga saja bahwa Suhengku yang melakukannya. Biar engkau paksa bagaimana pun, mana mungkin aku dapat mengetahui keadaan yang sebenarnya?”

Bu-beng-cu berpikir sejenak. Alasan Hwa Hwa Hoat-su ini tak dapat disangkal kebenarannya. Bagaimana dia bisa tahu kalau dia berada dalam tahanan? Tentu sebelum dia tertawan, tidak ada rencana untuk menculik kaisar karena Pek-lian-kauw tadinya hanya mendukung dan membantu pemberontakan Pangeran Bouw Ji Kong!

Pangeran Bouw! Agaknya dia mengetahui akan rahasia ini maka dia menghilang! Mudah-mudahan Siang Lan dapat menemukan sesuatu, demikian Bu-beng-cu berpikir.

“Baiklah, Hwa Hwa Hoat-su. Aku percaya keteranganmu!” Setelah berkata demikian, Bu-beng-cu keluar dari kamar itu dan mengunci lagi pintu tahanan lalu memanggil para penjaga. Dia pun keluar dari penjara itu.

Bagaimanapun juga, dia tidak gagal sama sekali. Dia dapat mengetahui siapa kiranya yang menculik kaisar. Cui-beng Kui-ong, datuk terbesar Pek-lian-kauw. Dia belum pernah bertemu dengan datuk itu, akan tetapi pernah mendengar kebesaran namanya dan kehebatan ilmu kepandaiannya.

Dia harus segera lapor kepada Panglima Chang Ku Cing. Dia kembali ke rumah penginapan menanti datangnya pagi. Dia akan menanti sampai Siang Lan datang berkunjung, baru bersama gadis itu akan mengunjungi panglima Chang. Malam itu, sesuai dengan hasil perundingan dengan Bu-beng-cu, Siang Lan mengunjungi gedung Pangeran Bouw Ji Kong. Ia menanti sampai lewat tengah malam. Setelah suasana amat sepi ia melompati pagar tembok gedung yang mewah seperti istana itu, lalu dengan gerakan ringan ia melompat ke wuwungan rumah. Ia mulai mengintai dari atas genteng, berpindah-pindah, mendengarkan mereka yang masih belum tidur bicara. Akan tetapi ia hanya dapat mendengar mereka yang sedang melakukan penjagaan saja, dan para penjaga itu tidak membicarakan sesuatu yang penting mengenai Pangeran Bouw Ji Kong, juga tidak ada yang bicara tentang hilangnya kaisar yang terculik orang.

Sampai menjelang fajar ia menyelidiki namun tidak berhasil menemukan sesuatu yang penting. Ketika ia mengambil keputusan untuk meninggalkan atap gedung itu, tiba-tiba ia mendengar suara wanita menangis. Cepat ia melayang turun dan menghampiri kamar dari mana terdengar suara tangis itu.

Cuaca masih gelap sehingga ia dapat bersembunyi di balik jendela, melubangi daun jendela dan mengintai ke dalam kamar. Ia melihat Nyonya Bouw, isteri pangeran Bouw Ji Kong sedang duduk di kursi dan menangis tersedu-sedu. Ia merasa tertarik sekali. Pasti nyonya ini mengetahui sesuatu, mungkin mengetahui di mana suaminya berada dan mengapa suaminya menghilang.

Ia ingin masuk dan mendesak agar nyonya itu mau mengaku. Akan tetapi ia menahan gerakannya karena tiba-tiba pintu kamar itu terbuka dengan suara keras, agaknya didorong dari luar dan masuklah seorang kakek tua yang kurus berpakaian pelayan. Kakek tua itu adalah kakek pelayan yang pernah ia lihat dan menurut Nyonya Bouw bernama A-kui, seorang kakek yang tampak lemah. Akan tetapi sekarang ia sama sekali tidak tampak sebagai pelayan yang taat dan lembut karena ia membentak dengan suara bengis.

“Sudah berapa kali aku melarang engkau menangis! Apa kau ingin melihat kepala suamimu kupenggal dan kubawa di depanmu?”

Wanita itu menahan jeritnya dan ia meratap. “Ampuni aku...... ampuni suamiku...... ah, jangan bunuh suamiku !”

“Kalau begitu, diam dan jangan menangis. Sekali lagi aku mendengar engkau menangis, kepala suamimu akan kulempar di depan kakimu!”

Setelah berkata demikian, “pelayan” itu keluar dari kamar meninggalkan Nyonya Bouw yang menjatuhkan diri di atas pembaringan dan menyembunyikan mukanya di bantal untuk menahan suara tangisnya. Cepat sekali Siang Lan lalu melompat dan memasuki kamar itu melalui pintu yang terbuka tanpa mengeluarkan suara.

Ia menepuk tengkuk Nyonya Bouw sehingga wanita itu terkejut dan mengangkat mukanya memandang Siang Lan akan tetapi tidak dapat mengeluarkan suara karena Siang Lan telah menotoknya. Ia memberi isyarat agar wanita itu tidak terkejut dan mengeluarkan suara, kemudian setelah membantu wanita itu duduk, ia membebaskan totokannya dan berkata lirih.

“Bouw Hujin, cepat katakan di mana suamimu berada?”

Dengan tubuh gemetar nyonya itu menuding ke arah bagian belakang rumah. “Di ruangan bawah tanah......

ruangan rahasia suamiku ”

“Di mana letaknya?”

“Di kamar suamiku, dua pintu dari sini...... akan tetapi ruangan itu tersembunyi putar arca singa di sudut

kamar dan ada pintu rahasia di belakang almari terbuka ”

“Jangan khawatir, aku akan menolong suamimu. Apakah Sribaginda Kaisar juga berada di situ?”

Wanita itu mengangguk dan Siang Lan segera meninggalkan kamar itu. Hatinya berdebar tegang karena selain merasa girang sekali telah menemukan di mana Kaisar disembunyikan, juga amat khawatir akan keselamatan Sribaginda Kaisar. Ia segera mencari kamar Pangeran Bouw Ji Kong seperti yang ditunjukkan Nyonya Bouw tadi dan mudah saja menemukan kamar yang besar itu. Melihat pintunya saja sudah lain karena pintunya terhias ukir-ukiran indah. Akan tetapi tiba-tiba daun pintu itu terbuka dari dalam.

Secepat kilat Siang Lan menyusup ke belakang pot tanaman yang besar dan bersembunyi sambil mengintai. Ia melihat kakek kurus tadi memegang sapu dan di pundaknya tersampir sehelai kain yang biasa dipergunakan untuk membersihkan perabotan rumah. Kakek itu berjalan dengan langkah terseok lemah menuju ke bagian depan sambil menyeret sapunya. “Jahanam busuk!” Siang Lan mengutu dalam hatinya. Siapa dapat menyangka kakek yang tampak seperti seorang pelayan tua lemah itu yang telah menculik kaisar, bahkan telah menyekap Pangeran Bouw Ji Kong ke dalam ruangan bawah tanah!

Kalau menurutkan kemarahannya, ingin Siang Lan langsung menyerangnya. Akan tetapi ia bukan seorang gadis yang bodoh. Sebelum menghajar penculik itu, ia harus lebih dulu melihat keadaan kaisar dan menolongnya. Menyelamatkan Sribaginda Kaisar harus didahulukan dan ini lebih penting daripada menghajar penculik itu. Maka ia diam saja sampai kakek itu memasuki ruangan lain yang cukup jauh dan tidak tampak lagi. Baru ia memasuki kamar tidur Pangeran Bouw.

Mudah saja menemukan arca singa di atas meja di sudut kamar. Cepat didekati meja itu lalu diputarnya arca itu. Terdengar bunyi berderit perlahan dan sebuah almari yang menempel pada dinding tiba-tiba bergerak dan bergeser. Di belakang almari itu kini terbuka pintu menuju tangga ke bawah!

Dengan jantung berdebar tegang namun penuh kewaspadaan Siang Lan menuruni tangga itu. Setelah tiba di bawah ia memasuki lorong dan tiba di sebuah ruangan bawah tanah. Dilihatnya Sribaginda Kaisar dan Pangeran Bouw Ji Kong duduk di atas lantai dalam keadaan terikat kaki tangan mereka. Mereka berdua tampak pucat namun dalam keadaan sehat dan masih hidup!

“Yang Mulia!” Siang Lan berseru dengan gembira dan terharu. Cepat ia melepaskan ikatan kaki tangan kaisar, lalu melepaskan pula ikatan kaki tangan Pangeran Bouw karena kini ia yakin bahwa pangeran itu tidak bersalah dalam hal penculikan kaisar, bahkan dia sendiri juga ditawan.

Sementara itu, setelah Siang Lan meninggalkannya, Nyonya Bouw Ji Kong menjadi khawatir sekali. Ia lalu menyelinap keluar gedung melalui pintu belakang, membangunkan kusir dan memerintahkan kusir cepat menyiapkan kereta. Kemudian, Nyonya ini menunggang kereta dan minta kusirnya membalapkan kereta keluar halaman gedung.

“Bawa aku cepat ke rumah Panglima Chang Ku Cing!” perintahnya dengan tubuh dan suara gemetar.

Para pelayan yang terbangun tidak ada yang berani bertanya dan kusir itu biarpun menjadi keheranan tidak berani bertanya pula. Setelah tiba di pintu gerbang halaman gedung Panglima Chang, para penjaga menghentikan kereta itu. Akan tetapi mereka mengenal Nyonya Bouw dan ketika wanita itu mengatakan hendak menghadap Panglima Chang karena urusan penting sekali mereka membuka jalan.

Pada waktu itu, hari masih pagi sekali. Akan tetapi sepagi itu, Panglima Chang Ku Cing sudah bangun dan bahkan pada saat itu sudah menerima seorang pengunjung yang diterima di kamar tamunya. Pengunjung itu bukan lain adalah Bu-beng-cu.

Seperti kita ketahui, Bu-beng-cu berhasil memaksa Hwa Hwa Hoat-su mengaku bahwa mungkin sekali yang menculik kaisar adalah seorang datuk Pek-lian-kauw bernama julukan Cui-beng Kui-ong, akan tetapi Hwa Hwa Hoat-su tidak tahu di mana datuk itu menyembuyikan kaisar. Bu-beng-cu menceritakan kepada Panglima Chang betapa lihai dan berbahayanya datuk berjuluk Cui-beng Kui-ong itu. Dia juga menceritakan bahwa dia berbagi tugas dengan Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan yang kini menyelidiki gedung Pangeran Bouw.

Tiba-tiba percakapan mereka terhenti ketika seorang pengawal melaporkan bahwa Nyonya Bouw datang berkunjung. Ketika wanita itu diijinkan masuk, ia lari memasuki ruangan tamu dan menjatuhkan diri di atas lantai sambil terengah-engah dan tubuhnya menggigil saking tegang dan takutnya.

Panglima Chang segera menghampiri dan membantu nyonya itu bangkit dan dipersilakan duduk. “Bouw Hujin, apakah yang terjadi ?” tanyanya.

Posting Komentar