"Tidak mungkin....!! kata Suma Hui.
"Hui-ji, ingatlah. Urusan itu telah terlanjur diketahui Tek Ciang dan dengan bijaksana dia mau melanjutkan perjodohan itu. Seharusnya engkau berterima kasih. Bukankah itu merupakan jalan terbaik untuk menghapus noda dan aib dari nama keluarga kita? Bukankah engkau sendiri menolak jalan lain yang kutawarkan kepadamu? Nah, hanya inilah jalannya, bahwa engkau harus menjadi isteri Louw Tek Ciang, seorang isteri yang terhormat.!
Suma Hui menjadi bengong, tidak tahu harus berkata bagaimana. Tentu saja ia dapat melihat kebenaran kata- kata ibunya. Noda dan aib pada dirinya akan terhapus kalau ia menjadi isteri terhormat dari seorang pemuda, dan pemuda seperti Louw Tek Ciang bukan pilihan yang buruk. Apalagi bagi seorang yang telah kehilangan kehormatannya sepertinya itu! Tapi.... tapi.... ia mencinta Cin Liong! Bahkan setelah apa yang terjadi, biarpun ia sudah membenci Cin Liong, rasanya tidak mungkin ada pria lain yang menggantikan Cin Liong di dalam hatinya menjadi teman hidup di sisinya.
"Ohh, ibuuuu....!! Ia menubruk pangkuan ibunya dan menangis. Ibunya merangkulnya, ikut menangis dan membiarkan saja puterinya menangis terisak-isak sampai akhirnya Suma Hui dapat menguasai dirinya. Ia menyusut air matanya, lalu bangkit dan duduk kembali.
"Ayah, ibu.... sebenarnya ada satu saja cita-cita di dalam sisa hidupku, yaitu membunuh Kao Cin Liong.!
"Aku akan membantumu, sumoi!! tiba-tiba Tek Ciang berkata penuh semangat.
Suma Hui menoleh dan memandang kepada suhengnya atau tunangannya yang duduk di sebelah kanannya itu, lalu mendengus.
"Engkau jangan ikut campur urusanku ini!! Ucapannya keluar dengan jengkel mengingat bahwa kepandaian suhengnya amatrendah. Ia sendiri saja bukan tandingan Cin Liong, apalagi suhengnya yang belum ada seperempatnya.
"Hui-ji, jangan bersikap keterlaluan terhadap kemauan baik Tek Ciang,! kata Suma Kian Lee menegur puterinya.
"Ayah, dia ini mau bisa apa terhadap Kao Cin Liong? Ayah, dengarkan baik-baik. Ayah dan ibu, pendeknya, aku baru mau menikah dengan Louw-suheng kalau dia bisa mengalahkan aku dalam ilmu silat!!
"Hui-ji....!! ibunya menegur.
"Habis, apakah lebih baik kalau kukatakan bahwa aku hanya mau menikah dengan orang yang dapat mengalahkan aku?! balas puterinya menantang.
"Baiklah!! kata Suma Kian Lee.
"Akan tetapi ingat, seorang gagah takkan menjilat kembali ludahnya sendiri. Engkau sudah berjanji!!
"Saya tidak akan mengingkari janji!! bantah Suma Hui.
"Sewaktu-waktu suheng boleh mencoba kepandaiannya kepadaku!!
"Lihat saja nanti. Tek Ciang bukan saja akan dapat mengalahkanmu, bahkan dialah yang kelak akan dapat membalas dendammu terhadap jahanam Kao Cin Liong!! Akan tetapi Suma Hui sudah lari meninggalkan ruangan itu dan memasuki kamarnya di mana ia menjatuhkan diri di atas pembaringan dan menyembunyikan mukanya pada bantal.
Hati Suma Kian Lee marah melihat sikap puterinya itu, akan tetapi dia hanya berkata kepada Tek Ciang.
"Mulai hari ini, engkau harus mempersiapkan diri untuk mempelajari ilmu-ilmu silat dengan tekun agar dalam waktu singkat engkau akan sudah dapat melampaui Hui-ji!!
Pada saat Suma Kian Lee mengeluarkan kata-kata itu, muncul Suma Ciang Bun yang tadi melihat encinya berlari keluar dari ruangan itu sambil menutupi muka seperti orang menangis. Karena khawatir akan keadaan encinya, pemuda ini nekat memasuki ruangan dan dia masih sempat mendengar ucapan ayahnya kepada suhengnya itu. Hatinya merasa tak senang mendengar ayahnya hendak mengajarkan ilmu kepada suhengnya agar dapat melampaui encinya dalam waktu singkat. Apa artinya itu?
"Ayah, apakah yang telah terjadi? Kenapa enci Hui keluar dari sini sambil menangis?!
"Ciang Bun, mulai hari ini, encimu telah menjadi tunangan suhengmu,! Suma Kian Lee berkata tanpa menjawab pertanyaan tadi secara langsung.
"Ahhh....?! Suma Ciang Bun tertegun dan bengong karena tidak disangkanya bahwa suhengnyalah yang akan menjadi suami encinya, padahal encinya sudah mengalami aib. Melihat puteranya bengong saja sambil memandang Tek Ciang, Suma Kian Lee menegur.
"Bun-ji, di mana sopan santunmu? Sepatutnya engkau menghaturkan selamat kepada calon ci-humu (kakak iparmu)!!
Ditegur demikian, Ciang Bun terkejut dan diapun cepat memberi hormat kepada Tek Ciang sambil berkata.
"Suheng, kionghi (selamat)!!
"Terima kasih, sute,! jawab Tek Ciang dengan sikap malu-malu.
Malam itu Suma Hui tidak keluar dari kamarnya dan ketika ibunya datang menjenguknya, iapun tidak mau menemui ibunya, mengunci pintu dari dalam. Ibunya mengerti bahwa hati puterinya itu sedang dalam gundah, dan ia sendiripun tahu harus bagaimana untuk menghibur hati puterinya. Maka iapun membiarkannya saja dengan harapan bahwa pada keesokan harinya, setelah kedukaan hati puterinya mereda, ia akan bicara dan menghiburnya.
Akan tetapi, betapa kaget rasa hati Kim Hwee Li dan juga Suma Kian Lee ketika melihat bahwa kamar Suma Hui sudah kosong dan dara itu telah pergi membawa buntalan pakaian, meninggalkan sesampul surat di atas meja. Hanya sedikit tulisan yang ditinggalkan oleh dara itu di dalam suratnya, yaitu bahwa ia pergi untuk mencari dan membunuh Kao Cin Liong. Itu saja!
Suma Kian Lee menjadi marah.
"Anak yang tak tahu diri! Sudah ada bintang penolong berupa Tek Ciang dan ia masihbertingkah. Ia mencari Cin Liong mau apa? Apa yang akan dapat dilakukannya?!
"Biar aku menyusul dan membujuknya pulang,! kata isterinya.
"Hemm, kau kira mudah mencari anak keras hati itu kalau ia sudah mengambil suatu keputusan untuk melarikan diri? Ke jurusan mana engkau hendak mengejar dan mencarinya? Biarkanlah, ia tentu akan gagal dan akan pulang juga,! bantah suaminya dan Hwee Li tak dapat membantah. Memang iapun tahu akan kekerasan hati puterinya itu dan seandainya ia dapat mencarinya, hal yang tentu saja amat sukar karena puterinya sudah pergi sejak semalam, belum tentu puterinya mau dibujuknya untuk pulang.
Kekecewaan demi kekecewaan menimpa suami isteri pendekar itu ketika tiga hari kemudian, Ciang Bun juga pergi meninggalkan rumah tanpa pamit dan seperti juga encinya, pemuda remaja ini meninggalkan sepotong surat singkat yang menyatakan bahwa dia pergi untuk mencari encinya! Sungguhpun benar Ciang Bun pergi untuk mencari encinya, akan tetapi yang mendorongnya pergi bukanlah semata untuk mencari Suma Hui, melainkan karena pemuda ini merasa menyesal dan kecewa bahwa ayahnya telah mencurahkan perhatian sepenuhnya hanya kepada Tek Ciang saja, dan agaknya ayahnya sudah mengambil keputusan bulat untuk mengangkat Tek Ciang menjadi ahli waris ilmu silat keluarga mereka. Hal ini menyakitkan hati Ciang Bun, apalagi ditambah dengan kegelisahan hatinya melihat encinya pergi mencari Cin Liong, maka akhirnya pemuda inipun pergi tanpa pamit, karena kalau pamit tentu tidak akan diperkenankan.
Hati Kim Hwee Li yang merasa kecewa dan berduka ditinggalkan kedua orang anaknya itu dihiburnya sendiri dengan pendapat bahwa memang sudah sepatutnya kalau mereka itu, sebagai pendekar-pendekar muda, meluaskan pengalamannya dengan perantauan. Bukankah ia sendiri di waktu mudanya juga suka merantau dan hidup di alam bebas tanpa pengekangan segala peraturan rumah tangga dan keluarga?
Sedangkan Suma Kian Lee yang merasa kecewa dan marah itu menghibur hatinya dengan mencurahkan seluruh perhatiannya untuk menggembleng Tek Ciang, calon mantu dan juga pewaris ilmu-ilmunya. Dia menggembleng Tek Ciang mati-matian sehingga pemuda yang memang amat cerdik dan berbakat itu memperoleh kemajuan yang amat cepat.
Malam itu gelap sekali dan hawa udara amat dinginnya. Semenjak lewat tengah hari hujan lebat turun menyiram bumi dan setelah malam tiba, hujan berhenti akan tetapi angin malam menghembus kuat mendatangkan hawa dingin yang membuat orang malas untuk keluar dari dalam rumahnya. Apalagi malam itu gelap. Awan masih memenuhi udara menghalang sinar bintang dan menyelimuti kota Thian-cin dengan kehitaman. Sunyi dan dingin.
Akan tetapi Tek Ciang tidak memperdulikan kegelapan dan kedinginan malam itu. Dia harus pergi ke kuil kecil tua di luar kota itu. Dia telah berjanji kepada Jai-hwa Siauw-ok untuk datang ke kuil itu setiap minggu sekali. Selama beberapa bulan ini, Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng tidak pernah muncul. Akan tetapi Tek Ciang tetap datang tiap pekan sekali dan biarpun malam hari ini amat sunyi, gelap dan dingin, dia tetap memegang janjinya.
Pemuda ini maklum bahwa menghadapi seorang datuk seperti Jai-hwa Siauw-ok, dia harus memegang janji. Apalagi mengingat bahwa datuk sesat itu telah berjasa besar dalam hidupnya, bahkan juga yang memegang kunci rahasia pribadinya. Dia tahu bahwa berhubungan dengan datuk itu amatlah menguntungkan, baik sebagai sekutu ataupun sebagai guru. Sebaliknya, mempunyai seorang lawan seperti Jai-hwa Siauw-ok yang demikian sakti dan juga amat cerdiknya, amatlah berbahaya.
Setelah tiba di dalam kuil, Tek Ciang memasuki ruangan satu-satunya yang masih terlindung di kuil itu dan atapnya juga masih rapat. Dinyalakannya dua batang lilin seperti sudah mereka sepakati berdua. Dua batang lilin itu sebagai tanda rahasia mereka agar masing-masing dapat mengenal teman. Setelah dua batang lilin itu bernyala dan diletakkannya di atas lantai, diapun lalu duduk bersila menanti. Dia akan menanti sampai dua jam di tempat itu, seperti biasa. Kalau selama itu jai -hwa Siauw-ok tidak muncul, dia akan memadamkan lilin dan meninggalkan kuil, kembali ke rumah keluarga Suma dengan diam-diam tanpa diketahui oleh suhu atau subonya.
Bahkan pelayan hanya tahu bahwa dia pergi berjalan-jalan. Sekarang, menanti munculnya Jai-hwa Siauw-ok dilakukannya sambil berlatih samadhi seperti yang diajarkan oleh suhunya kepadanya. Selama kurang lebih enam bulan ini, dia telah digembleng secara hebat sekali oleh gurunya. bukan saja dalam gerakan ilmu silat tinggi, akan tetapi juga dalam latihan menghimpun tenaga sin-kang. Bahkan kini dia mulai dapat mempergunakan Hwi-yang Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Api) yang merupakan satu di antara ilmu-ilmu sakti dari Pulau Es! Maka dalam menanti munculnya Jai-hwa Siauw-ok, diapun tidak mau menyia-nyiakan waktu. Apalagi di kuil itu merupakan tempat yang amat baik untuk bersamadhi menghimpun tenaga dalam, selain tempatnya sunyi, juga malam itu dingin sekali, cocok untuk berlatih.
Tiba-tiba perhatiannya tertarik oleh suara yang amat lembut. Selama digembleng ini, panca inderanya menjadi peka sekali. Munculnya orang secara halus itupun dapat didengarnya dan diapun siap waspada karena tidak tahu siapa yang muncul. Tiba-tiba ada desir angin lembut. Dia terkejut dan sudah mengerahkan tenaga untuk menjaga diri dan semua urat syaraf di tubuhnya sudah menegang. Akan tetapi, desir angin yang tajam itu tidak menyerangnya, melainkan menyambar ke arah dua api lilin sehingga padam!
Melihat kenyataan ini, Tek Ciang terkejut sekali. Itulah serangan jarak jauh yang amat ampuh. Akan tetapi karena ditujukan untuk memadamkan lilin, diapun tahu bahwa yang datang itu tidak berniat jahat kepadanya.
"Siapa....?! bentaknya sambil meloncat berdiri.
"Sssttt.... Tek Ciang, aku sengaja memadamkan lilin-lilin itu!!
"Locianpwe....!! teriak Tek Ciang dengan girang ketika mengenal suara Jai-hwa Siauw-ok.
"Ssttt, jangan berisik. Cepat ke sini....! Suara itu berbisik.
Tek Ciang merasa heran karena jelas terdengar dari suara datuk itu bahwa dia sedang dalam keadaan bingung atau ketakutan. Diapun cepat ke luar melalui pintu belakang dan dalam cuaca yang hanya remang-remang karena kini sebagian awan telah disapu angin dan ada sekelompok bintang berkesempatan memuntahkan sinarnya ke bumi, dia melihat sesosok bayangan yang bukan lain adalah Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng. Tek Ciang cepat memberi hormat.
"Locianpwe, ada apakah....?! tanyanya heran.
"Aku berada dalam kesulitan. Aku dikejar oleh jenderal Kao Cin Liong....!
"Apa....? Di.... di mana dia....?! Tek Ciang terkejut bukan main mendengar ini.
"Sementara aku dapat terlepas dari bayangannya, akan tetapi dia tentu akan muncul juga.!
"Kenapa tidak dilawan saja, locianpwe?! tanya Tek Ciang penasaran.
"Ah, kau tidak tahu. Dia lihai sekali dan biarpun belum tentu aku kalah, aku sedang lelah dan aku telah terluka.... engkau harus dapat menolongku menghindarkan diri dari kejarannya, Tek Ciang.!