Kisah Pendekar Bongkok Chapter 82

NIC

"Tapi.... tapi.... ia merupakan bantuan bagi kami di rumah ini. Tanpa Ling Ling.... pakaian tidak tercuci bersih, masakanpun tidak enak rasanya...."

"Anjing kurus, engkau mencela aku lagi, ya?"

Bentak isterinya.

"Kalau kurang bersih, kau cuci sendiri pakaianmu, dan kalau engkau tidak menyukai masakanku, pergi sana makan di luar! Taihiap, kami memang berkeberatan kalau Ling Ling pergi karena.... karena...."

"Karena apa?"

Sie Liong mendesak. Wanita gendut itu beberapa kali menelan ludah, agaknya ia takut untuk bicara, akan tetapi dengan memaksa diri akhirnya ia berkata,

".... anak itu sudah delapan tahun bersama kami.... entah sudah berapa banyak kami mengeluarkan uang untuk memeliharanya, makannya.... pakaiannya...."

Sie Liong menahan diri untuk tidak menampar muka wanita itu.

"Hemmmm, jadi engkau merasa rugi? Katakanlah, berapa banyak hutang Ling Ling kepada kalian?"

"Sedikitnya seratus tail perak...."

Terdengar suara orang-orang mengomel panjang pendek. Banyak penduduk yang merasa keterlaluan sekali sikap orang tua angkat Ling Ling itu. Pada saat itu terdengar bunyi derap kaki beberapa ekor kuda dan ternyata yang muncul adalah Gumo Cali dan beberapa orang dusun lain yang tadi memimpin penyerbuan ke Bukit Onta. Gumo Cali cepat memberi hormat kepada Pendekar Bongkok dan dia menurunkan sebuah bungkusan kain dari atas kudanya.

"Sie Taihiap, tadi ketika kami menggeledah rumah para penjahat di puncak Bukit Onta, kami menemukan uang sebanyak tiga ratus tail perak. Kami semua bersepakat untuk menyerahkan uang ini kepada taihiap!"

Sie Liong tersenyum. Dia memang sedang bingung memikirkan bagaimana dia akan dapat membayar hutang Ling Ling kepada orang tua angkatnya itu, dan kini mereka datang menyerahkan uang, bukan seratus tail, bahkan tiga ratus tail! Kalau Tuhan hendak menolong, ternyata ada saja jalannya!

"Terimakasih!"

Katanya.

"Tolong ambilkan seratus tail perak dan serahkan kepadaku."

Gumo Cali membuka kantung itu dan mengeluarkan sepertiga bagian dari isi kantung. Gumpalan perak dari lima tail itu besar dan berkilauan, sebanyak dua puluh buah.

"Lihat, inilah uang yang telah kau keluarkan untuk Ling Ling!"

Berkata demikian, Sie Liong mengambil gumpalan-gumpalan perak itu dan melemparkannya ke arah dinding. Potongan potongan perak itu beterbangan dan menancap pada dinding, sampai masuk ke dalam, berjajar-jajar dua puluh lubang banyaknya. Tentu saja suami isteri itu memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat. Kalau saja gumpalan perak itu diarahkan kepada mereka, tentu akan remuk dada mereka dan pecah kepala mereka!

"Paman, harap sisanya paman bagi-bagikan kepada para gadis yang tadi menjadi korban penculikan. Nah, selamat tinggal dan Terimakasih!"

Bersama Ling Ling yang sudah lari mengambil pakaiannya dari dalam kamarnya dan memasukkan bekal pakaian itu dalam buntalan kain, Sie Liong lalu meninggalkan tempat itu. Mereka duduk menghadapi api unggun di bawah pohon dekat hutan besar itu. Hawa amat dinginnya walaupun udara cerah pada sore hari itu. Bahkan panasnya api unggun yang dihadapinya tidak cukup kuat untuk dapat mengusir hawa dingin yang dirasakan Ling Ling. Ia kadang-kadang masih menggigil. Melihat keadaan gadis ini, Sie Liong merasa kasihan dan dia membuka baju luarnya yang agak tebal, diselimutkan dari belakang ke tubuh gadis itu. Melihat ini, Ling Ling tersenyum dan menarik baju luar itu agar lebih banyak menyelimuti lehernya.

"Terimakasih...."

Katanya lirih dan iapun termenung memandang ke arah api unggun yang bernyala indah. Ia merasa betapa kedua kakinya nyeri, kiut-miut rasanya karena sehari itu mereka hampir terus menerus berjalan naik turun bukit. Ia tidak pernah mengeluh walaupun kakinya terasa seperti akan patah-patah, dan telapak kakinya terasa tebal dan panas sekali. Kelelahan membuat ia merasa lemas, ditambah pula rasa lapar karena sejak pagi tadi mereka tidak pernah makan apapun. Minumpun hanya dari sumber air yang mereka lewati di kaki bukit terakhir tadi.

Ia tidak tahu betapa pemuda itu sejak tadi mencuri pandang dan mengamati wajahnya. Ia merasa berbahagia! Biarpun ia merasa lelah bukan main, namun senyum manis tak pernah meninggalkan mulutnya, cahaya matanya tak pernah meredup, dan wajahnya berseri-seri. Apa lagi karena banyak bergerak jalan sepanjang hari, kedua pipinya menjadi kemerahan, puncak pipi di bawah dan kanan kiri mata bagaikan buah tomat masak. Sie Liong duduk di seberang api unggun. Dari atas nyala api, dia dapat memandang wajah gadis itu dengan jelas. Cuaca sudah mulai suram, akan tetapi cahaya api yang kuning kemerahan menimpa wajah yang manis itu. Diam-diam dia kagum sekali kepada Ling Ling. Sudah sepekan gadis itu melakukan perjalanan dengan dia. Sengaja dia membawa Ling Ling merasakan kelelahan, kekurangan makan dan minum, kepanasan dan kedinginan.

Namun, gadis itu selalu tersenyum, tak pernah mengeluh. Dia sengaja menguji karena dia belum yakin apakah benar gadis ini hendak nekat ikut dengan dia mengembara dan hidup serba kekurangan. Dan selama sepekan ini, dia mendapatkan kenyataan bahwa memang gadis ini hebat! Seorang gadis yang lemah badannya karena tidak pernah mempelajari silat, akan tetapi yang memiliki batin yang amat kuat, semangat membaja dan pantang mundur! Seorang gadis yang sama sekali tidak cengeng. Timbullah perasaan iba dan suka dalam hatinya terhadap Ling Ling. Agaknya Ling Ling merasa bahwa dirinya dipandang. Ia mengangkat muka dan pada saat itu, pandang matanya bertemu dengan pandang mata Sie Liong. Dua pasang mata bertemu pandang dan bertaut agak lama. Akhirnya Sie Liong yang mengalihkan pandang matanya, merasa tidak enak memandang orang terlalu lama dan penuh perhatian.

"Liong-ko, ada apakah? Engkau memandangku seperti hendak mengatakan sesuatu."

Sie Liong memandang padanya dan tersenyum.

"Aku hanya ingin bertanya apakah engkau masih kedinginan, Ling Ling?"

Ling Ling merapatkan baju luar yang tebal itu dan tersenyum makin lebar.

"Tadi memang, akan tetapi sekarang tidak lagi. Hangat dan nyaman, Liong-ko."

Mereka diam sejenak.

"Lelah....?"

Terdengar Sie Liong bertanya. Gadis itu mengangkat mukanya dan kembali mereka bertemu pandang. Ia mengangguk.

"Akan tetapi, betapa nyaman dan enaknya beristirahat seperti ini setelah merasa kelelahan!"

"Kakimu terasa nyeri?"

Sejenak Ling Ling tidak menjawab, mengatupkan bibirnya rapat-rapat, dan memandang kakinya, menarik kedua kakinya dari bawah untuk diluruskan. Gerakan ini mendatangkan perasaan nyeri bukan main, akan tetapi ia tidak mengeluh, hanya matanya tergetar sedikit dan juga bibirnya dikatupkan makin kuat. Akan tetapi ia menggeleng kepala.

"Tidak, tidak nyeri...."

Hening lagi sejenak. Dalam keheningan ini, pendengaran Sie Liong yang terlatih dan amat peka itu mendengar suara perut gadis itu berkeruyuk, seperti juga perutnya sendiri yang sejak tadi berkeruyuk.

"Lapar....?"

Tanyanya sambil menatap wajah itu. Ling Ling mengangkat muka dan kembali mereka bertemu pandang. Gadis itu tersenyum dan menggelengkan kepalanya, sambil menambahkan kayu kering pada perapian di depannya.

"Ling Ling, aku melihat engkau seorang gadis yang tabah dan jujur, akan tetapi mengapa engkau membohongi aku?"

Gadis itu nampak terkejut sekali. Sebatang ranting yang dipegangnya terlepas dan matanya terbelalak ketika ia memandang kepada pemuda itu. Sepasang alisnya berkerut dan suaranya terdengar heran,

"Aku? Bohong?"

Sie Liong menganguk dan tersenyum.

"Baru saja dua kali engkau berbohong kepadaku. Kakimu nyeri sekali dan engkau mengatakan tidak, perutmu lapar dan engkau juga mengatakan tidak. Bukankah itu bohong namanya?"

Wajah yang tadinya menjadi agak pucat itu merah kembali, dan sepasang mata itu berseri kembali.

"Aih, Liong-ko, engkau mengejutkan aku. Kiranya itu yang kaunamakan bohong. Itu bukan bohong, koko, melainkan untuk melawan keadaan dan untuk menguatkan hati."

"Hemm, apa pula maksudnya itu?"

"Sebelum kujawab, aku ingin tahu bagaimana engkau begitu yakin bahwa kakiku nyeri dan perutku lapar?"

"Kita sudah berjalan sehari, naik turun bukit, sudah sepatutnya kalau kakimu nyeri dan ketika engkau meluruskan kakimu tadi, jelas nampak pada wajahmu bahwa engkau menahan rasa nyeri. Sejak pagi kita belum makan lagi, sudah sepantasnya kalau perutmu lapar, dan tadi, aku mendengar perutmu berkeruyuk."

Ling Ling tertawa dan menutupi mulutnya. Ia merasa lucu, juga merasa malu.

"Ih, engkau membikin aku malu saja, koko. Telingamu usil amat sih, mendengarkan bunyi perut orang! Sekarang aku jawab pertanyaanmu tadi. Memang kakiku nyeri, habis mengapa? Andaikata aku mengaku nyeripun, pengakuan itu tidak akan mengurangi rasa nyeri, bahkan akan menambah. Maka aku membohongi diri sendiri saja, mengatakan tidak nyeri sehingga rasa nyeri banyak berkurang. Demikian pula tentang perutku yang lapar. Kalau aku mengaku lapar juga tidak akan ada sesuatu yang dapat kumakan. Lebih baik mengaku tidak lapar agar rasa laparnya berkurang. Ketika tadi engkau bertanya apakah aku lelah dan dingin, aku menjawab ya karena di sini ada tempat beristirahat menghilangkan lelah dan api unggun penahan dingin. Nah, jelas, kan? Aku bukan pembohbng, ya koko?"

Kalimat terkahir ini terdengar manja seperti rengek kanak-kanak sehingga Sie Liong memandang dengan senyum dan hatinya terharu karena dia teringat kepada Yauw Bi Sian. Teringat dia betapa ketika masih kecil, Bi Sian yang tidak mempunyai teman lain kecuali dia, juga suka merengek seperti ini kalau minta sesuatu kepadanya. Dan seperti juga dahulu, ketika dia selalu menuruti permintaan Bi Sian kalau keponakannya itu sedang merengek, kinipun ia menuruti permintaan Ling Ling dan dia mengangguk.

"Engkau memang bukan pembohong, Ling Ling. Dan sekarang aku akan membuat pengakuan."

Kini gadis itu yang memandang heran dan penuh selidik.

Posting Komentar