pikirnya.
"Apakah nenek tua ini adalah ibu Siau-pa ong! Kalau tidak..."
Karena perasangkanya ini, mendadak ia ayun seruling samber nyawa keras keras sehingga bersuit nyaring bersama itu Potlot masnya bergerak melintang menahan kedepan, jurus ini merupakan intisari dari kekuatan ilmu Jan-hun-su-sek, hanya cara serangannya ia rubah sedikit, yaitu potlot mas yang seharusnya ia tusukkan kedepan ia rubah melintang terus mendesak maju.
Dibawah tekanan ilmu tunggal yang tiada taranya di dunia persilatan ini, betapapun si nenek sudah nekad juga tak kuasa lagi menerjang masuk kedalam penjagaan jurus yang ampuh ini, malah dengan mendengus keras ia tersurut mundur tiga langkah.
Setelah sejurus mendesak mundur lawan, Giok-liong baru berkesempatan buka bicara.
"Tiada juntrungannya kita bertempur, kenapa kau tidak tahu aturan !"
Si nenek semakin beringas, semprotnya gusar.
"Tiada juntrungannya ! Penasaran anakku, kejengkelan menantuku dan cucu perempuanku harus mengandal siapa coba katakan ! Katakan ? Kau mau bicara tidak?"
Di mulutt ia mendesak orang untuk bicara, sebaliknya tangannya tidak menanti orang buka mulut, serentak ia tarikan lagi selendang di kedua tangannya, terus menubruk maju lagi untuk kedua kalinya, giginya berkerut penuh dendam seperti kesurupan setan.
Kelihatannya ia sudah kehilangan kesadarannya.
Giok-liong berpikir lagi, kiranya tepat dugaanku, ternyata Siau-pa-ong masih mempunyai keluarga.
Sinar perak berkembang rapat memenuhi udara melingkar lingkar berwujud berpuluh bundaran besar kecil yang indah, membawa kirasan angin yang kencang menderu laksana derap langkah berlaksa kuda yaag tengah berlari kencang terus menerjang datang.
Mega putih mulai berkembang, Dibawah lindungan hawa Ji lo, Giok-liong berkelebat melejit kesamping dimana Siau-paong tengah semadi, Menunjuk kearah Siau pa-ong ia berteriak kepada sinenek .
"Orang tua, lihatlah putramu ini terluka berat ..."
"
Tak di duga si nenek malah semakin murka sambil membanting kaki ia menerjang lagi dengan serangan yang lebih hebat, bentaknya.
"Bangsat kecil, kau masih pintar main lidah!"
Dua larik lingkaran sinar perak serentak menggulung dari kanan kiri, sebelah kiri melingkar hendak menggubat sedang se-lendang kanan menyebut menyapu muka.
Sekarang Giok-liong menghadapi dua serangan dari dua jurusan yang berlawanan, untung ia sudah kerahkan hawa Jilo pelindung badan, kalau tidak pundaknya tulang tuIangnya pasti patah atau remuk kena digubat.
Walau demikian tak urung ia rasakan pundak kirinya menjadi kesemutan, seruling samber nyawa lantas terasa semakin berat bobotnya.
Karena kena kebutan senjata lawan inilah lantas menimbulkan kemarahan Giok-liong "Nenek tua, kau terlalu mendesak orang!"
Pancaran cahaya Potlot masnya semakin terang cemerlang, demikian juga irama seruling semakin merdu dan keras lantang perbawanya semakin hebat.
Kini yang terlihat hanyalah sebuah bayangan putih terbungkus di dalam putaran cahaya kuning mas dan kilauan cahaya putih tengah berputar dan bergerak lincah seperti angin lesus.
Saking cepat ia bergerak sulit membedakan apakah itu jurus serangan potlot mas atau tusukan Seruling sambar nyawa, kiri kanan, depan belakang, timur, selatan, barat dan utara seluruhnya terbungkus dalam sinar kuning dan cahaya putih perak.
Saking marahnya Giok-liong tidak hiraukan lagi segala akibatnya karena tanpa khawatir lagi perbawa serangannya ini bertambah berlipat ganda.
Beruntun terdengarlah suara berlainan saling susul lalu terdengar pula jerit gusar yang penasaran, tahu-tahu selendang perak panjang itu kini terbang melayang ditengah udara terlepas dari cekalan tangan si nenek.
Saking keras kisaran angin yang diierbitkan oleh putaran Potlot mas, sehingga selendang perak iiu tergulung melayang tinggi ketengah udara lama sekali terus berkembang baru melayang jatuh ditanah.
Si nenek berpakaian abu abu itu kelihatan terhuyunghuyung mundur tak kuasa berdiri tegak.
Kedua lengannya lemas semampai, terang ia sudah menderita luka yang sangat parah.
Wajahnya kelihatan pucat pasi, desisnya penuh kebencian.
"Bocali keparat, ingat kejadian hari ini!"
Laksana daun melayang jatuh dengan sempoyongan ia melejit tinggi, maksudnya hendak tinggal pergi saja.
Tak duga sesaat waktu badannya masih terapung di tengah udara.
Mendadak dari semak belukar sana berbareng melesat keluar puluhan bayangan hitam, puluhan jalur angin pukulan dilancarkan ditengah udara dari kejauhan, semua serangan tertuju kearah yang sudah terluka parah itu.
Terdengarlah lolong panjang yang mengerikan dari jiwa yang meregang sebelum ajal.
Seketika Giok liong sampai kesima kaget ditempatnya.
Hujan darah terjadi ditengah udara, darah tercecer keempat penjuru.
"Bluk!"
Jazat si nenek tua terbanting keras dari tengah udara.
Ternyata para bayangan hitam itu masih tidak memberi ampun lagi, serentak mereka lancarkan pula pukulan angin jarak jauh meluruk kearah badan yang sudah menggeletak tak bergerak itu, Kareaa jiwa sudah melayang sebelum jatuh ditanah ra-di, seketika badan si nenek htncur lebur seperti bergedel susah dikenali lagi.
Dalam pada itu, Siau-pa oug sudah selesai dengan usaha pengobatan dirinya, meskipun belum sembuh seluruhnya tapi ia sudah membuka mata, melihat adegan yang seram itu seketika ia duduk terlongong-longong.
Giok-liong menjadi serba kikuk juga sangat menyesal baru saja ia bermaksud maju memberi penjalasan kepada pecut sakit penghipap darah Koan It-kiat dan muridnya, Mendadak Koan It-kiat bergelak tawa lantang.
"Hahahahaha! Hahahaha! Hehehehe!"
"Cian-pwe urusan ini....."
"Ma Giok-Iiong, kejadian kali ini tidak menguntungkan bagimu?"
"Maksud Cian-pwe ?"
"Ketahuilah Hwi-hun-san-cheng tidak akan terima dihina semena-mena!"
"Apa Hwi-hun-san cheng?"
"Apa kau tidak kenal si nenek tua itu?"
"Bukankah ia ibu muridmu?"
"
"Huh! Koan It-kiat berludah sambil menyeringai acuh tak acuh, ia mendesis dingin.
"Buyung, ketahuilah nenek tua ini adalah ibu Hwi hun-chiu Coh Jian kun majikan dari Hwi-hunsan- cheng itu. Ketenaran nama Coh Jian-kun sebagai Bulim Bing-cu selama lima puluh tahun masih tetap jaya! Bencana sudah terang harus kau pikul!"
Kata-kata ini laksana sebuah pentung yang mengemplang diatas kepalanya laksana guntur menggelegar disiang hari bolong.
Otak Giot-liong serasa seperti dipukul godam menjadi pusing dan berat, sesaat ia berdiri menjublek seperti kehilangan kesadaran tanpa bersuara.
Tubuhnya kaku seperti patung kayu berdiri tegak ditempatnya.
Pecut sakti penghisap darah Kaon lt kiat sendiri juga tidak tahu akan seluk beluk persoalan yang scbs.ulnya, taPi melihat orang melongo lantas ia mengejek.
"Kau takut ? Sudah menyesal"
Giok liong masih tetap tak bergerak dan bicara, sebab dia tengah berpikir.
Bagaimana ini bisa terjadi? Bagaimana mungkin dia adalah nenek diri istri tercinta ? Kalau ini betul betul kenyataan ....Bagaimana aku harus memberi penjelasan kepada Coh Ki sia ? Peristiwa yang terdahulu ia sudah berbuat salah dan dosa kepada kedua orang tua yaitu Coh Con Jian-Min dan Tam kiong sian cu Hoan Ji-hoa, sekarang ..Tuhan agaknya memang sengaja hendak mempermainkan umatnya ? Ataukah memang hidupku ini yang harus menderita? Giok-liong semakin tenggeIam dalam alam pikirannya.
Terdengar Pecut sakti penghisap darah Koan It-kiat kembali tawa ejek .
"Bagus! selama hidup waktu muda dulu Pang Giok dengan Potlot mas tunggalnya malang melintang namanya tenar sehingga diberi julukan Bulim-sucun. Kau sendiri Giok liong belum lama berkelana di Kangouw ini ternyata sudah mempunyai musuh sedemikian banyak tidak suka. ! Yang harus dibayangkan adalah ketenaran dan keharuman nama Pang Giok dan keempat bayangan senjata rahasia Potlot mas kecilnya itu. sepatah laksana golok sekata seperti anak panah golok dan anak ini menusuk ke sanubari Giok liong rasanya terhunjam sangat dalam terasa merddu. Tiba tiba sorot matanya berkilat terang, bahwa nafsu membunuh menjalar dimukanya, bentaknya dergan bengis . Koan It-kiat, Apa yang kau maksudkan"?"
"Coba kau pikir sendiri, ditempat ini dalam waktu sekarang ini siapa yang harus kusebutkan ?"
"Omong kosong belaka ?"
Serempak bayangan hitam bergerak-gerak, puluhan manusia aneh-aneh seragam hitam bergerak maju merubung datang berkumpul menghadang Giok liong, berbareng mereka menjura kepada Giok-Iiong seraya berseru bersama.
"Tak perlu Siau hiap turun tangan kami tunggu sekejap petunjukmu saja!"
"Kenyataan lebih menang dari berdebat, demikian teriak Pccut sakti penghisap darah Koan It-kiat.
"Apa lagi yang dapat kau katakan ?"
Giok liong menjadi melenggong tak tahu apa yang harus diperbuatnya, dengan terlongong dan tak habis herannya ia mengawasi orang orang aneh seragam hitam itu. Kata koan It kiat pula.
"Kalau kalian hendak mengeroyok ! Marilah turun tangan"
Pecut masih berada ditangan Koan lt kiat.
"Kalau tidak malas aku melihat tampangmu sebagai murid Pang Giok yang memalukan perguruan, sudahlah aku hendak kembali tidur!"
Tanpa menanti penyahutan Giok-long, sambil tertawa dingin ia menggape kepada Siau Pang ong, ujarnya.
"Hayo pulang!"
Sekali berkelebat ia menyelinap hilang didalam hutan.
Menghilangnya bayangan Koan It kiat guru dan murid hati Giok liong semakin merasa kesepian dan hampa.
Hati seperti kosong tak punya juntrungannya lagi.
Dalam pada itu para orang aneh seragam hitam itu masih berdiri tegak disekelilingnya mereka mematung diam tanpa bersuara.
Akhirnya menimbulkan kemarahan Giok liong yang tak tertahan lagi hardiknya.
"Ka-lian dari mana?"
"Hamba sekalian dari Kau-tong ( sekte anjing ) dihutan kematian..."
"Baik, lihat pukulanku !"
"
Boleh dikata kebencian Giok-liong sudah memuncak tak terkendali lagi, dimana setelah tangannya melancarkan pukulan baru mulutnya bersuara.
"Hayo."
"Aduh !" - "Tobat !"
Pekik dan teriakan jiwa yang rnerenggang sebelum ajal gegap gempita saling susul menggetarkan pinggir hutan belantara.