Pedang Ular Merah Chapter 23

NIC

"Jiwi siapakah dan ada keperluan apa kiranya menghadang perjalanan kami?"

"Kaukah yang bernama Hek pa cu Teng Sun?" tanya Tiong Kiat.

"Benar dugaanmu saudara muda yang gagah. Siapakah kalian ini dan keperluan apakah yang membawamu datang ke tempat ini?"

"Hek pa cu! Tak usah kau tahu siapa kami, akan tetapi kedatangan kami ini untuk menamatkan riwayatmu yang buruk! Kau telah memaksa gadis she Gu untuk menjadi bini mudamu! Apakah ini laku seorang jantan? Kau mempergunakan pengaruhmu untuk menakut-nakuti penduduk dusun, untuk mengganggu anak bini orang. Sungguh tidak patut!"

Tiba-tiba Hek-pa-cu Tang Sun terbahak-bahak tertawa mendengar makian-makian ini. la anggap sangat lucu seorang pemuda yang tampak lemah bersama dengan seorang gadis cantik ini berani memaki dan menentangnya! Bahkan orang orang kang-ouw yang ternama saja masih akan berpikir-pikir dulu untuk menantangnya bagaimana dua orang muda yang masih seperti kanak-kanak ini berani berlaku kurang ajar kepadanya?

"Ha, ha, ha, bocah yang masih hijau! Kau perduli apakah dengan segala urusan dan kesenanganku? Kalau kau mau mengambil gadis she Gu itu, ambillah. Aku rela melepaskannya asal saja kau tinggalkan kawanmu itu sebagai gantinya!"

Bukan main marahnya Tiong Kiat mendengar ini, akan tetapi ia kalah dulu oleh Kui Hwa yang juga menjadi luar biasa marahnya.

"Jahanam besar, kau sudah bosan hidup!" teriak Kui Hwa dan tahu-tahu ia telah menyerang Hek-pa-cu dengan pedangnya! Gerakannya amat cepat bagaikan kilat menyambar sehingga kepala perampok itu terkejut sekali. Ia cepat mengelak, akan tetapi ujung sorbannya masih terbabat! Tak disangkanya bahwa gadis cantik ini mempunyai kepandaian demikian hebatnya, maka tahulah dia bahwa ia menghadapi lawan yang tangguh. Cepat ia menarik senjatanya yang hebat itu dan bertempurlah mereka dengan seru.

Sementara itu, Tong Kiat juga sudah mencabut pedang Ang coa-kiam dan sekali ia memutar pedangnya, dua orang anggauta Sorban Merah roboh mandi darah! Anak buah gerombolan Sorban Merah itu berteriak teriak marah dan semua mencabut golok mereka, akan tetapi kembali beberapa orang roboh oleh Tiong Kiat ketika pemuda ini menerjang ke depan! Dalam waktu yang amat singkat saja sudah ada delapan orang yang binasa di ujung pedang Ang coa-kiam! Penjahat-penjahat itu menjadi gentar juga dan merasa ragu-ragu untuk mengeroyok Tiong Kiat.

"Moi moi, kau uruslah anjing-anjing ini, biar aku menolong nona Gu!" Tiong Kiat berseru dan tanpa menanti jawaban kekasihnya, ia lalu berlari ke arah rumah besar di mana Loan Li ditahan. Di situ ia disambut oleh beberapa orang penjaga, akan tetapi mereka bukanlah lawan Tiong Kiat yang lihai, maka bertumpuk-tumpuklah mayat anak buah Sorban Merah, ketika pemuda ini mengamuk sambil menyerbu ke dalam rumah. Sementara itu, pertempuran yang terjadi antara Kui Hwa dan Teng Sun berjalan amat serunya, Hek pa-cu Teng Sun ternyata memang pandai dan kosen. Senjatanya yang besar dan berat itu diputar sedemikian rupa, mendatangkan angin besar dan celakalah Kui Hwa kalau satu kali saja senjata itu mengenai tubuhnya! Senjata ini beratnya sedikitnya ada dua ratus kati dan dimainkan dengan tenaga yang luar biasa kuatnya. Akan tetapi Kui Hwa mempergunakan ginkangnya yang luar biasa sehingga tubuhnya seakan-akan merupakan seekor burung yang menyambar-nyambar dari segala jurusan. Pedangnya berkelebat-kelebat merupakan segulung sinar putih dan tubuhnya kadang kadang mumbul ke atas, melayang dan menyambar dari atas dengan kecepatan luar biasa!

Setelah bertempur lima puluh jurus lebih, Teng Sun merasa terdesak hebat. Pedang di tangan dara manis itu benar-benar amat lihai. Gerakan pedang yang cepat, ditambah pula oleh ginkang yang luar biasa membuat gadis itu kadang-kadang lenyap dari depan matanya. Kalau saja Teng Sun tidak bersenjata penggada yang besar dan berat yang diputar-putar sedemikian rupa sehingga Kui Hwa harus berlaku hati-hati, tentu kepala gerombolan ini sudah roboh sejak tadi!

"Kawan-kawan, bantulah menangkap gadis liar ini!" Teng Sun berseru keras kepada kawannya karena la benar-benar telah kewalahan sekali. Beberapa orang tauwbak (pemimpin gerombolan pembantu-pembantunya) yang semenjak tadi berdiri bengong menonton pertempuran itu, bergerak maju hendak mengeroyok. Mereka adalah empat orang yang bertubuh tinggi besar yang dipilih oleh Hek-pa cu Teng Sun sebagai pembantu-pembantunya. Akan tetapi belum juga mereka dapat menggerakkan golok, tiba-tiba Kui Hwa berseru nyaring dan keras. Tubuhnya melompat ke atas sampai hampir dua tombak, dan dengan gerakan Merak Sakti Mematuk Ular, pedangnya meluncur dari atas ke bawah, melakukan serangan yang luar biasa cepat dan kuatnya! Gerakan ini benar benar mengandalkan ginkang yang sempurna, sehingga tidak terduga sama sekali oleh Hek-pacu Teng Sun. Percuma saja ia mengangkat penggadanya untuk menghantam tubuh yang melayang ke atas itu, karena baru saja ia mengangkat penggadanya, pedang di tangan Kui Hwa telah menyambar dan menancap di tenggorokannya!

Hek-pacu Teng San mengeluarkan suara seperti seekor babi disembelih, tubuhnya terhuyung-huyung, penggadanya terlepas dari pegangan dan ia lalu roboh tak bernapas lagi! Dengan wajah keren, Kui Hwa menghadapi empat orang tauwbak dan para anak buah gerombolan dengan pedang di tangan.

"Siapa telah bosan hidup? Hayo majulah! Biarlah hari ini pedangku membasmi gerombolan Sorban Merah sampai ke akar akarnya!" Sikapnya demikian gagah dan garang sehingga empat orang tauwbak itu saling pandang dan kemudian mereka berempat lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Kui Hwa! Kawan kawannya yang puluhan banyaknya ketika melihat empat orang pemimpin itu berlutut, segera menjatuhkan diri pula berlutut sambil meletakkan senjata di atas tanah. Inilah tanda menyerah dan takluk terhadap gadis yang gagah perkasa itu.

"Lihiap yang gagah perkasa. Sepak terjangmu demikian gagah dan amat mengagumkan hati kami seluruh anggauta Sorban Merah. Lihiap jauh lebih gagah dari pada Hek-pa-cu Teng Sun, maka kami seluruh anggauta Sorban Merah menyerah dan mohon ampun dari lihiap. Sudilah kiranya lihiap memimpin kami orang orang bodoh menggantikan kedudukan Hek-pa cu!"

Untuk sesaat, gadis itu berdiri bengong. Tak disangkanya sama sekali bahwa orang-orang yang tinggi besar dan galak itu kini semua berlutut memberi hormat kepadanya, bahkan memilihnya sebagai kepala mereka! Ia tak dapat menjawab, dan akhirnya ia berkata perlahan,

"Aku Can Kui Hwa bukanlah keturunan perampok bagaimana kalian mau mengangkat aku menjadi kepala perampok?"

"Lihiap, harap jangan salah sangka," berkata seorang diantara empat orang tauwbak itu,

"Sesungguhnya rombongan Sorban Merah bukanlah gerombolan perampok. Perkumpulan kami dulunya merupakan perkumpulan orang orang gagah yang bekerja dengan cara jujur, menjaga keamanan kampung-kampung dari serbuan perampok, mengawal pengiriman barang barang atau orang-orang hartawan yang melakukan perjalanan Jauh, dan di samping pekerjaan itu, kami memperdalam kepandaian silat. Semenjak Hek pa-cu datang dan merampas kedudukan ketua, kami diselewengkan dan terpaksa mengikuti jejaknya. Kami kini telah bertobat, dan asal saja lihiap sudi memimpin kami, perkumpulan Sorban Merah akan menjadi perkumpulan yang baik lagi."

Akan tetapi pada saat itu, Kui Hwa teringat kepada Tiong Kiat, maka ia segera bertanya,

"Di manakah adanya kawanku tadi? Dan bagaimanakah dengan nasib nona Gu Loan Li?"

"Kawanmu itupun hebat dan ganas sekali lihiap. Banyak kawan kami telah mati di dalam tangannya. Nona Gu yang ditahan di dalam kamar, telah dirampas dan dibawa lari oleh kawanmu itu."

"Kalau begitu biarlah urusan pengangkatan ketua ini nanti saja dibicarakan lagi setelah aku dapat bertemu dengan kawanku. Dia adalah suhengku dan kalau kalian hendak mencari seorang pemimpin, dialah orangnya, bukan aku!" setelah berkata demikian, sekali ia menggerakkan kedua kakinya, Kui Hwa telah lenyap dari situ, membuat para anggota Sorban Merah menjadi makin kagum saja.

Dengan cepat Kui Hwa berlari kembali ke dusun tempat tinggal Loan Li. Akan tetapi, ketika ia tiba di rumah keluarga Gu Seng, ternyata bahwa keluarga itu masih menanti-nanti dan Tiong Kiat bersama nona Gu belum juga tiba di rumah itu!

Kui Hwa menjadi heran dan juga bercuriga. Tanpa berkata sesuatu kepada keluarga yang memandang penuh kegelisahaan itu, ia melompat pergi dan kembali ke dalam hutan. Ia mencari-cari sampai hari menjadi gelap, akan tetapi ia tak melihat bayangan suhengnya dan nona Gu yang ditolongnya itu. Akhirnya ia kembali lagi ke dusun dan menuju ke rumah keluarga Gu. Lalu apakah yang didengarnya? Keluh kesah dan tangis yang memilukan! Kui Hwa merasa tak enak hati sekali dan cepat ia masuk ke dalam rumah itu lalu menuju ke ruang belakang. la melihat Gu Seng duduk sambiI menangis dan ketika melihat Kui Hwa datang, kakek itu berkata,

"Tidak ada gunanya pertolonganmu nona. akhirnya anakku tertimpa bencana juga!" Kui Hwa terkejut sekali. Ia memegang lengan kakek itu dengan keras sehingga Gu Seng memandangnya dengan kaget dan kesakitan.

"Hayo lekas ceritakan apa yang terjadi dan di mana adanya suhengku!"

Kakek itu memandang heran.

"Nona, benar-benarkah kau tidak tahu? Suhengmu telah mengantarkan Loan Li pulang dengan selamat, akan tetapi begitu masuk ke kamarnya Loan Li telah menggantung diri sampai mati! Ternyata........ kau dan suhengmu........ datang terlambat..... dan dia .... anakku itu telah menjadi korban keganasan Hek pa cu.......!" Kakek itu mendekap mukanya dan menangis lagi.

Kui Hwa menjadi pucat air mukanya, dan setelah termenung sebentar, mengerahkan otak untuk berpikir, ia lalu memegang lagi tangan kakek itu dan berkata,

"Apakah yang terjadi? Mengapakah Loan Li menggantung diri!"

"Inilah suratnya, lihiap. Kau bacalah sendiri""." Kakek itu memperlihatkan sehelai kertas yang ditinggalkan oleh Loan Li yang bernasib malang. Surat itu ternyata ditulis dengan tangan gemetar, merupakan empat baris pantun sederhana yang berbunyi demikian: Mengusir harimau dengan pertolongan srigala Apa bedanya? Hanya satu Jalan membebaskan diri dari noda. Tinggalkan raga!

"Aku juga tidak tahu apakah artinya tulisan ini lihiap. Akan tetapi ia menyebut tentang membebaskan diri dari noda, maka mudah sekali diduga bahwa ia tentu telah menjadi korban keganasan Hek-pa-cu!" kata Gu Seng dengan suara sedih. Akan tetapi wajah Kui Hwa makin pucat. Jari-jari tangan yang memegang surat itu menggigil sehingga surat itu terlepas dan melayang turun.

"Di mana suhengku!" tanyanya dengan suara berat dan bibir gemetar.

Gu Seng yang baru berduka tidak melihat perobahan ini dan ia berkata,

"Taihiap tentu sedang beristirahat di ruang depan. Maafkanlah kami yang tidak dapat menghormat dan menjamu kalian yang telah menolong kami."

Akan tetapi Kui Hwa telah pergi, tanpa menanti habisnya ucapan itu. Dan ketika ia berdiri di depan Tiong Kiat yang duduk menghadapi arak di ruang depan, Kui Hwa merupakan seekor singa betina yang marah sekali!

"Moi-moi, kau baru datang? Bagaimana dengan Hek pa cu? Sudah kau kirim ke neraka?" Ia bertanya sambil tersenyum manis.

Akan tetapi Kui Hwa memandang bagaikan hendak menelan suhengnya itu. Matanya memancarkan sinar berapi dan ia berkata tegas dan singkat,

"Ji-suheng, mari kita keluar. Tidak perlu kita ribut-ribut di rumah orang!" Setelah berkata demikian, Kui Hwa melompat keluar dan menanti suhengnya di tempat sunyi dalam dusun itu.

Tak lama kemudian, tampak bayangan Tiong Kiat berkelebat dan pemuda ini berdiri di hadapannya dengan tenang sungguhpun senyumnya yang tadi telah lenyap.

"Ada apakah, sumoi? Sikapmu aneh sekali."

Sebagai jawaban Kui Hwa menghunus pedangnya.

"ji-suheng, ingatkah kau bahwa aku telah mengorbankan segalanya karena setiaku kepadamu? Aku telah mengorbankan guru, ayah, keluargaku, kehormatan dan namaku jiwa ragaku, semua kukorbankan demi cintaku kepadamu. Kau, tentu tahu, bukan?"

"Tentu saja, moi-moi, kita memang sudah saling mencinta dan......."

Posting Komentar