Kedua anak itu adalah anak laki-laki, bernama Sim Tiong Han dan Sim Tiong Kiat, ia mengambil kedua orang anak yang dilihatnya berbakat baik ini, lalu melatihnya ilmu silat. Selain kedua orang anak kembar ini, Lui Thian Sianjin juga mengambil seorang murid perempuan yang bernama Can Kui Hwa. Usianya ini sebaya dengan Sim Tiong Kiat, dan juga memiliki bakat yang luar biasa. Can Kui Hwa adalah anak dari seorang murid Kim-liong-pai juga yang bernama Can Kong dan yang kini menjadi guru silat di kota Sam koan. Empat belas tahun kemudian, ketiga orang anak ini telah menjadi dewasa. Kalau orang tidak mempunyai perhubungan dekat dengan sepasang pemula kembar itu, akan amat sukarlah baginya untuk membedakan. Keduanya sama benar, baik wajah maupun bentuk badan. Sama tampan, bermuka putih dengan mata tajam dan bibir merah, alis mata tebal dan pantang.
Ada sedikit tanda pada Tiong Kiat yang menjadi tanda pengenal, yakni sebuah tahi lalat kecil hitam di atas dagunya, tepat di bawah bibir. Juga watak kedua orang ini jauh berbeda. Tiong Iian yang lebih tua beberapa jam dari adiknya berwatak pendiam dan lemah lembut. Sebaliknya, Tiong Kiat jenaka, gembira, juga nakal sekali. Semenjak kecilnya, seringkali Tiong Kiat menggoda kakaknya, akan tetapi Tiong Han yang amat mencinta adiknya selalu mengalah.
Namun, di dalam pelajaran ilmu silat Tiong Kiat lebih maju daripada kakaknya. Memang anak ini luar biasa sekali bakatnya dalam hal ilmu silat. Harus diakui bahwa kecerdikannya tidak melebihi Tiong Han, namun agaknya ia berdarah ahli silat, karena gerakannya demikian lemas dan cepat. Ini pula yang membuat Lui Thian Sianjin amat sayang kepadanya, sungguhpun seringkali kakek ini termenung dan mengerutkan keningnya, karena ia masih meragukan watak daripada Tiong Kiat. Tidak seperti Tiong Han, kakek ini sudah menaruh kepercayaan sepenuhnya.
Juga Kui Hwa memiliki bakat yang amat baik, sungguhpun ia tidak dapat mengimbangi bakat Tiong Han, apalagi kalau dibandingkan dengan Tiong Kiat, ia kalah jauh. Setelah dewasa ia menjidi seorang gadis yang cantik manis. Sikapnya gembira dan jenaka seperti Tiong Kiat, sehingga kedua anak ini menjadi sahabat baik. Perhubungan gadis ini terhadap Tiong Kiat jauh lebih erat apabila dibanding, kan dengan hubungannya terhadap Tiong Han.
Setelah mendapat gemblengan ilmu ailat selama empat belas tahun, kepandaian ilmu silat dan ilmu pedang ketiga orang murid itu mencapai tingkat tinggi. Lebih-lebih Tiong Kiat, ia telah mewarisi ilmu pedang Ang coa kiamsut sampai tujuh puluh bagian lebih, sedangkan Kui Hwa hanya memiliki lima puluh bagian, sedangkan Tiong Han sendiri paling banyak hanya mewarisi enam puluh bagian. Di dalam latihan nampak sekali perbedaan itu, baik Tiong Han maupun Kui Hwa tidak dapat mengimbangi permainan pedang Tiong Kiat yang luar biasa.
Tentu saja suhu mereka menjadi girang sekali, merasa bahwa ia telah cukup mewariskan ilmu pedang itu dan karenanya Kim-liong- pai tak usah dikhawatirkan lagi akan tinggal nama saja! Akan tetapi, kadang-kadang ia merasa gelisah dan berdebar dadanya kalau ia melihat Tiong Kiat, karena bagaimanakah kelak kalau ternyata ia salah pilih. Siapa yang akan dapat memasang kendali pada hidungnya atau dengan lain kata-kata siapa yang akan dapat menundukkannya?
Dan apa yang dikuatirkan oleh kakek ini terbukti. Setelah dewasa dan ingin agar supaya ilmu pedang Ang coa.kiamsut tidak sampai terpecah-pecah, Lui Thian Sianjin mengusulkan agar supaya Tiong Han dijodohkan dengan Kui Hwa! Pemuda itu karena sudah tiada ayah bunda lagi, hanya menyerahkan nasibnya kepada suhunya yang amat dihormatinya, adapun ayah Kui Hwa, yakni Can Kong beserta isterinya, juga tidak keberatan.
Akan tetapi, beberapa bulan kemudian, terjadilah peristiwa yang amat menggemparkan itu! Peristiwa yang amat menyedihkan hati Lui Thian Sianjin, menghancurkan hati Tiong Han, dan memarahkan hati Can Kong . Dengan cara yang tidak tahu malu sekali, Tiong Kiat telah melarikan diri bersama dengan sumoinya, yakni Kui Hwa! Dan yang lebih hebat lagi, adalah kedua orang muda ini telah "menyikat" pedang mustika yang menjadi barang pusaka di Kim liong-pai, yakni pedang Ang-coa-kiam (Pedang Ular Merah) warisan dari Bu Beng Siansu, guru besar dari Kim-liong-pai.
Lui Thian Sianjin ketika membaca surat yang ditinggalkan oleh Tiong Kiat yang menyatakan bahwa ia dan sumoinya telah bosan tinggal di gunung itu dan ingin merantau bersama serta membawa pedang pusaka dengan menyatakan bahwa ia sebagai murid terpandai berhak untuk memiliki pedang itu, kakek ini duduk bagaikan patung, mukanya pucat dan napasnya memburu! Yang lebih hebat lagi adalah sedikit "embel-embel" dalam surat itu bahwa tak perlu orang mencari mereka, karena mereka sudah saling mencintai Tiong Han cepat membujuk suhunya agar suka bersabar dan menenangkan pikiran.
"Sudahlah, suhu, harap jangan banyak berduka dan marah. Adikku itu masih amat muda dan masih hijau sehingga ia mudah dikuasai oleh nafsu. Ampunkanlah dia suhu." Pemuda ini berkata dengan mata basah.
Tosu itu memandang kepada Tiong Han dengan mata heran hampir ia tidak percaya akan pendengarannya.
"Apa...?" Katanya dengan suara parau.
"Kau... kau yang dihina dan diperlakukan seperti itu, kau masih minta ampun untuknya........?"
Tiong Han menundukkan mukanya.
"Dia adalah adikku suhu, oraag satu-satunya di dunia harus teecu cinta, sayang, dan bela."
"Dan.. tunanganmu...? Ah, Tiong Han benar-benar kau lebih berhasil menguasai hati dan perasaan dari pada aku yang sudah tua bangka. Tidak sakitkah hatimu karena tunanganmu dibawa pergi oleh adikmu sendiri?"
Tiong Han menggelengkan kepalanya dan walaupun mukanya berobah pucat la menjawab dengan tenang,
"Tidak, suhu. Hal ini tidak mengherankan teecu."
Kakek itu berdiri dari duduknya.
"Apa katamu .,? Jadi kau sudah tahu akan hal busuk dan memalukan itu? Dan kau diam saja tidak memberitahukan kepadaku?"
Tiong Han melihat suhunya menjadi marah, lalu menjatuhkan diri dan berlutut.
"Suhu, ampunkan adik Tiong Kiat. Sesungguhnya ........ sudah sebulan yang lalu teecu tanpa disengaja melihat perhubungan erat antara Tiong Kiat dan sumoi. Dan ... dan ... agaknya karena teeecu telah mengetahui akan hubungan rahasia mereka itulah yang membuat meteka pagi hari ini melarikan diri. Hanya satu hal yang teecu sayangkan, mengapa Tiong Kiat begitu sembrono membawa pergi pedang pusaka Ang-coa.kiam."
Lui Thian Sianjin membanting-banting kakinya.
"Gila ... Gila..! Mengapa aku seperti buta mataku? Semenjak dahulu aku sudah ragu-ragu dan menaruh hati curiga terhadap watak adikmu! Sekarang.. ah, Tiong Han, hanya kaulah yang dapat menolongku. Hanya kau satu-satunya orang yang akan dapat membelaku dan membuat aku dapat meninggalkan dunia ini dengan rela."
"Apakah maksud ucapan suhu ini?"
"Bersumpahlah, muridku, bersumpahlah dengan saksi bumi dan langit! Bersumpahlah bahwa kau akan menjunjung tinggi nama Kim-liong-pai, akan berlaku sebagai seorang pendekar gagah yang menjunjung tinggi kebajikan, prikemanusiaan dan membela keadilan."
"Teecu bersumpah untuk melakukan semua nasihat suhu itu."
"Dengarlah kau harus bersumpah untuk memenuhi dua macam tugas berat yang harus Kau lakukan, baik sewaktu aku masih hidup maupun sesudah aku mati."
"Teecu bersedia untuk bersumpah, harap suhu beritahukan apakah adanya dua macam tugas itu."
"Pertama, kau harus berusaha dan mencari atau merampas kenbali sampai dapat pedang Angcoa-kiam dari tangan Tiong Kiat dan membawa pedang itu ke mana juga kau pergi, menjaga dengan seluruh kehormatan."
"Bagaimana teecu dapat melakukan hal ini, suhu? Suhu maklum sendiri bahwa ilmu kepandaian Tiong Kiat masih lebih tinggi dari pada teecu, apalagi karena sekarang ia telah memiliki pedang Ang coa . kiam. Bagaimana teecu dapat memenuhi tugas ini dan merampas pedang pusaka Ang-coa kiam"
"Bersumpah lah dulu bahwa kau mau melakukan hal itu!" kata Lui Thian Sianjin tidak sabar.
"Hal kekalahanmu terhadap dia mudah dibicarakan kemudian."
"Baiklah, suhu, teecu bersumpah bahwa tecu akan mencari dan merampas pedang Ang-coa-kiam sampai dapat. Teecu takkan berhenti berusaha sebelum pedang itu dapat terampas oleh teecu"
"Bagus, itu sumpah pertama, kau harus mendapatkan kembali pedang itu agar nama Kim-liong-pai jangan sampai ternoda karena orang telah menyalah gunakan pedang pusaka itu. Dan sumpah kedua, kau harus mencari dan membunuh Sim Tiong Kiat!"
Pucatlah muka Tiong Han mendengar permintaan suhunya ini. Ia memandang kepada suhunya dengan mata terbelalak dan tak dapat menjawab, hanya menggeleng-gelengkan kepalanya saja.
"Tiong Han! Ucapkanlah sumpahmu!"
"Ti..dak, ,suhu ..teecu tak dapat melakukan hal ini! Teecu tidak sanggup "
Setelah berkata demikian Tiong Han lalu menjatuhkan mukanya di atas tanah dan meratap serta mintakan ampun untuk adiknya. Sungguh harus dikasihani pemuda yang berhati penuh kasih sayang terhadap adik kembarnya ini. Air matanya membasahi seluruh mukanya dan karena ia membentur-benturkan jidatnya di atas tanah, maka mukanya kini menjadi kotor.
"Tiong Han!" suhunya membentak marah.
"Kalau aku tidak sudah tua dan kekurangan tenaga, pasti aku sendiri yang akan kurun gunung dan mereiri murid murtad itu untuk kubunuh sendiril Akan tetapi, di Kim-lioog-pai kini tinggal kaulah ahli waris satu-satunya yang kiranya kuat dan dapat melakukan tugas ini!"
Sampai beberapa lama tidak terdengar pemuda itu berkata kata, hanya ia menangis terisak-isak seperti seorang anak kecil. Ia tak kiasa membuka mulut, bagaimanakah la dapat membunuh Tiong Kiat? Bagaimana ia dapat bertega hati membunuh adiknya yang dikasihi nya sepenuh hati dan jiwanya? Tiong Kiat merupakan sebagian dari pada tubuhnya sebagian daripada nyawanya.
"Ampun, suhu........ ampunkanlah teecu dan ampunkan adikku Teecu tidak sanggup, tidak sampai hati melakukan tugas ini dan apakah dosa Tiong Kiat maka harus dibunuh? Terhadap Kim-liong pai, kesalahannya hanya mencuri pedang pusaka, tidak cukupkah kalau teecu bersumpah mengambil kembali pedang itu? Ampunkanlah dia suhu!"
"Tiong Han, kau terlalu lemah! Kau bilang Tiong Kiat tidak begitu besar salahnya terhadap Kim liong-pai? Soal pedang bukanlah soal terutama, akan tetapi yang paling hebat adalah perbuatannya yang melanggar adat, melanggar kesopanan, melanggar prikemanusiaan melanggar prikebajikan. Dia sudah berani membawa lari tunangan kakaknya apakah kau mau bilang bahwa manusia macam itu tidak seharusnya dibunuh?"
"Suhu, beribu ampun apabila pendapat tecu lain dengan pendapat suhu. Bukan sekali-kali teecu membutakan mata dan membela adik sendiri tanpa alasan. Memang sesungguhnya pembuatan Tiong Kiat yang melarikan sumoi itu amat tidak sopan dan kurang ajar. Akan tetapi, siapakah yang tak terluka hatinya oleh perbuatan ini? Siapakah yang terhina dan siapa pula yang dirugikan? Kalau ada orapg yang seharusnya merasa sakit hati, maka orang itu hanya teeculah. Akan tetapi, suhu, teecu tidak merasa sakit hati kepadanya teecu tidak merasa terhina, bahkan teecu dengan rela hati mengalah, biar sumoi menjadi jodoh Tiong Kiat, sudab cukup cocok dan pantas! Biarlah, hitung-hitung teecu mencarikan jodoh untuk adik teecu, apa salahnya? Bukankah dengan demikian tidak ada urutan sakit hati lagi, tidak ada keharusan hukuman mati terhadap Tiong Kiat?" Pemuda itu berbicara dengan bernafsu sekali, nafsu yang terdorong oleh rasa sayangnya terhadap Tiong Kiat dan dalam kesungguhan membela adiknya itu.