Namun, Ban-to Mo-li agaknya bertekad untuk membunuhnya karena wanita itu sudah meloncat mengejar dan menghujankan serangan kilat dari jurus-jurus ilmu silat Ban-to Hwa-kun yang ampuh, silat tangan kosong yang amat indah seperti tarian saja. Akan tetapi, sesuai dengan namanya, indah seperti bunga namun berbahaya mengandung racun, dibalik keindahan gerakan ilmu silat ini terkandung ancaman maut. Setiap totokan, tamparan, pukulan atau guratan kuku saja mengandung racun yang amat berbahaya.
Untung bagi Siang Lee bahwa ketika dia melakukan perjalanan dengan Lan Ci, di sepanjang perjalanan kekasihnya itu memberi keterangan dengan jelas tentang ilmu- ilmu ini, juga tentang bahayanya kuku jari tangan Ban-tok Mo- li. Maka, mendapat serangan bertubi-tubi yang amat hebat itu, Siang Lee tidak mau mengadu tangan, hanya mengelak saja ke sana-sini mengandalkan kelincahan gerakan tubuhnya.
Dan kalau terpaksa menangkis, dia selalu menangkis dari pergelangan tangan ke atas, melihat betapa beberapa serangannya yang bertubi tidak berhasil dan pemuda itu agaknya tahu akan rahasia tangannya yang berbahaya, Ban- tok Mo-li menjadi makin marah. Ia sama sekali bukan hendak menguji kepandaian Siang Lee, melainkan untuk membunuhnya! Maka, melihat betapa pemuda itu cukup gesit dan lincah sehingga dapat menghindarkan serangannya yang bertubi-tubi, hal ini dianggap menghinanya dan merendahkannya, maka ia pun mengeluarkan bentakan nyaring dan tahu-tahu ia sudah mencabut pedang dan kipasnya!
Dengan geram ia menerjang dan Siang lee terkejut bukan main. Serangan pedang itu memang hebat, lebih berbahaya lagi karena disusul serangan kipas yang melakukan tiga totokan maut bertubi-tubi. Terpaksa dia membuang tubuhnya ke belakang, berjungkir balik dan terhuyung karena didesak terus.
Selagi dia terhuyung, pedang Ban-to Mo-li menyambar kea rah lehernya, dan agaknya sukar bagi Siang Lee untuk meloloskan diri dari serangan yang dilakukan sepat sekali selagi tubuhnya terhuyung itu.
“Trangggg… !” sebatang pedang menangkis pedang di
tangan Ban-to Mo-li dan nampak bunga api berpijar. Kiranya Lan Ci yang menangkis peang ibunya itu dengan pedangnya sendiri.
“Ibu, Coa Siang Lee telah menjadi suamiku dalam arti yang sebenarnya! Bahkan dalam perjalanan kami ke sini, kami telah menjadi suami isteri yang selalu tidur sekamar! Kalau ibu membunuh suamiku dan aku sebagai isterinya tentu saja tidak rela!”
Lan Ci berdiri tegak dengan pedang di tangan, agaknya ia siap untuk melawan ibunya sendiri demi membela orang yang dicintainya. Siang Lee juga melompat di samping Lan Cid an biarpun dia belum mengeluarkan senjata namun jelas bahwa sikapnya juga siap untuk membantu kekasihnya yang sudah dianggap isterinya.
“Kau …….. kau ” Ban-to Mo-li menjadi agak pucat
mukanya. Ia menghadapi persoalan yang sulit. Haruskah ia membunuh anak sendiri? Andaikata hal ini ia lakukan, ia harus menghadapi mereka berdua dan agaknya, mereka itu amat tangguh. Bagaimna kalau sampai ia tidak mampu menangkan mereka?
“Kau pergilah! Kalian pergi dari sini dan selamanya aku
tidak mau melihat muka kalian lagi! Sekali melihat, pasti akan kubunuh kalian!” bentaknya marah sambil menudingkan pedangnya kea rah pintu pekarangan depan.
Sim Lan Ci mengenal betul watak ibunya, maka mendengar ucapan ibunya itu, hatinya girang bukan main. Baru saja ia dan kekasihnya terhindar dari ancaman maut yang mengerikan. Ia pun lalu menarik pemuda itu untuk melarikan diri sambil berkata, “Terima kasih, ibu!”
“Aku bukan ibumu lagi!” bentak Ban-to Mo-li dan ketika dua orang muda itu pergi, diam-diam Ban-to Mo-li menghapus dua butir air mata yang membasahi pelupuk matanya. Ia mengeluarkan air mata bukankarena sedih ditinggal pergi puterinya, melainkan karena kecewa dan menyesal bahwa puterinya berani membangkang terhadap perintahnya. Ia kehilangan seorang murid dan pembantu yang boleh diandalkan.
Demikianlah keadaan Ban-to Mo-li dan seperti telah kita ketahui, iblis betina ini hadir pula di tepi sungai Huang-ho untuk ikut memperebutkan anak naga yang menurut perhitungan akan muncul di permukaan sungai kuning di daerah pusaran maut itu. kemudian, perebutan dua orang anak kecil yang menghisp darah anak naga itu. Ban-tok Mo-li berhasil membawa Giok Cu, seorang di antara dua orang anak yang diperebutkan itu dan membawanya pulang ke Ceng- touw.
“Bibi, aku ingin bertemu ayah dan ibuku!” kata Giok Cu ketika Ban-to Mo-li membawanya pergi dari tepi sungai itu. mendengar ini, Ban-tok Mo-li yang tadinya menggendong anak itu, lalu memenurunkannya, memandang dengan alis berkerut dan mata berkilat marah.
“Jangan banyak lagak, Giok Cu! Engkau harus ikut dengan aku.”
Akan tetapi Giok Cu menentang pandangan mata wanita iblis itu tanpa rasa takut sedikitpun lalu menjawab :
“Aku memang suka ikut denganmu, bibi, akan tetapi aku harus berpamitan dulu darih dan ibuku!” Sejenak kedua orang itu saling pandang, sama-sama keras hati, dan akhirnya Ban-to Mo-li tersenyum. Anak ini memiliki kekerasan hati yang tidak kalah olehnya, dan sudah pasti lebih keras hati dan lebih berani dibandingkan Sim Lan Ci, puter yang telah diusir dan tidak diakuinya lagi itu! timbul rasa saying dihatinya, peasaan saying yang belum pernah dirasakan sebelumnya, baik terhadap anak kandungnya sekalipun.
“Siapakah orang tuamu dan di mana mereka?” Tiba-tiba ia bertanya, senyumnya dingin dan akan mendirikan bulu roma orang-orang kang-ouw gagah mana pun kalau melihatnya karena senyum seperti itu mengandung kekejian yang luar biasa.
“Ayahku bernama Bu Hok Gi, seorang pejabat lurah di dusun Liong-cung dan kami sekeluarga, ayah, ibu, aku dan beberapa pembantu, sedang melarikan diri mengungsi karena ayah tidak mau melaksanakan kerja rodi kepada penduduk dusun. Kami seperahu, bersama keluarga Si Han Beng seperahu pula. Keluarga Si juga melarikan diri dari kerja paksa dan kami berkenalan di jalan. Kini ayah dan ibuku berada di perahu. Aku berpisah dari mereka ketika pancingku mendapatkan ular itu.”
Ban-to Mo-li mengangguk-angguk.
“Mari kuajak engkau mencari ayah dan ibumu!” katanya dan ia pun memondong Giok Cu lalu berlari secepat terbang menuju ke tepi sungai dimana semalam menjadi ramai oleh para tokoh kang-ouw yang berebutan anak naga.
Mula-mula Giok Cu terkejut dan ngeri juga ketika melihat dirinya dibawa lari seperti terbang, akan tetapi lama-lama ia merasa gembira. Tubuhnya sudah tidak begitu panas lagi dan tidak lagi disiksa oleh mual di perutnya. Memang tubuhnya kuat, dan darah ular itu biarpun amat kuat, tidak sampi membahayakan keselamatannya karena yang diminumnya tidaklah sebanyak yang dihisap han Beng.
Bagaimanapun juga, masih ada rasa pening di kepalanya namun tidak begitu dirasakannya karena kegembiraan hatinya hendak Bertemu kembali dengan ayah ibunya.
Ketika mereka tiba di pantai yang semalam, keadaan si situ sudah sunyi sekali. Hanya nampak beberapa buah perahu nelayan yang ditumpangi para nelayan yang masih nampak takut-takut karena semalam terjadi peristiwa hebat dimana terdapat banyak korban.
Para nelayan itu menemukan mayat-mayat terapung hampir sepuluh orang banyaknya, belum dihitung mayat- mayat yang lenyap ditelan pusaran. Ada pula mayat beberapa orang menggeletak di pantai, agaknya mayat mereka tadinya terluka dan terjatuh ke air lalu berhasil berenang ke tepi akan tetapi tewas di tepi karena luka-luka yang diderita.
Setelah tidak berhasil mendapatkan orang tuanya di tepi sungai, Giok Cu minta kepada Ban-tok Mo-li agar mereka mencari di antara perahu-perahu nelayan di tengah sungai. Ban-to Mo-li menggunakan sebuah perahu dan mulai mencari. Tak lama kemudian, biarpun masih jauh jaraknya, Giok Cu menunjuk ke tengah sungai dan berseru.
“Itu mereka! Itu perahu ayah dan perahu keluarga Si!”
Ban-to Mo-li yang berpenglihatan tajam itu melihat ada dua buah perahu yang digandeng dengan tali, akan tetapi yang berada di sebuah perahu hanya tiga orang. Seorang memegang dayung dan yang dua orang nampak rebah di perahu. Sedangkan perahu kedua kosong. Cepat ia mendayung perahunya mendekat sampai menempel pada dua buah perahu itu. “Ayah ………! Ibu ” Giok Cu berseru memanggil ketika
mengenal dua orang yang rebah di perahu itu adalah ayah ibunya.
“Nona datang ” teriak pelayan yang mendayung dengan
girang sekali. Agaknya dia telah kelelahan mendayung terus berputar-putar mencari Giok Cu yang semalam terjatuh ke dalam air dan dibelit ular.
Bu Hok Gi dan isterinya bangkit duduk dan wajah mereka itu pucat seperti orang sakit. Namun, begitu melihat Giok Cu mereka berdua segera merangkulnya dan bertangisan. Diantara tangis mereka, Bu Hok Gi dan isterinya menceritakan kepada Giok Cu bahwa Si Kian dan isterinya menjadi korban, tewas oleh yang menyerang membabi buta.
“Kami sendiripun diserang, aku dan ibumu terluka, dan dua orang pembantu jatuh ke air. Hanya seorng pembantu selamat. Tadi pun muncul si Han Beng dan seorang kakek. Kami sudah ceritakan tentang tewasnya ayah ibunya, dan kakek itu, dia mengobati kami yang terluka.”
Tiba-tiba Ban-tok Mo-li berseri.
“Wah, celaka! Kalian telah terkena racun hebat. Tentu Liu Bhok Ki itu yang meracuni kalian, membunuh kalian dengan dalih mengobatinya!”
Tanpa diketahui mata orang lain saking cepatnya gerakan tangannya, Ban-to Mo-li telah menjentik dua batang jarum dengan jari tangannya dan dua batang jarum itu melesat dan masuk kedalam dada Bu Hok Gi dan isterinya.
“Lihat, muka mereka berubah menghitam !”
Bu Hok Gi dan isterinya mengeluarkan keluhan lirih dan mereka terkulai, rebah lagi diatas perahu. Tentu saja Giok Cu terkejut bukan main dan hendak menubruk ayah ibunya. “Ayah! Ibu ” Akan tetapi Ban-to Mo-li memegang
lengannya.
“Jangan sentuh mereka! Kalau kau sentuh, engkau pun akan terkena racun hebat yang akan membunuhmu!”
Giok Cu terbelalak, hendak nekat menubruk, akan tetapi ditahan Ban-to Mo-li dan anak ini melihat betapa ayah dan ibunya berkelonjotan sebentar, muka dan tubuh mereka berubah menghitam dan akhirnya kejang-kejang tubuh mereka terhenti dan mereka tewas dalam keadaan mengerikan!
“Ayah …..! Ibuuuuu… !” Dan Giok Cu terkulai pingsan dalam
pelukan Ban-tok Mo-li. Pembantu itu tentu saja menjadi terkejut dan bingung, hanya mampu menangis.
“Sudahlah, mereka sudah mati dan kita bawa mereka ke tepi untuk dikuburkan,” kata Ban-tok Mo-li