Manusia Aneh di Alas Pegunungan Chapter 19

Gerak gerik orang aneh itu tidak bersuara, tapi menimbulkan kesiurnya angin, tampaklah dia sudah pasti.

Ia ikut kemari, tidak berhalangan bukan? , sahut Ti Put Cian.

Jun-yan, sebentar nanti kalau terpaksa, aku ingin minta bantuanmu, hendaklah kau jangan menolak .

Jun-yan tidak tahu bantuan apa yang orang harapkan darinya, tapi iapun menjawab .

Jangan kuatir ! Pada saat itulah, tiba2 pandangan mereka terbeliak, suara tamburpun semakin keras terdengar.

Ternyata mereka sudah berada di-tengah2 sebuah lembah pegunungan yang sekelilingnya diapit oleh lereng2 tebing yang tinggi dan curam.

Tanah mangkok lembah itu seluas kira-kira dua ha dan tandus tak tertumbuh apapun, malahan dibawah sinar bulan nampaknya halus licin, kecuali dapat dimasuki melalui pintu2 besi dalam gua tadi, agaknya burung sekalipun tak dapat masuk ketempat ini.

Di-tengah2 tanah lapang itu terdapat sebuah batu besar setinggi tiga kaki dan lebarnya lebih dua tombak persegi, permukaan batu rata gelap, nyata sebuah meja batu buatan alam.

Di atas meja batu itu waktu itu ada seorang Biau dengan bagian atas badan telanjang hingga tampak kulitnya yang ke-hitam2an, sedang memukul tambur se-kuat2nya hingga air keringatnya bertetes-tetes.

Disekitar batu besar itu banyak orang yang sedang duduk mengitari, ada suku Biau sendiri, juga ada bangsa Han.

Didepan batu besar itu terdapat tujuh kursi yang diatur berderet, semuanya masih lowong.

Dekat dengan dinding tebing sana beberapa ratus orang Biau memegangi obor besar hingga lembah itu tersorot terang benderang bagai siang hari.

Diam2 Jun-yan memikir mungkin ini pertengahan bulan, tentu orang2 Biau lagi mengadakan perayaan apa2.

Maka iapun tidak banyak tanya, kemana Ti Put-cian pergi ia mengikut kesitu.

Sesudah hampir mengitari tanah lembah itu, kemudian Ti Put-cian memilih suatu tempat yang longgar dan berduduk, tempat itu kira2 beberapa tombak jauhnya dari meja batu tadi, maka Jun-yan pun berduduk disamping kawannya ini.

Ketika tanpa sengaja ia berpaling, tiba2 ia berseru kaget.

He, hidung kerbau! Kaupun berada disini? Lekas2 Ti Put-cian menjawil si gadis dan membisikinya.

Ssst, jangan bersuara Jun- yan! Namun seruan Jun-yan tadi meski tak keras, tapi karena waktu itu hanya suara tambur saja yang berdentang, semua orang lagi menanti dengan berdiam, maka yang berdekatan dengan Jun-yan lantas banyak yang berpaling kearahnya.

Sebab itu, Jun-yan menjadi makin heran.

Kiranya tadi diantara orang2 itu ia telah melihat Siau-yau-ih-su Cu Hong-tin juga berduduk disana, sebab itulah ia berseru kaget.

Tapi kini ketika banyak orang berpaling kearahnya, ia menjadi melihat pula diantaranya bukan saja terdapat Tong-ting-hui-hi Bok Siang-hiong, bahkan si orang aneh juga tertampak berduduk tidak jauh dari dirinya dan kepalanya tertutup selapis kain.

Walaupun orang aneh itu berkedok, tapi dari bentuk tubuh dan dandanannya Jun- yan masih dapat mengenalinya, maka katanya kepada Ti Put-cian .

It-ci Toako, ternyata disini tidak sedikit kenalan lama ! Siapa saja ? tanya Put-cian.

Lihatlah, imam setengah umur itu ialah Siau-yau-ih-su Cu Hong-tin, dan kakek pendek buntik itu adalah Tong-ting-hui-hi Bok Siang-hiong, sedang lelaki berkedok itu bukan lain adalah orang aneh yang banyak bikin gara2 atas diriku itu! Benar? Kau tidak salah mengenalinya? Put-cian menegas.

Dan rupanya saking girang hingga suaranya agak keras.

Ssst , cepat pula Jun-yan menjawil padanya.

Maka keduanya lantas saling pandang dengan tersenyum.

Mendadak suara tambur tadi semakin keras dan cepat, lalu beberapa ratus orang Biau lantas bersorak-sorai hingga suasana seketika bergemuruh oleh suara gema kumandang dilembah pegunungan itu.

Hampir mulailah sekarang , kata Ti Put-cian rada tegang ketika melihat sang dewi malam sudah berada di-tengah2 cakrawala.

Maka tertampaklah dari pintu besi sana berduyun2 datang tujuh orang, setiap orang memondong satu mayat yang sudah kering, ada lelaki ada perempuan, tapi tubuh mayat itu sudah mengering kuning hingga tampaknya sangat menyeramkan.

Dandanan mayat2 itupun tidak seragam, ada suku Biau, ada bangsa Han dan suku lain pula.

Agaknya, orang yang memondong mayat itu sangat menghormat sekali terhadap apa yang mereka bawa itu.

Setelah sampai didepan ketujuh kursi kosong tadi, mereka- mereka meletakkan mayat2 itu diatasnya, lalu berlutut memberi sembah, sesudah bangun, mereka lantas berbicara, mula2 dengan bangsa Biau, kemudian dengan bangsa Han, seru mereka.

Secara sembrono kami berani menyentuh tubuh Seng-co (nabi agung), pantas kalau mati, maka mengharap Seng-co suka memberi berkah! Habis berkata, cepat mereka melolos senjata terus membunuh diri.

Segera pula ada orang yang menyeret ketujuh jenazah baru ini kepinggir.

Betapa terkejut dan berdebar hati Jun-yan oleh kejadian itu, sebaliknya Ti Put-cian ternyata sangat kesemsem menyaksikan itu katanya dengan perlahan pada si gadis.

Lihatlah, betapa agung perbawa Seng-co, sesudah wafat, tubuh emasnya masih begitu keramat hingga siapa yang menyentuhnya rela membunuh diri untuknya! Apa2an Seng-co itu ? tanya Jun-yan.

Ssst, jangan sembrono , bisik Ti Put-cian dengan wajah kuatir.

Jun-yan masih hendak menanya, tapi suara tambur tadi sudah berhenti mendadak dan orang yang memukul tambur itu terus melompat turun dari meja batu itu dengan gesit.

Maka terlihatlah Tiat-hoa-popo menaiki meja batu dengan langkah yang tidak tetap sebagai lajimnya seorang nenek2.

Sesudah berada diatas, ia memandang kesekitarnya hingga seketika sunyi senyap, maka iapun mulai berkata, juga bahasa Biau dulu, kemudian bahasa Han.

Katanya.

Seng co ketujuh sudah wafat tahun yang lalu, Seng-co kedelapan juga sudah menghilang selama tahun dan tak pernah kita ketemukan.

Menurut tradisi kita, Seng-co kesembilan harus kita angkat diantara semua hadirin ini.

Menurut peraturan, bunga seruni sudah kita sebarkan keseluruh negeri, siapa yang memperolehnya malam ini juga sudah hadir semua.

Maka Lopocu (nenek- tua) tidaklah perlu banyak omong, terserah pada takdir, siapakah gerangannya yang bakal terpilih sebagai Seng-co dari rakyat2 gua kita.

Habis itu, sekali tubuhnya melesat cepat sekali orangnya sudah melayang turun.

Jangan dikira usianya sudah tua dan matanya buta, tapi betapa cepat gerakannya, ternyata tidak kalah dengan tokoh kelas satu dari kalangan Bulim.

Sampai disini, sedikit banyak Jun-yan sudah mengetahui duduknya perkara.

Apa yang disebut Seng-co itu tentu adalah pemimpin tertinggi dari gua suku Biau, dan hari ini justru hari pemilihan Seng-co baru itu.

Cuma yang tidak dapat dipahaminya ialah apa yang dikatakan sinenek bahwa Seng-co ke 8 bisa menghilang sejak tahun yang lalu, padahal kedudukan Seng-co ini ada sekian banyak orang yang menginginkannya? Sedang ia berpikir, tiba2 dilihatnya didepannya berdiri satu orang berbaju putih, ujung lengan baju orang hampir2 menyentuh mukanya.

Ketika ia mendongak, kiranya adalah si gadis yang bernama A Siu itu.

Gadis jelita ini lagi memandangi Ti Put-cian dengan senyum yang penuh arti.

Hati Jun-yan menjadi panas, segera ia bermaksud membentak, tapi gadis itu hanya sejenak saja merandek, lalu meninggalkan pergi.

Hm, gadis Biau ternyata begini tak kenal malu , segera Jun-yan mencemoh sambil melihati belakang A Siu, yang sementara itu telah mendekati dan duduk disamping Tiat- hoa Popo.

Sejenak nenek itu turun panggung, semua hadirin berdiam diri saja, setelah lama barulah si orang Biau yang tinggi besar wajahnya bengis membawa tombak, sambil meloncat dan berlari menaiki panggung batu, lalu teriaknya .

Tong-cu (kepala Gua) dari Jing-cha-tong, Pulaihua, minta pengajaran dari para hadirin ! Habis berkata, dengan congkaknya ia berdiri menolak pinggang dengan sebelah tangannya, sikapnya memang gagah sekali, tapi bagi penglihatan orang ahli segera tahu kuda2nya tidak kuat, tidak tahan sekali pukul saja.

Kiranya ke-72 gua suku Biau itu yang hidupnya diantara tanah pegunungan yang penuh binatang-binatang berbisa, jiwa mereka sama sekali tak terjamin, maka segera telah mengadakan perserikatan mengangkat seorang yang serba pandai untuk menjadi pemimpin besar mereka, yaitu disebut Seng-co, dengan hak kekuasaan penuh.

Sejak Seng-co pertama diangkat, selamanya tidak membeda-bedakan suku bangsa dan keturunan, sebab itulah diantara delapan Seng-co yang lalu, enam diantaranya adalah bangsa Han.

Waktu pemilihan Seng-co baru selalu diadakan pada pertengahan bulan pertama diwaktu bulan purnama, sesudah Seng-co lama wafat, sebelum itu, buah bunga seruni besi yang menjadi tanda pemilihan itu disebar keseluruh negeri, siapa yang memperolehnya dapat ikut hadir dalam pemilihan.

Urusan ini selamanya dirahasiakan, maka Jun-yan sejak mula tidak mengetahui untuk apakah kedatangan Ti Put-cian ini.

Begitulah, sesudah Pulaihua tadi naik ke-panggung, lalu datang seorang Biau lalu sebagai penantang dan mulai bertanding, akhirnya Pulaihua itu kena dijungkalkan kebawah.

Selanjutnya seluruh suku Biau saja yang saling bertempur hingga dua jam lebih, tapi cara berkelahi mereka adalah terlalu kasar hingga tiada harganya dilihat.

Tampaknya sang bulan sudah mendoyong kebarat, tiba2 Tong-ting-hui-hi Bok Siang-hiong melolos senjatanya, Go-bi-ji, sekali lompat, panggung yang jauhnya dua tiga tombak itu telah kena dinaikinya.

Waktu yang berada disitu adalah seorang Biau yang muda tangkas, diantara leher pergelangan tangan dan kakinya memakai gelang rotan yang hitam gelap.

Sesudah naik keatas, tanpa bicara lagi senjata Bok Siang hiong terus menusuk kepaha orang Biau itu.

Namun orang Biau berdiri diam saja tanpa menghindar, maka tepat kena pahanya yang di arah itu, tapi hanya mengeluarkan suara seperti kayu diketok, sedikitpun kakinya ternyata tidak terluka.

Keruan Bok Siang-hiong terkejut, segera ia tarik kembali senjatanya hendak ganti serangan, namun tombak orang Biau itu juga telah menusuk kebadannya, cepat ia meraup hingga ujung tombak orang kena ditangkapnya, sekali gertak, Bok Siang-hiong kerahkan tenaga dalamnya yang kuat, tanpa ampun lagi orang Biau itu terpental jatuh kebawah seperti layang2 putus benangnya.

Posting Komentar