Lembah Selaksa Bunga Chapter 18

NIC

putih itu terbang melayang ke arah Bu-beng-cu dan seperti hidup kebutan itu menyerang ke arah mukanya.

“Hemm, permainan kanak-kanak ini kau pamerkan?” bentak Bu-beng-cu dan, sekali tangannya didorongkan ke arah kebutan itu, senjata itu terpental dan terbang kembali ke tangan kiri Hwa Hwa Hoat-su!

Hwa Hwa Hoat-su marah dan sambil mengeluarkan gerengan, seperti seekor biruang dia sudah menerjang maju, menggerakkan pedang di tangan kanan dan kebutan tangan kiri. Hoat Hwa Cin-jin tidak tinggal diam. Dia sudah menerjang pula dengan siang-to (sepasang golok) di tangannya.

Bu-beng-cu menggerakkan tubuhnya yang seolah berubah menjadi bayang-bayang yang cepat sekali gerakannya. Bayangan tubuhnya berkelebatan di antara gulungan sinar senjata kedua orang pengeroyoknya yang amat lihai itu.

Niat Bu-beng-cu hanya untuk menyelamatkan Hwe-thian Mo-li dan Kui Li Ai. Dia tidak ingin bermusuhan dengan Pek-lian-kauw atau dengan siapapun juga. Selama bertahun-tahun dia hanya memperdalam ilmu dan bersembunyi di Pegunungan Himalaya. Sungguh tak disangka-sangkanya bahwa rasa rindunya kepada adik tirinya, yaitu Siangkoan Leng yang menjadi Ban-hwa-pang-cu (Ketua Ban-hwa-pang) akan mendatangkan malapetaka baginya.

Pertama-tama, dalam keadaan tak sadar dikuasai pengaruh racun perangsang dia telah memperkosa Hwe- thian Mo-li yang disusul dengan dendam sakit hati gadis itu kepadanya dan sekarang, karena dia harus melindungi Hwe-thian Mo-li, dia harus bermusuhan dengan orang-orang kang-ouw, hal yang sama sekali tidak dikehendakinya. Dia menyadari bahwa peristiwa malam jahanam itu akan membawa akibat panjang yang akan merusak ketenteraman hidupnya.

Setelah dia merasa bahwa tentu Hwe-thian Mo-li dan Li Ai telah pergi jauh dan bebas dari ancaman orang- orang ini, maka setelah melawan dan selalu menghindarkan diri dari serangan dua orang tosu Pek-lian- kauw itu. Bu-beng-cu menggunakan gin-kangnya untuk melompat jauh ke belakang dan dengan beberapa lompatan saja dia sudah meninggalkan tempat itu dan menghilang di balik pohon-pohon!

Dua orang tosu itu tidak mengejar karena keduanya maklum betapa tingginya gin-kang dari orang berjuluk Bu-beng-cu yang tidak mereka kenal itu. Bahkan nama Bu-beng-cu juga tak pernah terdengar di dunia kang-ouw.

Perwira Can yang gagal merampas harta benda keluarga Kui yang dibawa Li Ai walaupun sudah dibantu dua orang tokoh Pek-lian-kauw, terpaksa mengajak anak buahnya kembali ke kota raja dengan tangan hampa. Bahkan beberapa orang anak buahnya tewas dan terluka!

Kui Li Ai merasa kagum ketika ia mengikuti Siang Lan tiba di Lembah Selaksa Bunga. Sebagai seorang gadis bangsawan yang sejak kecil hidup mewah, tentu saja ia sudah banyak melihat taman-taman yang indah milik para bangsawan di kota raja, bahkan pernah satu kali ayahnya mengajak ia melihat taman istana kaisar yang megah. Namun, dibandingkan lembah ini, taman bunga itu bukan apa-apa.

Lembah ini demikian luas dan alami, penuh dengan beraneka bunga, terbuka dan bebas, tidak seperti taman-taman bunga yang terkurung pagar tembok tinggi, membuat orang merasa seperti dalam tahanan atau penjara. Sedangkan di Lembah Selaksa Bunga ini, ia merasa demikian bebas merdeka, dapat melihat jauh ke bawah bukit dan merasa seperti burung yang terbang bebas lepas melayang di udara!

Segala bentuk kesenangan yang dapat kita rasakan melalui indera kita, merupakan anugerah Tuhan kepada kita. Dengan adanya nafsu dalam diri kita yang telah disertakan kita sejak lahir, mendatangkan kenikmatan bagi kita. Demikian besar kasih Tuhan kepada kita. Nafsu yang terkandung dalam penglihatan mata membuat kita dapat menikmati pemandangan yang indah-indah, bentuk dan warna yang menyenangkan hati kita.

Melalui pendengaran telinga, nafsu mendatangkan kenikmatan kepada kita kalau kita mendengar suara- suara merdu yang sesuai dengan selera kita. Demikian pula, melalui penciuman hidung, kita dapat menikmati keharuman. Melalui mulut, kita dapat menikmati makanan dan selanjutnya.

Namun, justeru kenikmatan-kenikmatan yang kita rasakan melalui anggauta-anggauta badan kita ini yang sering kali menjerumuskan kita. Nafsu yang menimbulkan kenikmatan dalam kehidupan, yang semestinya menjadi peserta dan pelayan kita, kalau terlalu dibiarkan dan dimanja, dapat merajalela dan berbalik akan memperbudak kita. Kalau sudah demikian, akan celakalah kita.

Keinginan memperoleh kenikmatan-kenikmatan itu membuat kita selalu mengejar dan dalam pengejaran itu, seringkali terjadilah pelanggaran-pelanggaran, menghalalkan segala cara untuk mencapai apa yang amat diinginkan. Padahal, kalau sesuatu yang kita kejar, yang kita anggap akan mendatangkan kesenangan itu, telah terdapat, maka biasanya hanya akan mendatangkan kebosanan, cepat atau lambat. Nafsu mendorong kita untuk mencari yang lain lagi, yang kita anggap akan lebih menyenangkan daripada apa yang telah kita dapatkan. Demikianlah, kita menjadi budak pengejar kesenangan yang tak pernah mengenal puas sampai akhirnya kita terjatuh sendiri karena pelanggaran yang kita lakuan dalam pengejaran itu.

Berbahagialah orang yang selalu merasa puas dengan apa yang diperoleh dari hasil usahanya dan mensyukuri perolehan itu sebagai berkat dari Tuhan, kemudian dapat menyalurkan berkat dari Tuhan itu untuk sebagian diberikan kepada orang-orang lain yang membutuhkan. Penyalur berkat Tuhan berupa kepandaian, kekuatan, ataupun kelebihan materi, adalah orang-orang yang mengagungkan namanya sehingga orang-orang yang menerima penyaluran berkat itu juga akan memuja dan mengagungkan nama Tuhan.

Kesenangan yang dirasakan Li Ai ketika ia tiba di Lembah Selaksa Bunga dan melihat keindahan lembah itu, juga tidak bertahan lama. Beberapa waktu kemudian, sudah timbul perasaan bosan melihat taman bunga alami itu. Karena sering melihat, maka lembah itu pun tampak “biasa” saja, tidak ada keanehannya, tidak ada keunikannya, tidak ada daya tariknya lagi.

Tidak heran kalau kita mendengar betapa orang-orang gunung merindukan pantai laut dan orang-orang pantai laut merindukan pegunungan. Orang-orang kota menyukai dusun yang hening menyejukkan, dan orang-orang dusun menyukai kota yang ramai menggembirakan! Orang selalu menghendaki yang belum dia miliki dan merasa bosan dengan apa yang telah mereka punyai.

Demikian pula dengan Li Ai. Kalau mula-mula ia merasa senang dan kagum melihat Lembah Selaksa Bunga dan senang tinggal bersama Hwe-thian Mo-li di lembah itu, beberapa pekan kemudian ia sudah merasa bosan. Apalagi kalau ia teringat akan penghidupannya yang lalu di kota raja ketika ayahnya masih hidup.

Ia kini merasa kehilangan segala-galanya. Kehilangan kehormatan diri karena peristiwa perkosaan itu selalu menghantuinya, terutama di waktu malam. Mimpi-mimpi menakutkan tentang peristiwa itu seringkali membuat ia menjerit-jerit dan terbangun. Dahulu ia menjadi seorang gadis bangsawan yang selalu riang, dihormati, disayang banyak orang, dan terutama sekali digandrungi banyak pemuda!

Pada sore hari itu pemandangan di Lembah Selaksa Bunga sungguh indah sekali. Matahari senja dengan sinarnya yang lembut kemerahan memandikan lembah itu sehingga tampak kemerah-merahan dan matahari sendiri sudah mulai turun bagaikan wajah seorang dara yang malu-malu dan hendak menyembunyikan diri di balik tirai awan sutera putih.

Namun Kui Li Ai yang sedang termenung dan tenggelam dalam lamunannya itu, tidak lagi dapat menyadari akan semua keindahan itu. Bahkan suasana senja seperti itu mengingatkan ia akan pertemuannya dengan seorang pemuda yang baginya merupakan seorang laki-laki yang amat menarik, tampan dan gagah. Pemuda itu bernama Bong Kin, putera dari hartawan Bong yang selain kaya raya, juga dekat hubungannya dengan para pejabat.

Beberapa bulan yang lalu sebelum Panglima Kui wafat, hartawan Bong datang berkunjung, ditemani puteranya, yaitu Bong Kin yang biasa disebut Bong Kongcu (Tuan Muda Bong). Karena tidak ingin mengganggu percakapan antara ayahnya dan Panglima Kui, Bong Kongcu pamit untuk berjalan-jalan dalam taman bunga yang terdapat di samping gedung Panglima Kui.

Pada sore hari yang hawanya panas itu, kebetulan Kui Li Ai sedang mencari angin dalam taman. Tanpa disengaja, dara dan pemuda itu saling jumpa dan Bong Kin yang pandai bergaul itu segera memperkenalkan diri. Karena sikapnya yang sopan dan ramah, Li Ai menyambut perkenalan itu. Perkenalan itu disambut baik dan berlanjut menjadi persahabatan di antara mereka.

Ketika Bong Kin menyatakan cinta, Li Ai belum berani menerimanya. Ia sudah banyak menolak pernyataan cinta dan pinangan pemuda-pemuda yang menggandrunginya. Biarpun ia belum menerima Bong Kin yang menyatakan cinta itu sebagai pria pilihannya, namun ia sungguh tertarik kepada Bong Kin. Pemuda itu selain sopan dan ramah, juga kata-katanya penuh madu penuh rayuan yang menggetarkan hatinya.

Li Ai menghela napas panjang. Ketika teringat kepada Bong Kin yang menjadi sahabatnya, ia semakin terpukul dan merasa kehilangan. Ingatan akan pemuda yang telah menyatakan cinta kepadanya itu membuat ia teringat akan keadaan dirinya yang telah ternoda. Maka tak dapat ditahannya lagi Li Ai menangis tersedu-sedu tanpa suara karena ia menahan agar tangisnya tidak terdengar oleh orang lain.

Sebuah tangan dengan lembut memegang pundaknya. Li Ai terkejut dan mengangkat muka memandang. Kiranya Siang Lan sudah berdiri di belakangnya.

“Li Ai, mengapa engkau menangis? Apakah engkau masih berduka karena nasibmu dahulu itu?” Li Ai menggelengkan kepala.

“Hemm, apakah engkau merasa menyesal meninggalkan rumahmu dan tinggal di tempat sunyi ini?”

Li Ai cepat menggelengkan kepala dan menjawab. “Tidak, Enci, aku senang sekali tinggal di sini bersamamu. Aku hanya...... sedih teringat kepada...... seorang sahabat baikku ”

“Sahabat baikmu? Siapakah itu, Li Ai?”

“Dia dia putera Bong Wan-gwe (Hartawan Bong) sahabat mendiang Ayahku yang tinggal di kota raja.”

“Hemm, seorang pemuda?”

Wajah ayu itu menjadi kemerahan. “Dia bernama Bong Kin dan sebelum terjadi malapetaka menimpa keluargaku, Bong Kongcu itu telah menyatakan bahwa dia...... cinta padaku dan akan meminangku ”

Posting Komentar