Kisah Sepasang Naga Chapter 18

NIC

Karena merasa senang bertemu dengan kawan-kawan lama, Sin Wan Giok Ciu bermalam itu.

Sin Wan menceritakan tentang usahanya membalas dendam yang gagal bahkan telah kehilangan pula ayah Giok Ciu.

Orangorang kampung mendengar penuturannya ini dengan gemas, sementara Giok Ciu menahan-nahan kesedihannya dengan menggigit bibir.

Gadis ini selalu membayangkan keadaannya dan memikirkannya tiada habisnya, dimanakah makam ayahnya.

Kalau menurutkan kata hatinya, ingin sekali ia mencari dan kembali ke kota Wie-kwan, tapi ia tahu bahwa hal itu tidak ada gunanya, karena selain sia-sia dan belum tentu dapat menemukan apa yang dicarinya, juga sangat berbahaya bagi keselamatan dirinya karena kota itu penuh dengan kaki tangan dan mata-mata Sumacianbu yang telah mengenalnya.

Karena itulah maka ia bersabar dan mengambil keputusan untuk mempergiat pelajaran silatnya hingga beberapa lama lagi, setelah mendapat kemajuan pesat, bersama Sin Wan pergi membalas dendam.

Masih banyak ilmu silat yang mereka telah pelajari tapi belum dilatih masak-masak, bahkan ilmu pedang Sintiauw-kiam-sut yang belum lama dipelajari juga belum dikuasai baikbaik dan perlu latihan yang lama dan rajin.

Setelah tinggal tiga hari di kampung itu, Sin Wan dan Giok Ciu lalu meninggalkan kampung itu dan menuju ke tempat tinggal Giok Ciu, karena mereka menganggap tempat itu lebih aman dan tersembunyi sehingga mereka dapat melatih silat tanpa menderita gangguan.

Ketika mereka sedang berjalan perlahan mendaki bukit,tiba-tiba terdengar seruan orang dari belakang.

Mereka menahan tindakan kaki mereka dan berpaling.

Alangkah terkejut mereka ketika melihat bahwa dengan cepat sekali, dari bawah bukit lari mengejar Cin Cin Hoatsu, Suma-cianbu dan Siauw-san Ngo-sinto! Mereka itu mengejar sambil berteriak-terik dan Cin Cin Hoatsu telah berada dekat karena pendeta Tibet ini larinya cepat sekali.

"Celaka, moi-moi.

Kita lari saja, percuma melawan.

Hayo kita lari cepat." Kedua anak muda itu lari secepat mungkin ke atas puncak, tetapi karena kepandaian ilmu lari cepat mereka masih kalah jika dibanding dengan Cin Cin Hoatsu, makin lama pengejar itu makin dekat jaraknya.

Karena gugup dan bingung, Sin Wan dan Giok Ciu tanpa sengaja tiba di tempat yang selalu menjadi kenangan mereka, yaitu di dekat Sumur Naga dimana mereka dulu terjatuh.

"Mari kita masuk saja!" Sin Wan mengajak dan tanpa ragu-ragu lagi keduanya meloncat ke dalam sumur yang tertutup kabut tebal itu! Mereka turun dengan selamat dan kaki mereka menyentuh pasir.

Ternyata, keadaan sumur itu tidak berubah, dan ketika mereka berpaling, ternyata batu-batu cadas yang berbentuk kepala naga itu masih tetap ada.

Tetapi alangkah terkejut mereka ketika mereka tiba-tiba melihat bahwa di sudut dekat batu naga itu terdapat seorang kakek yang tua sekali duduk bersila di atas pasir sambil meramkan mata.

Kakek tua itu tubuhnya kurus kering bagaikan tengkorak hidup, rambutnya putih panjang terurai ke belakang punggunya yang telanjang.

Tubuh bagian bawah tertutup celana pendek yang lebar dan kakek itu bersila dengan cara yang aneh.

Kaki dan tubuhnya bersila seperti biasa dengan telapak kaki menghadap ke atas dan tertumpang di kedua paha, tetapi anehnya ia tidak duduk seperti biasa.

Tubuhnya tidak terletak di atas tanah, karena tangan kirinya melalui renggang kakinya ditekannya ke atas pasir sehingga mengganjal tubuhnya yang terkatung-katung tidak menempel tanah sedikitpun.

Tangan kakek itu diletakkan di atas pangkuan.

Dapat dibayangkan kekuatan tangan kirinya yang menahan tubuh itu tanpa bergerak sedikitpun, seakan-akan tangan dan lengan itu berubah menjadi benda mati yang didudukinya.

Karena maklum bahwa mereka sedang berhadapan dengan seorang berilmu tinggi, Sin Wan dan Giok Ciu segera berlutut di hadapan kakek itu sambil berkata," Mohon beribu maaf bahwa tanpa disengaja teecu berdua telah berani mengganggu kepada locianpwe." Tapi kakek itu sedikitpun tidak bergerak dan tidak menjawab.

Ketika SinWan dan Giok Ciu memandang, mereka kaget sekali karena kakek itu tiada ubahnya seperti patung batu mati.

Bahkan pada perut dan dadanya yang telajang itu tiada tampak tanda-tanda pernapasan! Sudah mati dan membatukah tubuh kakek ini? Pada saat mereka masih ragu-ragu, tiba-tiba dari atas sumur itu terdengar bentakan Cin Cin Hoatsu, "He, pemberontak-pemberontak muda, masih hidupkah kalian? Kalau masih hidup, naiklah dengan damai dan pinto takkan membunuhmu!" Sin Wan dan Giok Ciu terkejut sekali karena tempat persembunyiannya terdapat oleh pengejar-pengejar mereka tapi mereka diam saja dan tetap berlutut di depan kakek itu.

Terdengar makian di atas sumur dan kini terdengar suara Sumacianbu.

"Binatang-binatang yang berada di dalam sumur.

Lekas keluar, kalau tidak kami akan menghujani batu dan anak panah!" Sin Wan dan Giok Ciu kuatir sekali kalau-kalau ancaman ini dijalankan.

Tetapi tiba-tiba kakek yang disangkanya patung mati itu bergerak dan membuka matanya.

Sin Wan dan Giok Ciu makin heran karena ketika terbuka, kedua mata itu hampir seluruhnya putih dan hanya sedikit hitamnya di tengah-tengah.

Kakek itu masih menahan tubuhnya, lalau terdengar ia berkata perlahan, "Kalian sudah lama datang? Sukur, memang aku telah menantimu." Pada saat itu dari atas sumur orang melempar batu kebawah yang hampir saja menimpa kepala Sin Wan, tapi pemuda itu menggunakan tangan menyabet sehingga batu itu terlempar disampingnya.

"Ah orang-orang itu sungguh-sungguh tak tahu aturan," kata kakek itu yang lalu menggerak-gerakkan tangan kanannya ke atas.

Sin Wan dan Giok Ciu kaget sekali dan cepa menggeser tubuh mereka minggir karena dari tangan kakek itu keluarlah angin pukuan yang berputarputar naik ke atas sumur! Tiba-tiba diatas sumur terdengar jeritan ngeri karena batu-batu dan anak-anak panah yang dilepas ke bawah, secara ajaib sekali tiba-tiba terbang kembali dan menghantam mereka yang tidak keburu berkelit! Beberapa orang anak buah Suma-cianbu terkena batu dan anak panah mereka sendiri sehingga terluka dan berteriak-teriak kesakitan.

Cin Cin Hoatsu heran melihat keganjilan ini.

Ia lalu menggunakan kedua lengan bajunya mengebut-ngebut ke dalam sumur sambil mengerahkan tenaga lweekangnya yang hebat.

Dulu ketika melatih lweekang, ia menggunakan sumur untuk mencoba kekuatannya dan kalau ia menggerak-gerakkan tangannya ke dalam sumur, maka air di dalam sumur akan berombak dan bergolak makin keras sampai memercik keluar! Kini menduga bahwa di dalam sumur ada apa-apa yang tidak beres, ia menggunakan tenaga lweekangnya iu untuk memukul ke bawah.

Tetapi hampir saja ia berteriak karena kaget dan heran ketika merasa betapa tenaganya itu sebelum membentur dasar sumur, telah terpental kembali.

Ia menarik kedua tangannya dan meloncat jauh agar tidak menjadi korban pukulannya sendiri! Wajahnya menjadi pucat, karena ia menyangka bahwa di dalam sumur itu tentu ada setannya karena mana mungkin ada orang yang dapat mengembalikan tenagan pukulannya secara demikian mudah dan luar biasa.

Melihat tiba-tiba pendeta Tibet itu menjauhi sumur dengan wajah pucat, Suma-cianbu bertanya,"Ada apakah,lo-suhu?" Cin Cin Hoatsu malu untuk mengaku, maka ia hanya berkata, "Mari kita tinggalkan tempat ini.

Kedua binatang kecil itu tentu telah mampus, karena sumur ini mengandung hawa beracun!" Maka semua pengejar itu lalu kembali turun gunung dengan hati puas, karena mereka menyangka bahwa kini semua pengacau dan pemberontak berbahaya telah dapat ditumpas habis, Sin Wan dan Giok Ciu yang berada di dalam sumur dapat mendengar semua percakapan di atas itu sehingga merasa kagum atas kesaktian kakek aneh ini.

Karena yakin bahwa yang berada di hadapan mereka tentu orang suci yang berilmu tinggi, maka Sin Wan menarik tangan Giok Ciu untuk maju dihadapan kakek itu dan berlutut sambil mengangguk-angguk kepala.

Tiba-tiba kakek itu tertawa, suaranya nyaring tinggi seperti suara wanita tertawa tapi ketika ia bicara, suaranya berubah besar dan parau,"Kalian yang dulu masuk ke sini dan makan buah-buah itu sampai habis, bukan?" Sin Wan menjawab,"Betul lo-cian-pwe, mohon maaf jika teecu berdua mengganggu." "Kalian dikejar-kejar orang, sedangkan kepandaianmu cukup baik, mengapa tidak kalian lawan saja? Lari pergi tanpa melawan adalah kelakuan pengecut." "Teecu berdua tidak sanggup melawan mereka, lo-cianpwe.

Kepandaian teecu masih terlampau rendah.

Mohon petunjuk dari locianpwe yang mulia,"kata Sin Wan.

"Jika lo-cianpwe sudi, teecu mohon diterima menjadi murid." Kata Giok-Ciu dengan langsung karena ia telah yakin benar bahwa kakek ini memiliki kepandaian yang sangat tinggi.

Kakek itu tertawa lagi dan mengangguk-angguk, tiba-tiba ia meloncat dan tahu-tahu ia sudah berada di dinding batu yang tingginya tidak kurang dari tiga tombak dengan punggung menempel di batu! "Bagus, bagus memang kalian yang berjodoh dengan aku.

Memang kalian yang berjodoh dengan sepasang naga itu." Sin Wan terkejut mendengar ucapan ini.

Sepasang naga yang mana? Agaknya dari atas, kakek aneh itu dapat melihat keraguan dan keheranannya, maka ia segera meloncat turun dan berdiri di depan mereka.

"Kalian berdirilah!" Ketika Sin Wan dan Giok Ciu berdiri, mereka melihat betapa tubuh kakek itu sebenarnya tinggi besar, hanya karena tubuhnya sama sekali tidak berdaging, maka tampak kurus kering.

Yang mengherankan ialah warna segar kemerah-merahan pada kulit pipinya yang kurus itu dan biarpun manik matanya yang hitam itu kecil sekali, namun kalau bertemu pandang, Sin Wan dan Giok Ciu merasa betapa dar sepasang mata itu memancar dua sinar tajam dan berpengaruh.

"Mari kita masuk," kata kakek itu.

Posting Komentar