Iblis dan Bidadari Chapter 18

NIC

Lim Bun menjadi pucat dan hampir saja ia menjadi pingsan melihat keadaan sawahnya ini. Sambil berlari-lari ke sana ke mari, ia berteriak-teriak.

“Siapa yang mencabuti padiku .......? Ah, manusia mana yang demikian kejam melakukan bencana ini kepadaku ?

Siapa yang mencabuti padiku ?”

Orang-orang lain yang bekerja di sawah mereka, melihat dengan kasihan sekali kepada kakek yang hampir menjadi gila itu. Seorang tetangga yang tahu baik keadaan Lim Bun, lalu menghampirinya dan memegang tangannya. “Kim-lopek, kalau bukan kaki tangan Siong-wangwe yang malam tadi melakukan perbuatan terkutuk ini, siapa lagi yang berani melakukannya?”

Lim Bun terbelalak memandang orang itu. “Akan tetapi mengapa? Mengapa??” Orang itu hanya mengangkat pundaj dan melanjutkan pekerjaannya setelah melempar pandang penuh iba hati kepada kakek itu.

“Bangsat kejam Siong Tat! Aku harus membuat perhitungan!” teriak kakek itu dan ia segera berlari-lari menuju rumah gedung Siong Tat. Akan tetapi, sebelum ia memasuki halaman rumah gedung itu, ia telah diusir oleh lima orang penjaga dan ia segera dilempar keluar ketika ia berkeras hendak mencari Siong-wangwe.

Lim Bun bangun lagi dan kini ia berlari ke rumah gadai yang berada di dekat rumah gedung itu. Ia berlari masuk dan ketika tiba di depan meja pegawai rumah gadai, ia berteriak keras sambil menggebrak meja.

“Kembalikan cucuku! Lepaskan Siauw Kim! Kalian telah sengaja merusak sawahku agar aku tidak dapat menebus Siauw Kim! Kalian bangsat-bangsat kurang ajar yang berhati iblis! Lepaskan Siauw Kim cucuku!”

Pegawai rumah gadai itu keluar diikuti beberapa orang tukang pukul. Tukang-tukang pukul itu hendak turun tangan terhadap kakek yang membikin ribut ini, akan tetapi pegawai itu mengangkat tangan mencegah, lalu sambil tersenyum- senyum ia berkata kepada Lim Bun.

“Kakek tua, agaknya kau sudah pikun! Kau tidak becus mengurus sawahmu, janganlah kau persalahkan itu kepada orang lain. Kau sudah menggadaikan cucumu dan waktu dua bulan masih kurang dua m inggu lagi. Kalau kiranya kau sudah tak sanggup menebus cucumu, relakanlah saja cucumu menjadi hamba sahaya Siong-wangwe karena keadaannya akan lebih senang dari pada menjadi cucumu. Nah, lihatlah, Siong-wangwe bahkan memberi tambahan tiga puluh tail perak kepadamu kalau kau tidak menebus cucumu!” Pegawai itu lalu mengeluarkan setumpuk uang perak di atas meja dihadapan kakek itu.

Akan tetapi Lim Bun menampar uang itu sehingga berdentingan jatuh di atas lantai. “Tidak sudi! Aku tidak sudi uang yang kotor ini! Lekas lepaskan cucuku, kalau tidak aku akan melaporkan kepada tikoan!”

Kini pegawai itu memberi tanda dengan matanya dan dua orang tukang pukul lalu melangkah maju, memegang lengan kakek itu dan sekali ayun saja tubuh kakek itu melayang keluar dari rumah itu. Lim Bun memekik dan tubuhnya jatuh berdebuk di atas tanah. Untung bagi kakek tua ini bahwa ia terjatuh dengan tubuh belakang lebih dulu, kalau kepalanya yang jatuh lebih dulu, banyak kemungkinan ia akan tewas. Namun karena ia sudah tua dan lemah, kejatuhannya itu cukup membuat ia sampai lama tak dapat bangun. Beberapa orang yang menaruh hati kasihan lalu menolongnya bangun.

Sambil menangis dan memaki-maki, Lim Bun langsung menuju ke rumah pembesar kota itu menghadap melaporkan keadaannya. Akan tetapi setelah tikwan itu memeriksa surat gadai, di situ ia membaca tulisan yang menyatakan bahwa anak perempuan Siauw K im telah dijual sebagai budak kepada Siong-wangwe seharga seratus tail perak. Kakek itu ternyata buta huruf dan tak dapat membaca surat penjualan yang disangkanya surat gadai biasa ini.

“Orang tua, kau telah menjual anakmu dengan suka rela dan sah, mengapa sekarang kau hendak mungkir janji dan hendak membuat ribut? Tidak tahukah kau bahwa Siong- wangwe adalah seorang sopan dan mulia hatinya? Untuk kekurang ajaranmu ini seharusnya kau dihukum dengan lima puluh kali sambukan pada punggungmu, akan tetapi mengingat bahwa kau sudah tua dan mungkin otakmu agak miring, kau hanya diberi hukuman peringatan sepuluh kali cambukan!”

Hakim yang bijaksana dan adil bagi orang-orang hartawan ini lalu membuat perintah kepada algojonya yang cepat merobek baju kakek itu, menendang lututnya sehingga kakek itu roboh tertelungkup dan menghantam punggung kakek itu sepuluh kali dengan cambukan yang besar.

Kakek itu tentu saja menangis menggerung-gerung karena sakitnya. Kulit punggungnya pecah dan berdarah, namun sakit di dalam hatinya masih jauh lebih besar dari pada sakit pada punggungnya. Ia lalu diusir seperti anjing dan dengan terhuyung-huyung dan terpincang-pincang kakek ini lalu keluar dari rumah pengadilan itu.

Bagaimana ia dapat menyampaikan warta ini kepada anaknya dan cucu-cucunya di rumah? Kakek ini menjadi bingung sekali dan ia lalu mengambil keputusan nekat. Bunuh diri!

(Oo-dwkz-oO)

Mendengar penuturan kakek Lim Bun yang telah berputus asa dan hendak membunuh diri itu, Hwe-thian Moli menjadi marah sekali. Sepasang alisnya yang hitam dan bagus bentuknya itu berkerut dan sepasang matanya memancarkan cahaya berkilat.

“Keparat jahanam!” sambil menggigit bibir saking gemasnya ia memaki, kemudian ia bertanya kepada kakek itu. “Lim-lopek, sudah banyakkah terjadi penggadaian manusia itu?”

Lim Bun menghela napas. “Setelah kutanya-tanyakan kepada beberapa orang, memang sudah banyak jumlahnya anak perempuan yang digadaikan seperti halnya cucuku Siauw Kim itu. Akan tetapi siapakah orangnya yang berani melawan Santung-taihiap Siong Tat yang selain kaya raya dan berkepandaian tinggi, juga agaknya dilindungi oleh pembesar setempat?”

“Kurang ajar! Akulah yang berani melawannya, lopek. Jangan kau kuatir. Pulanglah dengan tenang dan tunggulah saja. Hari ini juga akan kubawa pulang cucumu Siauw Kim!” Setelah berkata demikian, Hwe-thian Moli Nyo Siang Lan lalu merogoh saku bajunya dan memberi beberapa potong uang perak kepada kakek itu.

Lim Bun menerima pemberian itu dengan amat berterima kasih, akan tetapi ia masih ragu-ragu apakah gadis muda cantik jelita ini akan sanggup menghadapi Siong Tat. “Lihiap,” katanya dengan suara terharu, “kau amat berbudi dan gagah perkasa. Akan tetapi kau seorang diri dan Siong Tat mempunyai banyak sekali kaki tangan. Kalau kau sampai mendapat celaka di tangan mereka yang kejam, bukankah dosaku akan makin bertambah?”

“Jangan pikirkan hal ini, lopek. Kau percayalah saja kepadaku. Kalau perlu, semua kaki tangan jahanam itu akan kubunuh mampus dan pembesar keparat itupun akan mendapat bagiannya!” Sebelum kakek itu dapat berkata sesuatu, tubuh nona itu berkelebat dan lenyap dari depan matanya.

Tentu saja Lim Bun merasa terkejut sekali dan hampir saja ia t idak percaya akan pandangan matanya. Mimpikah dia tadi? Akan tetapi tidak, karena uang perak beberapa potong itu masih berada ditangannya. Mungkin ia bukan manusia, pikirnya, akan tetapi seorang dewi. Kakek itu lalu berlutut dan untuk beberapa lama mulutnya berkemak-kemik membaca doa menghaturkan terima kasih.

Dengan hati penuh dibakar api kemarahan, Siang Lan mempergunakan ilmu berlari cepat memasuki kota Kang-leng. Mudah saja ia mendapat keterangan di mana adanya rumah gadai dari Siong-wangwe dan melihat rumah gadai yang besar dan terjaga oleh lima orang yang tinggi besar, ia segera berjalan masuk dengan langkah lebar. Para penjaga itu memandang kepadanya dengan senyum menyeringai sebagaimana biasanya laki-laki mata keranjang melihat wanita cantik.

“Aduh, nona manis!” seru seorang di antara mereka yang termuda sambil senyum-senyum, “Kau hendak menggadaikan apakah? Kalau kau perlu uang, biarlah aku saja yang memberi pinjam kepadamu. Mari kau ikut aku pulang ke rumahku, maukah?”

Mendengar ucapan ini, kemarahan di dalam dada Siang Lan meluap-luap. Ia berhenti bertindak dan memandang kepada lima orang penjaga itu dengan mata mengancam akan tetapi mulutnya tersenyum.

“Aku memang mau menggadaikan sesuatu di rumah gadai ini.”

“Menggadaikan apakah nona?” tanya penjaga itu sambil melangkah maju. “Hati-hati jangan sampai kau terlihat oleh Siong-wangwe, lebih baik kau turut kepadaku dan segala kebutuhanmu akan kucukupi. Mari nona manis. Marilah ”

tangan penjaga itu secara krang ajar diulurkan kepadanya hendak memegang lengannya.

“Kaulah yang hendak kugadaikan!” tiba-tiba Siang Lan menggerakkan tangannya dan sebelum penjaga yang mata keranjang itu dapat mengelakkan diri, ia telah terkena tiam- hwat (totokan) dari Siang Lan. Saking gemasnya Siang Lan telah menotok dengan tenaga kuat sekali sehingga penjaga itu roboh dalam keadaan kaku dan mata mendelik.

Empat orang penjaga lain yang melihat kawan mereka dirobohkan oleh seorang gadis cantik, menjadi terkejut dan segera maju menyerbu untuk menangkap Siang Lan. Mereka masih memandang ringan dan tidak mempergunakan senjata, hanya mengulurkan tangan untuk menangkap gadis itu. Akan tetapi, begitu tubuh Siang Lan bergerak dan kedua kaki tangannya bekerja, empat tubuh penjaga itu terlempar ke sana ke mari dibarengi teriakan ngeri. Mereka terbanting roboh tanpa dapat bangun kembali.

Peristiwa ini terjadi di pintu gerbang rumah gadai itu, di dekat jalan raya sehingga banyak orang yang menyaksikan. Orang-orang ini menjadi terheran-heran melihat betapa seorang gadis muda yang cantik berani mengamuk dan mengacaukan rumah gadai Siong-wangwe, bahkan kini telah merobohkan lima orang penjaga yang biasanya amat ditakuti dan lebih galak dari pada lima ekor anjing penjaga itu. Hal ini amat menarik perhatian dan sebentar saja banyaklah orang berkerumun di tempat itu.

Akan tetapi Siang Lan tidak memperdulikan semua orang itu, lalu ia membungkukdan menjambak rambut penjaga mata keranjang tadi, lalu diseretnya menghampiri rumah gadai. Beberapa orang menjadi makin tertarik dan memberanikan diri untuk ikut masuk dan melihat apa yang akan terjadi selanjutnya. Mereka melihat gadis muda itu membawa tubuh penjaga sampai di depan meja pegawai rumah gadai yang bangun berdiri dari kursinya dan memandang dengan mata terbelalak.

“Kau siapa dan apakah maksud kedatanganmu?” tanya pegawai itu dengan hati kebat-kebit. Ia telah melihat bahwa yang diseret masuk itu adalah seorang penjaga, akan tetapi tentu saja ia tidak berani menegur karena ia adalah seorang ahli menulis surat gadai saja.

Siang Lan tertawa menghina ketika mendengar pertanyaan

ini.

Posting Komentar