Suling Emas Chapter 64

NIC

Teriak orang-orang yang menonton yang tentu saja sudah dapat menduga bahwa kuda itu adalah kuda palsu, bukan kuda melainkan seorang manusia.

Tentu seorang anak-anak karena kaki tangannya begitu kecil dan pendek. Aneh pula, seperti halnya penunggangnya, kuda palsu itu pun sama sekali tidak mengelak dan tubuhnya pun penuh dengan anak panah! Akan tetapi, lebih aneh lagi, dia masih saja merangkak-rangkak, bahkan kini menuju ke lapangan dimana tersedia sasaran boneka besar untuk menguji kepandaian memanah! Barulah kini orang-orang melihat bahwa anak-anak panah yang disangka menancap didada orang gila itu sama sekali bukan menancap, melainkan dikempit diantara kedua kelek (ketiak) dan diantara jari-jari tangan, malah yang tadinya disangka menancap dimuka ternyata adalah anak-anak panah yang kena gigit oleh "orang gila"

Itu.

Entah bagaimana cara "kuda"

Itu menerima anak-anak panah yang kelihatannya masih menancap pada tubuhnya, karena tubuh itu masih tertutup baju yang dikerobongkan dikepala! Setelah tiba dilapangan memanah, tiba-tiba "kuda"

Itu lari congklang, bukan main cepatnya, agaknya tidak kalah cepatnya oleh larinya kuda! Tentu saja kenyataan itu membuat para penonton menjadi kaget, kagum, heran, dan gembira sehingga meledaklah sorak-sorai mereka, melebihi yang sudah-sudah, Raja Kulu-khan sampai bangkit dari kursinya, Puteri Mahkota Tayami bertukar pandang dengan Salinga, para panglima berbisik-bisik. Yang lucu adalah Kalisani. Panglima tua ini meloncat-loncat seperti anak kecil kegirangan dan mulutnya tiada hentinya berteriak.

"Hebat...! Mereka orang-orang sakti! Ah, mana bisa kepandaian kita dibandingkan dengan mereka?"

Hanya Bayisan yang mukanya menjadi pucat dan matanya menyinarkan kemarahan. Pada saat itu ia mendekati seorang pangeran yang juga merupakan putera Raja Kulu-khan dari selir, tapi lebih tua daripada Bayisan yang bernama Pangeran Kubakan. Pangeran ini pucat mukanya, lalu berbisik-bisik dengan Bayisan.

"Siapakah mereka...?"

Tanya Kubakan.

"Aku tidak tahu..."

Jawab Bayisan bingung.

"Jangan-jangan..."

Kubakan menoleh kearah ayahnya yang berdiri dan memandang kagum kearah lapangan, malah kini kedua tangan raja itu ikut pula bertepuk tangan memuji bersama semua penonton.

"Ah, agaknya Sribaginda pun tidak mengenalnya. Akan tetapi siapa tahu? Malam ini kita harus turun tangan..."

Kembali Kubakan menoleh kearah ayahnya, lalu mengangguk-angguk. Sekali lagi dua orang pangeran ini bertukar pandang, kemudian mereka berpisah. Bayisan lari kearah lapangan untuk menyaksikan dua orang aneh itu dari dekat. Setelah lari cepat seputaran dengan cara berloncatan seperti kuda, kakek yang menggendong Kwee Seng itu tiba didepan sasaran, jaraknya sama dengan jarak para peserta tadi. Tiba-tiba Kwee Seng mengeluarkan seruan bentakan yang nyaring sekali sehingga beberapa orang penonton yang jaraknya terlalu dekat roboh terguling. Berbareng dengan seruan ini tubuhnya meloncat turun dari punggung "kuda"

Dan sekali tubuhnya itu terbang cepat kearah sasaran.

"Cap-cap-cap-cap!!!"

Cepat sekali anak-anak panah itu terbang susul-menyusul menancap pada sasaran, tak sebatangpun luput. Akan tetapi para penonton memandang bingung karena tidak tampak bekasnya. Setelah mata yang memandang tidak begitu kabur lagi oleh berkelebatnya anak-anak panah itu, tampaklah oleh mereka betapa semua anak panah yang dilepaskan oleh Kwee Seng itu telah menancap diatas gagang tiga belas buah pisau terbang panglima muda! Gegerlah semua penonton saking kagum dan herannya, akan tetapi diam-diam Bayisan menjadi pucat mukanya. Terang bahwa "orang gila"

Itu memusuhinya, buktinya anak-anak panah itu menancap digagang hui-to yang tadi ia lepaskan.

Tiba-tiba terdengar suara berkakakan dan "kuda"

Itu meloncat berdiri diatas dua kaki belakangnya dan tampaklah seorang kakek cebol yang wajahnya seperti wajah patung dewa di kelenteng, kedua tangannya sudah menggenggam banyak sekali anak panah sambil masih tertawa-tawa bergelak, kedua tangannya bergerak kedepan dan meluncurlah anak-anak panah itu beterbangan kearah sasaran. Anehnya, anak-anak panah itu terbangnya masih berkelompok dan setelah dekat dengan boneka lalu terpisah menjadi lima rombongan yang menyambar ke leher, kedua pundak dan kedua pangkal lengannya, dan kedua kakinya telah patah! Tanpa mempedulikan keributan semua orang disitu, Kwee Seng kini berdiri dengan kakek aneh. Kakek itu tertawa bergelak-gelak, Kwee Seng pringas-pringis menyeringai aneh, keduanya orang-orang aneh atau mungkin juga keduanya sudah miring otaknya!

"Hoa-ha-hah, jembel muda bau busuk, kau lumayan juga! Aku harus mencobamu!"

"Kakek cebol menjemukan! Siapa gentar menghadapi kesombonganmu?"

Kwee Seng menjawab, karena betapapun juga, ia mendongkol melihat kakek ini amat jumawa (tekebur). Biarpun Kwee Seng berdiri acuh tak acuh, sama sekali tidak memasang kuda-kuda seperti ahli silat, seperti juga kakek itu yang berdiri dengan kaki dibengkokkan lucu, namun diam-diam Kwee Seng siap dan waspada karena maklum bahwa seorang sakti seperti kakek ini, sekali menyerang tentulah amat hebat sekali. Akan tetapi pada saat itu. Bayisan sudah mengerahkan pasukannya, siap mengurung dan menyerang dua orang ini yang dianggapnya mengacau dan hendak membikun rusuh. Melihat ini, kakek cebol tertawa bergelak.

"Aha-ha-ha! Sudah cukup main-main hari ini, jembel muda bau, kakekmu tidak ada waktu lagi, sudah lapar dan mengantuk. Biarlah lain hari aku akan mencarimu dan tak mau sudah sebelum kau terkencing-kencing oleh pukulanku!"

Setelah berkata demikian, kakek itu melompat-lompat, makin lama makin tinggi lompatannya yang modelnya seperti katak melompat.

Akhirnya ia melompat demikian tingginya sampai melewati kepala orang-orang banyak. Celaka bagi mereka yang terinjak kepala atau pundaknya oleh kaki itu, karena ia lalu dipergunakan seperti batu loncatan oleh Si Kakek Aneh sehingga kepala dan pundak mereka menjadi kotor oleh debu dan lumpur, malah hebat dan lucunya, sambil menjejak kepala dan pundak orang, kadang-kadang Si Kakek melepas kentut yang nyaring sekali sambil tertawa terbahak-bahak! Kwee Seng juga segera melompat, melampaui kepala banyak orang, kemudian mempercepat larinya menjauhkan diri dari tempat itu dan lenyap diantara pohon-pohon yang lebat tumbuh di lembah Sungai Huang-ho. Gegerlah keadaan di situ dan Bayisan cepat mengatur pasukannya untuk melakukan penjagaan keras pada hari itu dan seterusnya. Kalisani mendekatinya dan berkata,

"Bayisan, mengapa kau ribut-ribut sendiri? Jelas bahwa dua orang sakti itu adalah petualang-petualang yang tidak mempunyai niat buruk terhadap kita, bahkan gaknya mereka berdua itu pun tidak saling mengenal. Menghadapi orang-orang seperti itu, lebih baik kita menyambut mereka sebagai tamu agung untuk dijadikan sahabat. Mengapa kita harus menjaga dan mengejar-ngejar mereka seperti maling?"

Dengan wajah berkerut, Bayisan menjawab,

"Paman Kalisani, pandangan kita dalam hal ini berbeda. Betapapun juga, aku tidak bisa mengabaikan kewajibanku menjaga keamanan Sribaginda. Malam ini harus aku sendiri yang melakukan perondaan didalam istana. Siapa tahu, mereka itu akan datang dengan niat busuk, dan mereka amatlah lihai."

Setelah berkata demikian, Bayisan meninggalkan Kalisani yang masih terpengaruh oleh kepandaian dua orang itu dan kadang-kadang tertawa sendiri mengingat akan kelucuan sepak terjang mereka. Juga diam-diam ia ingin sekali bertemu dan berkenalan dengan mereka. Kalisani biarpun seorang tokoh Khitan, namun pengalamannya sudah luas sekali. Sudah bertahun-tahun ia merantau ke selatan, mengenal baik ilmu silat selatan, bahkan ia seorang ahli silat yang pandai pula. Namun belum pernah ia mendengar tentang seorang pemuda gila dan kakek cebol yang begitu aneh.

Malam itu indah sekali. Tiada angin mengusik daun. Alam tenang tentram pada malam hari itu setelah siangnya tadi terdengar sorak-sorai menggetarkan air sungai. Bulan purnama memenuhi permukaan bumi dengan sinarnya yang tenang redup, membuat air Sungai Huang-ho berkilauan seperti kaca. Agaknya sudah terlalu letih semua penduduk Paoto setelah sehari penuh tadi berpesta dan menonton keramaian, sehingga malam ini mereka tidak mempunyai nafsu lagi untuk menikmati keindahan sinar bulan. Kecuali, tentu saja anak-anak dan orang-orang muda yang masih selalu haus akan kesenangan. Ditepi sungai sebelah barat kota yang sunyi, terdapat dua orang menunggang kuda perlahan-lahan, menyusuri tepi pantai sungai yang amat lebar itu. Mereka itu sepasang orang muda, yang perempuan cantik jelita dengan rambut disanggul keatas, kudanya berwarna kuning, yang pria tampan gagah, memakai topi terhias bulu, kudanya berbulu seputih salju. Mereka ini adalah Salinga dan Tayami.

"Betapa bahagianya hatiku, hanya bulan yang mengetahuinya, Dinda Tayami,"

Terdengar pemuda itu berkata, suaranya seperti orang bersyair.

"Lihat bulan selalu tersenyum-senyum kepadaku!"

"Sudah semestinya kita berbahagia, Kanda Salinga, setelah tadi kita merasa gelisah dan bimbang. Oh, kau tidak tahu betapa tadi aku menggigil ketika kau mengajukan permintaanmu kepada ayah. Aku tahu bahwa yang akan kau minta tentulah diriku namun aku amat kuatir kalau-kalau ayah merubah pendiriannya selama ini. Setelah ayah mengabulkan permintaanmu, barulah hatiku lega sekali."

Mereka menghentikan kuda di bawah pohon di tepi sungai, saling pandang penuh mesra.

"Sesungguhnyalah Adinda, aku pun tadi merasa betapa jantungku berdebar, serasa hendak pecah menanti keputusan Sribaginda. Memang kesempatan yang amat bagus. Aku diterima menjadi calon panglima, kemudian disuruh memilih pahala. Di depan semua panglima dan ponggawa, tentu saja aku segera memilih tanganmu sehingga persetujuan Sribaginda merupakan keputusan Sang Ayah, banyak saksinya. Alangkah bahagia hatiku...."

Akan tetapi wajah Tayami membayangkan kekuatiran.

"Betapapun juga Kanda Salinga, kita harus waspada terhadap Kanda Panglima Bayisan. Kau lihat tadi sinar matanya ketika mendengar keputusan ayah menerima kau sebagai calon mantunya? Aku masih merasa ngeri kalau mengingat sinar matanya, seolah-olah memancarkan cahaya berapi."

"Ah, dia kan masih kakak tirimu sendiri. Cinta kasihnya terhadapmu tentu lebih condong kepada cinta kasih seorang kakak terhadap adiknya."

"Kau tidak tahu, Kanda Salinga. Sudahlah, aku teringat akan dua orang aneh tadi. Apakah maksud mereka datang mengacaukan perlombaan bangsa kita? Si Pengemis Muda itu terang seorang Han dari selatan, entah kalau Si Kakek Cebol. Betapapun juga, mereka berdua memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa. Siapa gerangan mereka?"

"Memang aneh-aneh watak orang sakti di dunia ini. Sudah banyak aku mendengar akan hal itu. Tak perlu kuatir, mereka itu kurasa bukanlah orang-orang jahat. Dinda Tayami, lihat, betapa indahnya air sungai, betapa tenang dan bening seperti kaca. Mari kita berperahu. Disana ada perahu kecil."

Tanpa menjawab Tayami menuruti permintaan kekasihnya. Mereka berdua meloncat turun dari kuda, menambatkan kendali kuda, menambatkan kendali kuda pada batang pohon, kemudian kembali bergandengan tangan dan bernisik-bisik mesra keduanya berjalan menuju ke pinggir sungai, memasuki perahu kecil, melepaskan ikatan perahu dan tak lama kemudian perahu itu meluncurlah ketengah. Salinga mendayung perahu, Tayami duduk bersandar kepadanya, merebahkan kepala pada dadanya yang bidang.

Kwee Seng berdiri dibelakang pohon, memandang dengan melongo, mata terbelalak lebar dan mulut ternganga. Memang hebat pemandangan itu, muda-mudi berkecimpung dalam madu asmara, dibawah sinar bulan purnama didalam biduk kecil yang diombang-ambingkan alunan air sungai sehalus kaca, rambut halus juita terurai diatas dada, kata-kata bermadu dibisikkan, sayup-sayup sampai mendesir di telinga Kwee Seng bagaikan nyanyian sorgaloka. Tanpa disadarinya, dua titik air mata menetes turun membasahi pipi Kwee Seng. Pikirannya menjadi kabur, ingatannya melayang-layang jauh dimasa lampau, membayangkan wajah Liu Lu Sian, wajah Ang-siauw-hwa, membuat ia tersenyum-senyum dengan mata berkaca-kaca basah.

Kemudian terbayang wajah nenek di Neraka Bumi dan tiba-tiba Kwee Seng mengeluh, memaki diri sendiri dan menampari mukanya sambil tertawa setengah menangis. Gilanya kumat kalau ia teringat kepada nenek itu karena tiap kali teringat akan segala yang ia perbuat dengan nenek itu di dalam Neraka Bumi, dadanya seperti diaduk-aduk dengan pelbagai macam perasaan. Ada rasa malu, kecewa, menyesal, bercampur dengan rasa girang, rindu muncul silih berganti, maka tidak heran kalau ia menjadi seperti orang gila. Mendadak Kwee Seng sadar kembali. Telinganya yang amat tajam menangkap suara-suara yang tidak wajar, suara orang berbisik-bisik tak jauh dari sini. Cepat ia menyelinap, mendekat. Dibawah bayangan pohon yang amat gelap, ia melihat tiga orang laki-laki, orang-orang Khitan yang berpakaian hitam.

"Ah, mengapa justeru kita yang mendapat tugas berat ini...?"

Seorang diantara mereka mengeluh.

"Mereka tidak pandai berenang."

"Goblok! Apa kau hendak membantah perintahnya? Justeru mereka tidak pandai berenang, maka memudahkan tugas kita. Ingat, kita menggulingkan perahu, lalu menarik perahu agar hanyut sehingga besok orang-orang hanya akan tahu bahwa mereka berdua yang sedang main-main diperahu tertimpa malapetaka, perahu terguling dan mereka mati tenggelam.."

"Ahhh...!"

Posting Komentar