"Dia telah pergi kemarin dulu," kata pengurus penginapan.
"Dia bilang bahwa engkau telah menyurat bahwa engkau tidak dapat datang dan bahwa dia tidak perlu menunggu lagi. Maka diapun sudah berangkat pulang dengan kapal yang membawa barangmu itu." Tentu saja Ceng Ki terkejut dan marah sekali. Dia lari ke pelabuhan dan benar saja, kapal itu telah pergi.
Dia harus pulang, akan tetapi uangnya telah habis. Terpaksa dia harus menjual semua perhiasan yang menempel di tubuhnya, bahkan juga pakaian suteranya. Uang hasil penjualan ini hanya cukup memberinya sebuah tempat buruk di dek sebuah perahu yang akan membawanya pulang ke Ceng-Ho- Sian. Akhirnya, dalam perjalanan yang amat melelahkan, menderita kelelahan dan kelaparan, pakaiannya kotor dan robek-robek seperti pengemis, akhirnya tibalah dia di rumahnya. Keadaan yang buruk dan sengsara ini ditambah lagi dengan keadaan rumah tangganya, yang membuat Chen Ceng Ki menjadi semakin marah. Kiranya ketika dia tidak berada di rumah, selalu terjadi keributan antara isterinya dan Kim Giok, selirnya. Dua orang wanita yang bersaingan ini selalu cekcok. Ketika dia pulang, tentu saja dua orang wanita itu melaporkan keburukan lawan.
"Perempuan itu menggunakan semua uang keperluan rumah tangga untuk kepentingannya sendiri," kata isterinya.
"Ia selalu mengundang seorang teman dari rumah pelesir ke sini dan memberi laki-laki itu entah berapa banyak uang dan selalu makan minum dengan laki-laki itu. Ia tidur sampai siang dan tak pernah membantu pekerjaan runah tangga." Sebaliknya Kim Giok juga mengadu.
"Ia tidak pernah bekerja sehingga keadaan rumah tangga morat-marit. la memasak daging untuk ia sendiri dan pelayannya, dan membuat kue-kue. Untukku, sudah cukup kalau aku mendapatkan semangkok bubur." Tentu saja Ceng Ki memihak kekasihnya.
"Engkau sungguh tidak pantas, pelit dan kejam!" bentaknya kepada isterinya, bahkan menendangi isterinya dan pelayan isterinya.
"Engkau perempuan pelacur!" Isteri Ceng Ki memaki saingannya. "Engkau memutarbalikkan kenyataan! Engkau ingin menyingkirkan aku dan menggantikan tempatku agar kelihatan penting. Akan tetapi, lebih baik aku mati daripada harus sederajat dengan perempuan macam engkau!"
"Diam!" bentak Chen Ceng Ki. "Engkau memang bukan sederajat dengannya, engkau tidak lebih berharga dari sekuku hitam jari kakinya!" Dan Ceng Ki menjambak rambut isterinya dan memukulinya sampai mulutnya berdarah dan wanita itu jatuh pingsan.
Pada malam hari itu, ketika Chen Ceng Ki tidur sambil memeluk Kim Giok, isterinya menggantung diri sampai mati dalam usia dua puluh empat tahun! Peristiwa ini tentu saja menggegerkan dan pelayan yang merasa penasaran tentu saja mengabarkan keluar sehingga peristiwa kematian wanita yang malang itu sampai juga ke telinga Goat Toanio. Memang sejak dahulu Goat Toanio membenci Chen Ceng Ki, maka berita itu membuat marah bukan main! la lalu mengajak empat pelayan laki-laki dan empat orang pelayan wanita untuk menemaninya berkunjung ke rumah Chen Ceng Ki untuk berkabung. la sembahyang di depan peti jenazah dan berkabung sejenak, kemudian ia memberi isarat kepada delapan orang pelayannya yang memang sudah dipersiapkan untuk itu. Delapan orang ini lalu mengeroyok Ceng Ki, merobohkannya ke atas lantai dan memukulinya, menganianya, mencakarnya,
Bahkan ada pelayan wanita yang menggunakan jarum dan tusuk sanggul menusukinya, Ceng Ki menjerit- jerit, babak belur mandi darah sampai setengah pingsan. Kemudian, atas perintah Goat Toanio, mereka menyeret Kim Giok yang bersembunyi di bawah tempat tidur, kini memukulinya dan mencakarinya sampai wanita ini setengah mati baru dilepaskan. Goat Toanio masih belum puas Bersama para pelayannya, ia lalu menghancurkan semua perabot rumah, memecahkan tirai-tirai, memecahkan semua mangkok piring, menyayati kasur bantal, pendeknya, tidak ada barang di rumah itu yang dibiarkan utuh! Barulah Goat Toanio mengajak orang-orangnya pergi meninggalkan rumah itu. Akan tetapi, ia masih juga belum puas dan setibanya di rumah, Goat Toanio mengadakan perundingan dengan dua orang saudara laki-lakinya.
"Dia telah mendorong isterinya untuk bunuh diri, dan hal ini dapat dilaporkan sebagai pembunuhan," demikian Kakaknya memberi nasihat.
"Dia harus diberi pelajaran dan hukuman untuk menebus dosa-dosanya dan juga agar kelak jangan berani mengganggumu lagi."
Goat Toanio setuju dan pada hari itu juga ia mengajukan dakwaan dan tuntutan terhadap mantunya. Petugas lalu datang dan menangkap Chen Ceng Ki dan Kim Giok. Setelah membaca dakwaan dan tuntutan Goat Toanio, hakim lalu memberi hukuman pertama dua puluh pukulan kepada Ceng Ki, sedangkan Kim Giok sebagai pembantu yang melakukan kejahatan, dihukum siksa jepit jari tangan, kemudian dijebloskan lagi dalam kamar tahanan. Karena pembantu Ceng Ki, yaitu Yang, telah melarikan semua barang yang merupakan kekayaan terakhir, Ceng Ki sudah tidak mempunyai apa-apa. Akan tetapi Cen Ting, pelayannya, berhasil menjual barang-barang yang berharga dan berhasil mengumpulkan uang seratus ons untuk diberikan kepada hakim yang memeriksa mayat isteri Ceng Ki melaporkan bahwa kematian itu terjadi akibat bunuh diri menggantung,
Bukan karena dibunuh walaupun wanita itu menggantung diri karena patah hati setelah dipukuli suaminya. Kenyataan ini membuat hakim merasa lega. Dia telah menerima seratus ons perak, dan kini dia mempunyai alasan untuk menghindarkan Ceng Ki dari tuduhan membunuh karena isterinya itu ternyata mati karena bunuh diri. Ketika sidang pengadilan diadakan lagi, hakim memutuskan untuk menghukum Chen Ceng Ki dengan sepuluh cambukan lagi dan hukum penjara selama satu bulan saja, sedangkan Kim Giok dikirim kembali ke rumah pelesir. Juga Ceng Ki diancam agar jangan mengganggu Ibu mertuanya, Goat Toanio, dan harus mengadakan penguburan yang patut bagi isterinya. Sekali ini Chen Ceng Ki benar-benar bangkrut! Pukulan-pukulan nasib buruk yang menimpanya bertubi-tubi, yang terakhir biaya penguburan isterinya, membuat dia habis-habisan.
Dua buah rumahnya yang lebih kecil sudah dijualnya untuk semua pengeluaran itu. Dan kini, satu demi satu, perabot rumahnya yang besar harus pula dijualnya untuk biaya hidup. Celakanya, dia sudah biasa hidup mewah dan royal, dan sukar baginya untuk menanggalkan kebiasaan ini sehingga dalam keadaan menganggur dan mengandalkan semua pengeluaran dari penjualan perabot rumah dan akhirnya rumah besarnya juga dan sisa uangnya dipakai untuk beroyal-royalan, untuk berjudi, sehingga dalam waktu beberapa bulan saja, Chen Ceng Ki telah menjadi seorang pengemis! Dia harus melewatkan malam harinya di antara para pengemis, di emper-emper, di kolong jembatan, dan di Kuil-Kuil kosong. berbagi tempat dengan para pengemis lain, bahkan kadang-kadang membagi makanan dengan para pengemis lain.
Di kota Ceng-Ho-Sian tinggal seorang hartawan bernama Wang Ting Yang. Hartawan yang usianya sudah enam puluh tahun ini, kini hidup sebagai seorang dermawan. Setiap hari dia lebih suka bersamadhi, membuat doa dengan tasbihnya, dan membagi-bagikan sebagian dari harta kekayaannya kepada tempat-tempat ibadah, kepada fakir-miskin. Pada suatu hari di musim salju yang dingin, dia duduk di depan pintu gedungnya, memegang tasbih dan memandang ke jalanan yang sepi.
Di luar rumah terlampau dingin sehingga kalau tidak perlu sekali, jarang ada orang yang ke-luar rumah, lebih enak tinggal di dalam rumah di mana bernyala api pemanas. Kebetulan sekali, pada saat Kakek ini duduk melamun di depan rumah, lewatlah Chen Ceng Ki. Ketika dia memandang Kakek itu yang seorang kenalan baik mendiang Ayahnya timbullah keinginan hatinya untuk minta tolong Kakek hartawan itu Dia lalu menghampiri dan menjatuhkan diri berlutut memberi hormat, Kakek Wang membalas penghormatannya dengan ramah.
"Siapakah anda, orang muda? Mata tuaku sudah lamur dan tidak dapat mengenalmu lagi."
“Saya adalah putera dari mendiang Cheng Hung," kata Ceng Ki yang menggigil kedinginan, juga merasa malu, sekali mengingat akan keadaan dirinya. Kakek itu memandang terbelalak, mengamati pemuda itu dari kepala sampai ke kaki, lewat pakaiannya yang kotor dan koyak-koyak, mukanya yang kurus pucat.