Si Tangan Halilintar Chapter 70

NIC

Dengan gemas dan penuh kebencian Mayani berkata, "Dia seorang jahanam keparat yang jahat sekali, Ibu. Namanya Song Cun. Dia anak orang kedua dari Ciong-yang Ngo- taihiap, gerombolan pemberontak yang di pimpin Lam-liong Ma Giok. Mereka itu orang- orang yang amat kejam, ibu. Akan tetapi mereka itu pun kuat, terdiri dari orang-orang lihai”.

"Aku akan menghadapi mereka semua dan akan ku pecahkan kepalanya satu demi satu!” teriak Nenek Bu.

"Kita akan hadapi bersama, Ibu. Akan tetapi mari ibu ikut bersama aku ke Kota Raja dulu. Nanti perlahan-lahan kita cari dimana adanya cucumu Siauw Beng dan dimana pula musuh-musuh besar kita, terutama di jahanam busuk Song Cun!”.

Tadinya Nenek Bu bersikap ragu-ragu, akan tetapi setelah di bujuk-bujuk Mayani, akhirnya ia menurut juga di ajak pergi Mayani keluar dari hutan lebat itu.

Dengan pandai Mayani membujuknya, mengganti pakaiannya dengan pakaian yang pantas, menyisir dan merapikan rambutnya. Kini Nenek Bu menjadi seorang Nyonya berusia sekitar enam puluh dua tahun yang cukup pantas karena mengenakan pakaian yang memang telah disediakan dan dibawa Mayani ke hutan itu.

"Eh-eh, pakaian apa ini? Dan rambutku, mengapa engkau tata seperti ini. Aku akan kelihatan jelek dan lucu, kau anak nakal!” Nenek itu terkekeh.

"mari, Ibu, Lihat bayanganmu di air. Ibu tampak cantik!”

Mayani membawa nenek itu ke tepi danau kecil yang terdapat di hutan itu dan ketika Nenek Bu melihat bayangannya di air, ia tertawa.

"He-he-he, aku seperti nyonya bangsawan!”. "Aih, bagaimana sih ibu ini? Ibu memang seorang bangsawan, apa ibu telah lupa?”. "He-he-he, ya … aku seorang nyonya bangsawan … he-he-he!”.

Mayani merasa senang. Gurunya ini memang masih agak aneh kelakuannya, namun sudah tidak ngaco lagi, tidak tampak gila dan kata-katanya sudah mulai teratur. ia merasa yakin bahwa kalau Nenek Bu tinggal di rumahnya, wanita tua itu akan dapat pulih kembali ingatannya. Ayah ibunya tentu akan menerima dengan senang, bukan hanya karena wanita itu telah menjadi gurunya dan telah menyelamatkannya dari tangan para pendekar yang hendak membunuhnya, akan tetapi karena Nenek Bu adalah isteri dari Mendiang Pangeran Abagan. Masih ada hubungan keluarga antara mendiang Pangeran Abagan dan ayahnya Pangeran Gunam.

Dalam perjalanan ini, Nenek Bu tampak gembira sekali. Hal ini dapat dimaklumi karena semenjak ia menjadi murid nenek gila Pek Sim Kuibo yang amat sakti, ia terus mengasingkan diri dan tinggal di dalam hutan selama dua puluh tahun lebih dan hanya kadang-kadang saja ia keluar hutan. Itu pun tidak lama karena ia merasa betapa dunia di luar hutannya aneh dan asing, membuat ia merasa ngeri dan ia selalu kembali ke dalam hutannya.

Kini, melakukan perjalanan bersama Mayani yang ia anggap sebagai Bu Kui Siang, puterinya, ia merasa gembira dan tidak merasa aneh atau asing. bahkan perlahan-lahan ingatannya mulai terang kembali dan sedikit demi sedikit ia kembali normal walaupun ia masih kukuh menganggap Mayani sebagai Bu Kui Siang, puterinya.

Dalam perjalanan menuju ke Kota Raja, Mayani mendengar berita menggegerkan tentang sepak terjang Si Tangan Halilintar yang amat jahat dan kejam. Tentu saja ia tidak percaya akan berita itu. Seorang penjahat muda yang bertangan satu, lengan kirinya buntung sebatas siku, membunuh banyak orang yang tak berdosa dan memperkosa wanita, berjuluk Si Tangan Halilintar ! Tanda- tanda dan nama julukan itu menunjukkan bahwa penjahat itu adalah Lauw Beng ! Tidak mungkin!.

"Paman, benarkah berita yang kau ceritakan itu?” Mayani bertanya kepada pelayan rumah penginapan yang mengabarkan tentang Si Tangan Halilintar itu.

"Tentu saja benar, nona. Nona dapat bertanya kepada seluruh penduduk kota ini atau daerah lain, mereka semua tentu sudah mendengar akan berita itu. Si Tangan Halilintar penyebar maut itu amat tersohor dan semua orang merasa ngeri dan ketakutan kalau mendengar namanya. Bahkan belum lama ini, di kota Teng-cun, penjahat kejam itu telah membunuh seorang piauw-su murid Siauw-lim-pai bernama Gui Liang, juga membunuh isterinya dan memperkosa lalu membunuh anak gadisnya. Kejam sekali dia, mudah- mudahan saja dia tidak akan datang ke kota kami ini”. Nenek Bu sejak tadi mendengarkan percakapan itu. Biarpun biasanya ia bersikap tidak acuh terhadap hal-hal yang tidak mengenai dirinya, dan merasa gembira melihat segala sesuatu dalam kota seolah baru kembali ke kampung halaman setelah bertahun-tahun kehilangan itu semua, namun mendengar pelayan itu menyebut-nyebut Si Tangan Halilintar ia mulai memperhatikan.

"Hei, bukankah Si Tangan Halilintar itu cucuku Siauw Beng?”.

Pelayan rumah penginapan itu terkejut, memandang terbelalak kepada Nyonya Bu dan Mayani juga terkejut lalu menggandeng tangannya dan menariknya untuk masuk kamar.

"Ibu, mari kita masuk kamar dan mengaso”.

Pelayan itu segera pergi tergesa-gesa dan tampak ketakutan. Nyonya tua itu memang sudah tampak aneh dan tidak wajar, tidak banyak bicara hanya terkadang senyum- senyum sendiri, memandangi segala benda dengan sikap kagum dan terheran-heran. Kini sekali membuka mulut, mengatakan bahwa Si Tangan Halilintar adalah cucunya !

Siapa tidak merasa ngeri dan takut? Akan tetapi di samping perasaan ngeri, ada juga perasaan bangga. Maka dia segera berpamer diluaran, mengatakan dengan bangga bahwa rumah penginapannya dimana dia bekerja, kedatangan tamu agung, yaitu nenek dari Si Tangan Halilintar yang tersohor dan dia sendiri sudah melayani tamu agung itu!.

Sementara itu Mayani menutupkan daun pintu dan duduk di tepi pembaringan dimana Nenek Bu sudah merebahkan diri.

"Ibu, yang diceritakan oleh pelayan tadi bukan cucumu Siauw Beng”.

"Akan tetapi, bukankah Si Tangan Halilintar itu julukan Siauw Beng seperti yang kau ceritakan padaku?”.

"Memang benar, Ibu. Dulu Siauw Beng menggunakan julukan Si Tangan Halilintar. Akan tetapi dia sama sekali bukan orang jahat dan tidak pernah berbuat jahat membunuh orang- orang yang tidak berdosa, apalagi memperkosa wanita. Tidak aku tidak percaya Siauw Beng yang melakukan itu semua!”.

"Oh-oh, aku jadi bingung, Kui Siang. Kalau bukan Siauw Beng lalu siapa lagi yang berjuluk Si Tangan Halilintar?”.

"Ini yang perlu kita selidiki, Ibu. Siauw Beng tidak mungkin melakukan semua kejahatan itu. Aku yakin benar. Maka tentu ada orang lain yang menggunakan nama julukan Si Tangan Halilintar yang melakukan semua kejahatan itu, mungkin sekali dia sengaja memakai nama julukan itu untuk mencemarkan nama Siauw Beng. Dengan tersohornya nama Si Tangan Halilintar yang jahat, tentu Siauw Beng akan di musuhi banyak orang. Ini jelas fitnah dan kita harus menyelidiki hal ini untuk menolong Siauw Beng!”.

"Tapi orang tadi menceritakan bahwa pembunuh itupun buntung lengan kirinya”.

"Ya, itulah yang aneh. Mungkin orang-orang yang memusuhi Siauw Beng sengaja menggunakan seorang yang buntung lengan kirinya untuk memalsukan nama Si Tangan Halilintar, tentu saja dengan maksud agar Siauw Beng di tuduh melakukan itu semua dan dimusuhi banyak orang. Bahkan menurut orang tadi, si penjahat itu telah membunuh suami isteri murid Siauw-lim-pai dan memperkosa lalu membunuh anaknya. Jelas perbuatan ini akan membuat perguruan Siauw-lim marah sekali dan mereka tentu akan mencari Si Tangan Halilintar untuk menuntut balas.

Ah, kasihan Siauw Beng, tentu ia akan di musuhi banyak pihak dan terancam bahaya!”.

Nenek itu bangkit duduk. "Kui Siang, ini adalah tugasmu sebagai seorang ibu! Engkau harus menyelamatkan anakmu!”.

"Tentu saja, Ibu. Akan tetapi juga tugas ibu sebagai neneknya! Kita berdua akan membuktikan bahwa Siauw Beng bukan pelaku kejahatan itu. Aku yakin bahwa penjahat itu adalah Si Tangan Halilintar palsu dan kita harus dapat menangkapnya, Ibu!”.

"Ho-ho, aku akan tangkap dia dan membuntungi lagi lengannya yang tinggal satu!”.

Karena adanya berita yang menggelisahkan tentang Si Tangan Halilintar, apalagi adanya jawaban yang meyakinkan dari semua orang yang di tanyai Mayani bahwa berita itu memang benar, Mayani menunda kembalinya ke kota raja dan bersama nenek Bu ia berputar haluan, hendak melacak dan mencari Si Tangan Halilintar yang menyebar maut itu.

Mereka hanya menginap semalam di kota itu dan pada keesokan harinya ia mengajak Nenek Bu untuk melanjutkan perjalan ke Kota Teng-cun dimana Si Tangan Halilintar muncul seperti yang diceritakan pelayan rumah penginapan itu. Pagi-pagi mereka meninggalkan kota itu menuju ke kota Teng-cun yang jaraknya ada seratus li ( mil) dari kota yang baru mereka tinggalkan.

Akan tetapi baru saja mereka berjalan sejauh belasan li, tiba-tiba mereka mendengar suara orang berlari dari belakang mereka. Mayani dan Nenek Bu berhenti melangkah dan dua orang sudah tiba di depan mereka. Mayani tidak mengenal dua orang laki-laki itu, yang seorang setengah tua berusia empat puluhan tahun, sedangkan yang muda berusia sekitar duapuluh tiga tahun. Mereka ini bukan lain adalah Lu Kiat dan keponakannya, Lu Siong. Seperti kita ketahui, paman dan keponakan ini sedang melakukan perjalanan menuju ke Thai-san untuk mencari Lam-liong Ma Giok dan melaporkan tentang kejahatan Si Tangan Halilintar, murid atau juga anak angkat Naga selatan itu. Malam tadi mereka bermalam di kota yang sama dengan yang diinapi Mayani. Pagi tadi mereka mendengar kabar yang di sebar pelayan rumah penginapan bahwa di rumah penginapannya ada tamu agung, yaitu nenek dari Si Tangan Halilintar. Mendengar ini tentu saja Lu Kiat dan Lu Siong menjadi kaget dan mereka cepat mengunjungi rumah penginapan itu. Akan tetapi di sana mereka mendengar bahwa pagi tadi nenek itu telah meninggalkan rumah penginapan.

Mendengar ini, Lu Kiat dan Lu Siong cepat melakukan pengejaran. Mereka bertanya-tanya dan mudah mendapat keterangan bahwa nenek dan gadis muda itu keluar dari pintu gerbang barat.

Keterangan ini mudah di dapat karena orang tidak melupakan Mayani yang cantik jelita kalau melihat ia lewat. Segera dua orang murid Siauw-lim-pai itu melakukan pengejaran dan di tempat sunyi itu mereka berhasil menyusul dan kini mereka berdua sudah saling berhadapan dengan Nenek Bu dan Mayani.

"Tunggu dulu, kami ingin bicara!” Lu Kiat berkata dengan suara keren karena hatinya sudah panas mendengar bahwa nenek ini adalah nenek Si Tangan Halilintar yang amat jahat dan kejam.

Nenek Bu memandang dengan mulut tersenyum mengejek. mayani yang menjawab sambil menantap wajah Lu Kiat penuh selidik. "Kami tidak mengenal kalian dan sungguh tidak sopan laki-laki menegur perempuan yang tidak dikenalnya di tengah jalan!”.

Mendengar ucapan itu, wajah lu Kiat menjadi kemerahan. Dia adalah seorang pendekar Siauw-lim-pai dan biasanya selalu menggunakan peraturan tata susila.

Posting Komentar