“Benar, Ai Yin. Akan tetapi kalau mereka mau bicara sejujurnya, apa yang dinamakan surga atau nirwana atau persatuan dengan Thian itu pun merupakan hal yang mereka anggap menyenangkan! Kesenangan yang terselubung kehalusan, seolah berbeda dengan kesenangan badani atau duniawi. Mereka katakan keindahan, kedamaian, ketentraman dan sebagainya. Akan tetapi bukankah semua itu juga menyenangkan? Kembali kepada rasa senang juga dan dimana ada rasa senang, di situ pasti ada rasa kemelekatan tadi, hanya kadarnya saja yang berbeda, tebal dan tipis”.
“Wah, wah! Aku menjadi pusing, Siauw Beng. Engkau bicara seperti kakek- kakek dan aku yang mendengarkan dan memikirkan merasa seperti nenek-nenek. Otakku menjadi puyeng!” kata Ai Yin sambil tertawa. Cantiknya gadis itu kalau tertawa!.
“Sudahlah, Ai Yin tidak perlu berpusing-pusing memikirkan tentang filsafat. Filsafat itu hanya permainan kata-kata tingkat tinggi. Kembali saja kepada keadaan kita sendiri. Kita ini hidup ada Yang Menghidupkan, mati ada Yang Mematikan. Segala macam perasaan inipun bukan buatan kita, melainkan ada Yang Memberi kepada kita. Kita berhak mempergunakan semua bagian tubuh dan hati akal pikiran kita, asal saja tidak menyimpang dari kebenaran”.
“Nah, sulit lagi! Kebenaran itu apa dan bagaimana? “
“Bukan lagi kebenaran kalau diperebutkan atau diperdebatkan. Kebenaran sudah di ajarkan oleh semua agama. Kebenaran sudah di ajarkan oleh semua orang tua dan guru yang tidak sesat.
Kebenaran sudah dikenal oleh setiap orang manusia di bagian dunia masing-masing sejak dia mampu mengerti kata-kata. Semua orang yang melakukan kejahatan di dunia ini tahu bahwa perbuatan mereka itu tidak benar. Jadi kebenaran tidak perlu di perbincangkan lagi. Pendeknya kebenaran itu membangun, memelihara, tidak merusak, kebenaran itu juga dapat dinamakan Kasih”.
“Ya, sudahlah, kalau kau lanjutkan aku bisa jatuh pulas karena otakku lelah memikirkan itu semua. Sekarang engkau hendak langsung ke kota raja?”.
“Tidak, Ai Yin. Aku ingin pergi ke Kota Keng-koan dulu yang letaknya tidak jauh dari kota raja. Aku ingin mencari dan mengunjungi Makam ayah kandungku”.
“Ah, aku senang dapat melakukan perjalanan ini, Siauw Beng. Aku juga ingin sekali melihat Kota Raja yang kabarnya amat ramai dan indah”.
“Engkau juga belum pernah ke sana?”
“belum. Ketika aku meninggalkan ayah di pegunungan Beng-san, aku langsung saja mencari susiok Can Ok di lembah sungai Huangho. Siauw Beng engkau belum pernah cerita tentang mendiang orang tuamu. Ceritakanlah, Siauw Beng, aku ingin sekali mengetahui segala tentang dirimu”.
Siauw Beng menghela napas panjang. “Sudah ku katakan bahwa aku terlahir dan tak pernah mengenal ayah ibuku. Aku hanya mengetahui tentang mereka dari ayah angkatku, Lam-liong Ma Giok. Ceritanya tentang ayah dan ibuku amat menyedihkan Ai Yin”.
“Nah, nah! Bukankah orang bijaksana tidak boleh terlalu terpengaruh kesenangan dan kesusahan? Ceritakanlah, Siauw Beng. Biar aku yang mendayung terus dan engkau yang bercerita. “Jangan seperti ayahku, Siauw Beng”.
“Kenapa ayahmu?”.
“Pendiam dan pelit sekali kalau di minta bercerita tentang mendiang ibuku, tentang masa mudanya dan sebagainya. Karena pelit bercerita itu aku sampai tidak menduga sama sekali bahwa susiok Can Ok ternyata seorang yang jahat! Nah, berceritalah tentang ayah ibumu”.
“Di waktu mudanya, ayah bernama Lauw Heng San dan sejak muda dia bertindak sebagai seorang pendekar, menolong siapa saja tanpa membedakan orang karena dia tidak terpengaruh oleh gerakan para pendekar yang berjuang menentang pemerintah Kerajaan Mancu.
Siapa saja yang perlu di tolong, dia tolong dan siapa saja yang melakukan kejahatan dia tentang”.
“Wah, itu benar sekali. Aku pun dalam dua tiga bulan ini sering menentang susiok kalau dia merampok rombongan orang Mancu dan hendak membunuh mereka yang tidak berdosa”.
“Karena sama sekali tidak tahu akan perjuangan menentang Kerajaan Mancu, ayah terbujuk seorang pembesar Mancu, yang di serang gerombolan. Pembesar Mancu itu memakai nama pribumi Thio Ci Gan, padahal sebenarnya dia seorang pangeran Kerajaan Mancu. Thio-ciangkun ( panglima Thio) bersikap baik kepada ayah dan memberi kedudukan sebagai seorang perwira, bahkan ayah di ambil sebagai mantu, di nikahkan dengan puteri tiri Thio-ciangkun atau Pangeran Mancu itu. Kemudian ayah mendapat tugas untuk membasmi gerombolan-gerombolan penjahat yang sebetulnya adalah para pejuang yang menentang Kerajaan Mancu. Ayah tidak tahu akan hal itu sehingga banyak pendekar yang tewas di tangannya!”. Siauw Beng berhenti dan menghela napas, menyesal dan kasihan kepada ayah yang tidak pernah dilihatnya itu.
“ayahmu tidak bersalah. Pangeran Mancu itulah yang jahat …… eh, maaf, bukankah mendiang ibumu itu puteri dari pangeran itu?”.
“Ya, akan tetapi hanya anak tiri. Kakek ku bermarga Bu dan sudah meninggal dalam perjuangan ketika tentara Mancu menyerbu ke selatan. Nenekku, Nyonya Bu, menjadi istri Thio-ciangkun dan membawa seorang anak, yaitu ibuku yang bernama Bu Kui Siang. Ketika ibuku mengandung aku, ayahku bertemu gurunya dan baru menyadari bahwa dia telah tertipu dan membunuh banyak pendekar patriot yang berjuang menentang pemerintah penjajah Mancu. Ayah menjadi marah sekali lalu memberontak, terjadi pertempuran hebat dan ayahku di keroyok para jagoan Thio-ciangkun itu. Akhirnya, ayah dapat membunuh Thio-ciangkun akan tetapi dia juga tewas”.
“Ah, sungguh sayang. dan bagaimana dengan ibumu?”.
“Ah, ketika aku ingat akan cerita ayah angkatku tentang ibu kandungku, aku menjadi sedih sekali, Ai Yin. Ketika ayah kandungku memberontak sehingga terjadi perkelahian hebat, ayahku di bantu oleh para pendekar pejuang termasuk Lam-liong Ma Giok, ibuku melarikan diri, di tolong ayah angkatku itu. Ketika ibu di ajak lari oleh Lam-liong Ma Giok, ia dalam keadaan hamil. Mereka berdua melakukan perjalanan ke Thai-san. Perjalanan itu amat jauh dan ibu dalam keadaan mengandung sehingga perjalanan lambat sekali. Berbulan-bulan mereka melakukan perjalanan.
Sebelum tiba di Thai-san mereka melihat pengantin baru di culik gerombolan penjahat. Pengantin prianya putera seorang penjahat Mancu, dan yang wanita seorang wanita Han. lam-liong Ma Giok menolong mereka lalu melanjutkan perjalanan. Ketika itu kandungan ibuku sudah sembilan bulan. Kemudian muncul ………. Toat-beng Siang-kiam Can Ok dan anak buahnya menghadang dan menuduh ayah angkatku sebagai pengkhianat dan membela orang Mancu. Mereka bertanding dan Can Ok melarikan diri”.
“Hemmm, kiranya sejak mudanya susion Can Ok sudah menjadi kepala gerombolan penjahat!” kata Ai Yin penasaran dan ia merasa malu mempunyai paman guru seperti itu.
“Can Ok dan anak buahnya dapat di usir, akan tetapi ibuku di culik dua orang anak buah Can Ok. Lam-liong Ma Giok melakukan pengejaran dan berhasil membunuh dua orang penculik dan menyelamatkan ibu. Perjalanan di lanjutkan dan sudah tiba saatnya ibu melahirkan. Di sebuah dusun ibu di tolong seorang bidan. Akan tetapi ketika ibu sedang berjuang hendak melahirkan aku, muncul Can Ok yang di bantu oleh Hui-kiam Lo-mo menyerang!”. “Wahhh, memalukan sekali! Susiok dan sukong (kakek guru) jahat sekali!” teriak Ai Yin. “Lalu bagaimana, Siauw Beng?”.
“Lam-liong Ma Giok melawan mati-matian di luar kamar sedangkan di dalam kamar, di bantu bidan yang ketakutan, ibu kandungku juga berjuang mati-matian. Tubuhnya yang lemah karena perjalanan jauh dan kedukaan membuat kelahiranku itu sukar sekali. Akhirnya ayah angkatku berhasil mengusir Can Ok dan Hui-kiam Lo-mo, akan tetapi pada saat dia bertanding itu, ibuku telah melahirkan aku. Aku di lahirkan selamat, akan tetapi ibuku …… “, suara Siauw Beng tersendat.
“Ibumu bagaimana? Bagaimana, Siauw Beng?” Ai Yin memegang lengan Siauw Beng dengan kuat sehingga dia lupa mengemudikan perahu dengan dayung sehingga perahu melintang.
“Ibu … meninggal dunia ……”.
“Keparat! Busuk sekali mereka! Aku akan melaporkan kepada ayah tentang kejahatan Can Ok!” teriak Ai Yin marah. Akan tetapi melihat perahu melintang ia lalu menggerakkan dayungnya sehingga perahu itu meluncur kembali. “Siauw Beng, kenapa engkau tidak membunuh Can Ok ketika mendapat kesempatan bertanding dengan dia?”.
Siauw Beng menggeleng kepalanya. “Tidak, Ai Yin. Suhu Pek-in San-jin, juga ayah angkatku melarang aku melakukan pembunuhan dengan semena-mena. Biarpun Can Ok menyerang ayah angkatku, namun dia menyerang dengan tuduhan bahwa Ma Giok menjadi pengkhianat. Dia tidak langsung membunuh ibuku, walaupun mungkin penyerangan itu yang menyebabkan ibuku mati ketika melahirkan”.
“Hemm, aku tidak setuju dengan pendapat itu, Kalau aku menjadi engkau tentu sudah ku bunuh Can Ok itu! Lalu bagaimana ceritamu selanjutnya, Siauw Beng?”.
“Sejak lahir aku di pelihara oleh ayah angkatku itu. Dapat engkau bayangkan betapa sukarnya bagi seorang laki-laki untuk merawat dan memelihara seorang bayi yang baru lahir, padahal dia sedang melakukan perjalanan ke Thai-san. Setelah dia tiba di Thai-san, ayah angkatku itu tinggal di sana dan memelihara aku sampai aku berusia sepuluh tahun, baru aku di serahkan kepada suhu Pek In San-jin untuk di latih lebih lanjut. Dan sejak kecil aku selalu di temani suheng A Siong yang baik dan setia. Demikianlah riwayatku, Ai Yin sampai aku dan suheng di suruh turun gunung”.
“Wah, sungguh amat bijaksana Lam-liong Ma Giok. Akan tetapi engkau belum bercerita tentang nenekmu, nyonya Bu yang menjadi isteri Pangeran Mancu itu. Bagaimana dengan ia?”
“Entah, ayah angkatku tidak tahu tentang nenekku. Karena itu, di Keng-koan nanti aku akan mencari keterangan tentang nenekku itu”.
“Sebuah pertanyaan lagi, Siauw Beng. Akan tetapi janji dulu, engkau tidak akan marah oleh pertanyaanku ini”.
“Siuaw Beng tersenyum. Bagaimana mungkin dia bisa marah terhadap gadis yang lincah, jujur dan terbuka ini?.
“Aku tidak akan marah. Bertanyalah, Ai Yin”.
Gadis itu memandang kea rah lengan kiri Siauw Beng yang buntung. “Apa yang terjadi dengan lengan kirimu? Aku tidak percaya kalau lengan kirimu buntung sejak engkau lahir“. Siauw Beng menghela napas panjang. Dia sudah khawatir akan di Tanya tentang lengan kirinya yang buntung. Kepada orang lain mungkin dia tidak akan menceritakan tentang ini, akan tetapi dia merasa bahwa terhadap Ai Yin dia tidak dapat merahasiakannya. Kalau dia tidak mau menceritakan, tentu Ai Yin akan menganggap dia tidak percaya kepadanya. Padahal gadis itu juga sudah bercerita tentang dirinya tanpa ada yang di rahasiakan, bahkan mengaku terus terang bahwa Can Ok yang jahat adalah paman gurunya.
“Ini semua terjadi karena kesalahpahaman belaka, Ai Yin. Aku pernah menolong seorang wanita Mancu dan hal ini di anggap sebagai pengkhianatan terhadap para pejuang. Bahkan ayah angkatku, Lam-liong Ma Giok sendiri terkena hasutan itu dan percaya bahwa aku berkhianat. Aku di serang dan ……….. ketika menangkis bacokan pedang, lengan kiriku buntung ”.
“Apa? “Ai Yin membelalakkan matanya. “Ayah angkatmu Lam-liong Ma Giok itu, yang aku kagumi karena kebijaksanaannya, dia sendiri yang membuntungi lengan kirimu?”.
Siauw Beng menggeleng kepalanya dan menghela napas panjang. Kalau dia teringat akan peristiwa itu, bukan dibuntungi lengannya yang menyakitkan hatinya benar, melainkan sikap Lam-liong Ma Giok yang membencinya karena ayah angkatnya itu percaya akan tuduhan yang di lontarkan kepadanya oleh Song Cun.
“Bukan, karena ayah angkatku yang membuntungi, Ai Yin. Orang lain yang melakukan. Akan tetapi aku merasa sedih sekali, bukan kerena buntungnya lengan kiriku, melainkan karena ayah angkatku juga percaya bahwa aku telah berkhianat dan menjadi pembela orang Mancu”.
“Hemmm, wanita Mancu yang kau tolong itu, mengapa engkau menolongnya? Apa yang terjadi dengannya?”.
“Ia hendak di bunuh tanpa dosa, maka aku mencegah pembunuhan itu”. Siauw Beng tidak mau menceritakan tentang perkosaan terhadap Puteri Mayani itu.
“Dua orang pendekar Song, orang pertama dan kedua dari Ciong-yang Ngo-taihiap telah di serbu pasukan Manchu dan terbunuh. Wanita Manchu itu di tuduh menjadi penggerak dari penyerbuan itu, padahal dia bukan. Para pendekar pejuang menangkapnya dan hendak di bunuh. Aku yang tahu betul bahwa dia bukan penggerak penyerbuan, lalu menolongnya. Akibatnya aku di tuduh pengkhianat”.
Gadis itu mengangguk-angguk, sampai lama mereka tidak bicara. Ai Yin termenung dan alisnya berkerut.
“Siauw Beng!”.
Pemuda itu terkejut karena dia pun sedang melamun ketika gadis itu memanggilnya secara tiba-tiba.
“Ada apa, Ai Yin?”.
“Wanita Manchu itu sudah tuakah ia atau masih muda?”. “Masih muda, seorang gadis sebaya dengan engkau”. “Cantik?”.
“ Yaahhh, sama dengan engkau”.
Sepasang alis yang hitam kecil melengkung itu berkerut dan sepasang mata itu mengamati wajah Siauw Beng penuh selidik. “Cantik tidak, tanyaku tadi!”.