A Siong yang memang berwatak jujur dan terbuka, merasa lega melihat gelagat keluarga Bi Hwa menyetujui ikatan perjodohan itu sehingga kini dia berani mengangkat muka dan dia berkata dengan suara lantang. “Ah, harap paman jangan berkata begitu. Saya yang merasa takut, kalau-kalau di tolak karena saya hanyalah seorang yatim piatu yang miskin“.
“Hai, A Siong! Mengapa engkau menyebut paman kepada calon ayah mertuamu?” Ai Yin menegur sehingga kembali A Siong tersipu dan semua orang tertawa. Bi Hwa merasa begitu girang sehingga ia merangkul ibunya yang duduk di sebelahnya, mencium pipi ibunya lalu saking malunya ia berlari ke belakang meninggalkan ruangan itu dimana mereka berpesta tadi. Kembali semua orang tertawa.
“A Siong, sebaiknya engkau kejar Bi Hwa, ia pasti berada di taman belakang dan kalian rundingkan berdua kapan perayaan pernikahan akan di langsungkan “, kata Lurah Lu.
“Sebaiknya secepat mungkin, suheng!” kata Siauw Beng. Dengan muka kemerahan A Siong bangkit lalu mengejar Bi Hwa ke belakang, di ikuti suara tawa gembira semua orang yang berada dalam ruangan itu.
Demikianlah, karena Siauw Beng dan Ai Yin akan melangsungkan pernikahan antara A Siong dan Lu Bi Hwa di langsungkan dua hari kemudian. Pernikahan itu berlangsung meriah, di hadiri oleh seluruh penduduk dusun Ki-Cung dan para lurah dan sesepuh dusun tetangga yang semua merasa gembira mendengar gerombolan jahat di Bukit Menjangan itu telah di basmi oleh Pendekar Si Tangan Halilintar bersama dua orang temannya. Lebih gembira lagi ketika mereka mendengar bahwa puteri Lurah Lu di Ki-cung kini menjadi suami istri seorang di antara para pendekar itu sehingga semua orang di sekitar daerah itu akan merasa tentram.
Setelah perayaan pernikahan selesai, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Siauw Beng dan Ai Yin berpamit untuk melanjutkan perjalanan mereka ke kota raja. A Siong dan istrinya mengantar Siauw Beng dan Ai Yin menuju ke Sungai Huang-Ho, meninggalkan para penduduk yang mengantar sampai ke pintu gerbang dusun.
Setelah tiba di pantai dimana Siauw Beng meninggalkan perahu kecilnya, A Siong memegang kedua tangan sutenya dan berkata dengan suara parau karena terharu. “Sute, tolong sampaikan kepada suhu tentang keadaanku di sini dan sampaikan permohonan maafku”.
“Tentu saja, suheng. Jangan khawatir akan hal itu “, kata Siauw Beng yang merasa terharu pula. Selama ini, sejak kecil sampai sekarang, dia tidak pernah berpisah dari A Siong. Berlatih, bermain, makan dan tidur selalu berdua dan kini mereka harus berpisah!.
“Sute, yakinkah engkau bahwa aku tidak harus menemami perjalanmu?” Tanya A Siong dengan suara gemetar.
Siauw Beng merasa terharu dan dia mempererat pegangan tangannya,lalu menggeleng kepala, tidak berani bicara karena dia tahu bahwa suaranya pasti terdengar gemetar pula. Apalagi ketika dia mengangkat muka memandang wajah suhengnya yang merah dan sepasang mata A Siong basah dan berlinang air mata.
Siauw Beng tak dapat menahan keharuan hatinya dan diapun menundukkan mukanya agar tidak nampak bahwa kedua matanya juga basah, bahkan kini ada air mata menetes dari pelupuk mata mereka.
“Hai – hai! Apa – apaan ini? Kalian ini pendekar-pendekar gagah perkasa kini bertangisan seperti nenek-nenek cengeng saja!” terdengar Ai Yin berseru dengan suara mencela.
Dua orang pemuda itu cepat-cepat mengusap dua titik air mata dan mereka tersenyum. Untung ada Ai Yin di situ, kalau tidak ada, tentu mereka akan hanyut oleh keharuan yang akan membuat perpisahan itu menjadi terlalu berat bagi mereka. Keduanya memaksa senyum dan saling melepaskan tangan. Siauw Beng dan Ai Yin lalu mendorong perahu ke air setelah talinya di lepas dari batang pohon oleh A Siong. Dua orang laki-laki itu tidak bicara lagi sampai Siauw Beng dan Ai Yin masuk ke dalam perahu.
“Sute, jaga dirimu baik-baik “, kata Asiong.
“Engkau juga, suheng. Berbahagialah engkau bersama isterimu. Selamat tinggal, suheng, aku akan selalu mengenangmu”.
“Aku juga, sute. Selamat jalan”.
Perahu meluncur menurut arus air. Siauw Beng yang duduk di perahu menoleh memandang suhengnya sambil melambaikan tangan. A Siong juga mengikuti kepergian sutenya dan melambaikan tangannya sampai perahu itu lenyap di sebuah tikungan. Baru dia berhenti melambai dan kembali beberapa tetes air mata keluar dari mata dan membasahi pipi. Tiba-tiba Lu Bi Hwa berlutut dan merangkul kedua kakinya. “Aduh, ampunkan aku suamiku, akulah yang telah membuat engkau terpaksa berpisah dari sutemu itu ……”. Lu Bi Hwa meratap sambil menangis terharu.
A Siong membungkuk, memegang kedua pundak istrinya, mengangkatnya bangkit berdiri. Mereka berpandangan, keduanya dengan mata basah, lalu A Siong mendekap Bi Hwa ke dadanya, menekan kepala istrinya itu ke dadanya.
“Bi Hwa, istriku. Engkau tidak bersalah, akulah yang lemah. Marilah, istriku, mari kita pulang. Kita songsong kehidupan baru bersama”.
Dia mencium isterinya dan mereka berjalan pulang sambil saling rangkul. Suami itu merangkul pundak istrinya dan si isteri merangkul pinggang suaminya.
****
“Siauw Beng, engkau menyesal membujuk suhengmu menikah sehingga sekarang terpaksa engkau berpisah darinya?” Tanya Ai Yin ketika ia melihat pemuda itu termenung di kepala perahu sehingga pemuda itu lupa bahwa sejak tadi ia yang mendayung perahu itu.
Mendengar pertanyaan ini, barulah Siauw Beng seolah terseret kembali ke dunia nyata. Cepat dia berkata,” Ah, maaf Ai Yin. Sini biar aku yang mendayung perahu ini”.
“Biarlah, Siauw Beng. Biar aku dulu yang mendayung, nanti kau gantikan kalau aku sudah lelah. Kau duduklah dan tenangkan dulu hatimu, aku tahu betapa berat hatimu harus berpisah dengan A Siong. Akan tetapi engkau harus ingat bahwa kini A Siong telah menemukan jodoh dan rumah tinggal keluarga baik-baik. Bi Hwa amat mencintainya dan dia juga menyayang gadis itu. Mereka akan hidup sebagai suami isteri yang berbahagia. Tentu keadaannya jauh lebih baik daripada kalau dia selalu mengikutimu sebagai seorang kelana yang tidak mempunyai tempat tinggal dan tidak mempunyai keluarga”.
Siauw Beng menarik napas panjang. “Engkau benar Ai Yin. Aku berharap dan bahkan yakin bahwa dia tentu akan hidup berbahagia. Aku juga ikut merasa senang kalau suheng hidup bahagia. Akan tetapi engkau tentu dapat mengerti, Ai Yin. Hubunganku dengan suheng A Siong bukanlah hubungan kakak dan adik seperguruan belaka. Jauh daripada sekedar saudara seperguruan! Sejak aku kecil dan mulai dapat berpikir, dialah orang yang selalu menemaniku. Bahkan dia yang mengasuhku, mengajak aku bermain, menghiburku kalau aku menangis, menggendongku. Kemudian setelah aku mulai belajar silat, dia pula yang selalu menemaniku berlatih. Dia itu seolah segala-galanya bagiku, satu-satunya orang yang paling dekat dengan aku, latihan bersama, makan bersama, tidur bersama. dan ini terjadi selama hidupku sampai sekarang”.
Ai Yin mengangguk. “Aku mengerti betapa beratnya berpisah Dari orang yang paling kau sayang. Akan tetapi aku pernah mendengar ayahku berkata bahwa kehidupan di dunia ini tidak ada yang abadi. Ada pertemuan dan hidup bersama, pasti akan di susul dengan perpisahan karena itu jangan ada kemelekatan karena kemelekatan itulah yang mendatangkan rasa sakit kalau harus berpisah”.
Mendengar ucapan gadis itu, Siauw Beng tersenyum. Lucu rasanya mendengar gadis ugal-ugalan itu mengucapkan kata-kata yang biasanya di ucapkan seorang pendeta atau setidaknya seorang guru yang sudah tua. Diapun pernah mendengar ucapan itu dari mendiang Pek In San-jin.
“Akan tetapi, Ai Yin. Segala macam pelajaran seperti itu amat mudah di dengar dan dimengerti, akan tetapi untuk melaksanakannya, teramat sukar. Manusia manakah yang mampu membebaskan diri dari kemelekatan? Seluruh anggota tubuh kita ini, berikut hati akal pikiran kita, dapat mendatangkan kesenangan dan justru kesenangan itulah yang melahirkan kemelekatan”. “Tepat sekali, Siauw Beng. Memang kesenangan itulah yang menyebabkan adanya kemelekatan, dan tidak mungkin manusia selagi hidup di dunia ini menghindarkan diri dan menolak segala hal yang mendatangkan kesenangan. Pelajaran itu hanya boleh di ajarkan kepada orang yang tidak suka hidup lagi atau orang yang hendak mengasingkan dirinya dari dunia ramai untuk menjadi pertapa atau pendeta, tidak hidup sebagai manusia biasa. Aku pun sudah membantah hal ini kepada ayahku, akan tetapi dia hanya menertawakan aku saja”.
Siauw Beng mengerutkan alisnya mendengar ucapan gadis itu. Kiranya gadis itu belum mengerti benar akan pelajaran yang mendalam tentang kehidupan dan kebijaksanaan yang tadi di tiru dari ayahnya hanya di kenal kulitnya saja tanpa mengenal benar artinya atau isinya.
“Ai Yin, ayahmu benar sekali dan engkau perlu mengetahui bahwa apa yang dimaksudkan dengan semua ajaran tentang kebajikan dan kehidupan. Segala macam tentang hidup itu tentu saja tidak mungkin di taati secara sempurna karena hal itu tidak mungkin bagi manusia selagi dia masih hidup di dunia ini.
Akan tetapi pelajaran itu sedikitnya membuat kita mengerti akan sebab akbibat, mengerti pula dengan jelas apa yang baik dan apa yang buruk, apa yang patut kita lakukan dan apa yang semestinya tidak kita lakukan. Pengertian ini yang membedakan kita dari mahluk lain, membedakan kita dari binatang. Kita mengerti bahwa duka akibat perpisahan itu timbul karena adanya kemelekatan yang lahir pula dari kesenangan. Akan tetapi untuk kesenangan dalam kehidupan kita adalah tidak mungkin selama kita masih ingin hidup lumrah sebagaimana manusia biasa. Akan tetapi, pengertian tentang timbulnya duka karena kesenangan itu sedikitnya membuat kita sadar sehingga tidak terlalu larut atau tidak sampai mabuk dalam kesenangan. Membuat kita waspada sehingga andaikata ada kemelekatan pun tidaklah terlalu kuat.”
Ai Yin tertawa. “he-he-he, aku melihat engkaupun sudah dapat tersenyum. Itu tandanya bahwa kedukaanmu karena harus berpisah dari orang yang kau kasihi itu tidaklah terlalu mendalam. Aku sendiri tidak mungkin bebas dari senang susah, gembira sedih, puas kecewa, cinta benci dan sebagainya karena aku masih hanyut oleh perasaanku dan aku belum mau menjadi pertapa atau pendeta!”.
Siauw Beng tersenyum. Senang hatinya bicara dengan gadis ini yang ternyata selain lihai ilmu silatnya, pemberani, gagah, cerdik dan di tambah lagi jujur mengakui kelemahannya dan agaknya dapat mengerti percakapan mengenai kehidupan.
“Hemmm, biar seorang pertapa atau pendeta sekalipun selagi masih hidup mereka tidak mungkin terbebas sama sekali dari kesenangan. Mata mereka masih suka memandang apa yang menyenangkan, juga telinga mereka suka mendengarkan suara yang menyenangkan, hidung mereka suka mencium bau yang menyenangkan dan segala anggota tubuh mereka suka akan sesuatu yang menyenangkan. Ini sudah merupakan sesuatu yang alami, yang terbawa sejak lahir. Biarpun mereka itu sudah lebih kuat dari orang biasa yang mengalami kesenangan tanpa kesan mendalam, namun tetap saja mereka masih dapat terpengaruh segala yang menyenangkan. Bahkan tujuan dan harapan mereka juga ingin mencapai hasil yang menyenangkan bagi mereka, walaupun hasil itu tidak sama dengan kesenangan lahir bagi manusia biasa”.
“Akan tetapi, Siauw Beng, aku menjadi bingung. Bukan kah para pertapa dan pendeta itu sudah tidak lagi memperdulikan kesenangan duniawi dan hanya mengharapkan surga atau nirwana atau yang di sebut mencapai dan bersatu kembali dengan Sang Sumber atau Thian (Tuhan)?”.