Si Angin Puyuh Si Tangan Kilat Chapter 63

NIC

Cin Hou-siau seorang kawakan kangouw yang berpengalaman, timbul rasa curiganya, pikirnya, "Dia menawan puteraku sebagai sandera, sebetulnya bisa tinggal merat dengan leluasa, kenapa dia harus mengobral mulutnya sekian lamanya, apakah masih punya muslihat lainnya?"

Belum lagi rasa curiganya lenyap, benar juga terdengar Jin-hou-khek bergelak tawa, ujarnya, "Puteramu ini kau takkan mampu merebutnya kembali, lekas kau pulang saja melindungi keluargamu."

Belum lenyap suaranya, terdengar suara ledakan dahsyat dari kejauhan, dari arah suaranya terang adalah kampung dimana keluarga Cin dan Ling menetap, suara ledakan keras itu menggema panjang dan lama dialam pegunungan. Sudah tentu kaget Cin Hou-siau bukan main, sekali melejit ia lompat naik keatas batu cadas yang besar, dari ketinggian ini tampak jauh dibawah sana si-jago merah sedang berkobar dengan hebatnya, arahnya memang tepat diujung kampung dimana tempat tinggal keluarga Ling berada.

Sebetulnya Lu Tang-wan dan Sip It-sian hendak mengejar kearah Jing hou-khek, namun melihat keadaan yang gawat dibawah sana, sesaat mereka terlongong di tempatnya.

Kata Cin Hou-siau, "Bocah durhaka itu kelak akan menerima ganjarannya yang setimpal, biarkan dia pergi! Jangan sampai kita kena pancing meninggalkan rumah!"

Lu Tang-wan juga berpikir, Cin Liong-hwi sudah terjatuh ketangan orang, kecuali tanpa memperdulikan jiwanya, kalau tidak seumpama berhasil menyandak juga tidak berguna lagi, terpaksa ia menurut kata-kata Cin Hou-siau cepat cepat memburu pulang kerumah keluarga Ling.

Rumah keluarga Ling ini dibangun menyendiri diujung kampung, penghuni kampung ini hanya beberapa puluh keluarga saja, untung jarak rumah ini rada jauh dari rumah yang lain, mungkin juga karena orang-orang pedesaan bernyali kecil, ditengah malam buta rata lagi, mendadak mendengar ledakan begitu dahsyat, mereka menjadi ketakutan dan tidak berani keluar lagi.

Waktu Cin Hou-siau berlari pulang, si jago merah sudah hampir padam, namun rumah kediaman keluarga Ling itu tinggal puing puingnya saja. Tampak dalam halaman rumah didepan puing puing itu malang-melintang beberapa mayat manusia yang hangus terbakar, jumlahnya tidak kurang puluhan banyaknya.

Keruan kaget dan kebat-kebit jantung ketiga orang, baru saja Cin Hou siau hendak memeriksa mayat-mayat itu, apakah Ling Hou ada diantara mereka, tiba-tiba terdengar sebuah suara yang sangat dikenalnya berkata, "Apakah keponakan sudah ketemu ?" dari ujung gelap sebelah sana berjalan keluar satu orang, dia tak lain bukan Ling Hou adanya.

Kejut dan girang pula hati Cin Hou siau katanya, "Ling-toako. Kau tidak kurang suatu apa bukan, jangan pedulikan bocah keparat itu. Siapakah mayat-mayat ini?"

"Mereka mampus kena peledak yang kusembunyikan," Ling Hou menjelaskan. "Tak lama setelah kalian pergi rombongan penjahat ini lantas meluruk datang! tiada cara lain terpaksa kukorbankan rumah tuaku ini."

Sip It sian tertawa, katanya, "Ling toako sebagai ahli pembuat peledak, golok kerbau dibuat menggorok leher tikus, ternyata memang hasilnya hebat. Jiwa puluhan penjahat ini untuk menebus sebuah rumahmu, hitung dagang ini cukup setimpal dan berharga."

Kiranya dibawah rumah kediaman Ling Hou ini ada dibangun sebuah kamar rahasia dibawah tanah, biasanya untuk menyimpan perbekalan. Waktu rombongan penjahat menggedor pintu dan menyerbu masuk, segera Ling Hou menyulut peledak di empat penjuru rumahnya dan sekaligus disumat sumbunya lalu sembunyi di kamar rahasia dibawah tanah itu. Tepat pada waktu para penjahat itu menyerbu masuk, meledaklah dinamit yang dipendamnya itu.

"Memang cukup menyenangkan," ujar Ling Hou tertawa getir, "Tapi harus merembet pada Cin toako selanjutnya tidak bisa menetap dikampung ini."

"Kami sebagai sahabat tua selama puluhan tahun, kenapa kau bicara begitu," kata Cin Hou siau, "Tapi aku menjadi heran malah kita sembunyi di kampung ini belum tentu para pejabat kerajaan Kim mengetahui bahwa kita keturunan dari pahlawan gagah gunung Liang san, bila tahu mungkin sejak lama mereka menggebrak kemari. Entah bagaimana asal usul rombongan penjahat ini?"

"Didengar dari pada perkataan Jing hou khek tadi, rombongan penjahat ini terang hendak meluruk kepada aku," dilahirnya Lu Tang wan bicara namun dalam batin ia berpikir, "Entah aku yang merembet mereka, atau mereka yang merembet aku, ai, begitu aku datang kerumah keluarga Ling serentetan lantas terjadi peristiwa diluar dugaan ini, mungkin tempat kediamanku di Ciatkang timur itu juga tidak bisa tentram dan aman lagi."

Kata Cin Hou-siau; "Tak peduli siapa tujuan mereka pendek kata tempat ini sudah tidak bisa untuk menetap lagi. Begitu pun baik memang besok kita harus berangkat menolong Tiat-wi meninggalkan istriku seorang untuk jaga rumah akupun kurang lega lebih baik kita semua meninggalkan kampung."

"Sebetulnya bagaimana keadaan keponakan Liong-hwi?" tanya Ling Hou. "Kenapa begitu bertemu muka dengan aku lantas aku dimakinya?"

"Jangan singgung bocah keparat itu lagi," ujar Cin Hou-siau sedih, "kalau dikatakan cukup menjengkelkan, besok diperjalanan pelan-pelan kujelaskan kepada kau."

Tengah bicara, tampak istri Cin Hou-siau dengan seorang muridnya memburu tiba, murid murid kampungan, hubungannya dengan keluarga gurunya juga paling kental, maka begitu melihat rumah kediaman Ling Hou terbakar, cepat ia menemui kepada sang Subo lalu cepat menyusul kemari.

Begitu tiba Cin hujin lantas bertanya, "Apakah anak Liong sudah kemari, kenapa tidak terlihat?"

Supaya tidak membikin sang istri sedih, Cin Hou siau membuat alasan, katanya, "Sudah kusuruh meninggalkan tempat ini lebih dulu. Kau tak usah banyak tanya, jejak kita sudah konangan musuh, rombongan penjahat ini sudah datang, tentu akan datang pula rombongan yang lain. Lekas kau bebenah dan tinggalkan tempat ini."

"Begitupun baik aku bisa pulang kerumah keluargaku.'' begitulah kata Cin hujin. Rumah sanak kadangnya berada diperkampungan yang lebih pedalaman, kira-kira berjarak tiga ratusan Ii, murid terbesar itu lantas mengajukan untuk mengantar pemberangkatan Subonya. Cin Hou-siau tahu martabat muridnya yang bisa diandalkan, segera ia memberi pesan seperlunya. Saat itu juga suami istri lantas berpisah.

Dalam perjalanan itu Ling Hou berkata, "Lu-toako, kesehatanmu belum sembuh seluruhnya, lebih baik kau langsung pulang dulu, kalau beruntung kami dapat menolong Tiat-wi langsung kami akan berkunjung kerumahmu." Kalau Ling Hou tidak uraikan kata-katanya ini, memang Lu Tang wan ingin pulang dan sudah kangen akan istri dan putrinya. Serta mendengar perkataan Ling Hou ini, dia menjadi sungkan jika tidak berjuang bersama, segera ia menyahut, "Ling-toako, ucapanmu ini kurang pada tempatnya. Jangan kata putramu itu pernah menanam budi terhadap aku, ilmu silat yang kumiliki ini juga mengandalkan bantuan Cin toako dan perawatanmu yang tekun sehingga dipulihkan, sekarang putramu menghadapi kesukaran, mana aku boleh berpeluk tangan sebagai penonton saja?"

Dasar Ling Hou seorang polos dan jujur, mendengar kata kata orang ia menjadi haru, katanya: "Lu toako, begitu baik kau terhadap Tiat-wi, semoga dia bisa lolos dengan selamat. Kelak tentu akan kuminta dia membalas kebaikanmu itu."

Sip It-sian tertawa, timbrungnya, "Bila keponakan Tiat-wi menjadi mantu Lu-toako sudah terhitung setengah putranya sendiri, balasan ini jauh lebih baik dari balasan segalanya."

Memang kesanalah juntrungan kata kata Ling Hou tadi, katanya lagi sembari tertawa, "Sekarang masih pagi untuk membicarakan itu, biarlah setelah anakku itu lolos dari bahaya baru dibicarakan lagi."

Diam diam Lu Tang wan mengeluh dan menyesal dalam hati, dengan tertawa dibuat-buat ia mengiakan saja tanpa memperpanjang percakapan.

Ling Hou menyinggung pertanyaan yang lama, katanya terhadap Cin Hou-siau, "Cin toako, selamanya belum pernah kudengar kau bicara bohong, mungkin baru pertama kali ini kau ngapusi enso (istri Cin Hou-siau)."

Cin Hou-siau tertawa kecut, ujarnya, "Mana aku berani memberitahu urusan bocah keparat itu kepadanya, apa boleh buat terpaksa aku sekali ini bohongi dia."

"Sebetulnya apakah yang telah terjadi? Sekarang boleh kau jelaskan bukan?" desak Ling Hou.

Setelah mendengar cerita Cin Hou-siau, Ling Hou menjadi heran dan was-was, katanya, "Keponakan terlalu mengagulkan kepintarannya sehingga kena ditipu oleh gembong iblis itu. Tapi hanya karena sedikit kecerobohannya saja, kau belum sampai melakukan tindakan yang tercela. Saudara Cin kaupun tidak perlu salahkan dia. Kau harus cari dan seret dia bawa pulang."

"Sekarang baru kecerobohan kecil, kelak dia akan melakukan kesalahan besar. Bicara terus terus aku sudah kecewa dan putus asa membimbingnya, ketemu atau tidak aku tidak ambil perhatian lagi," begitulah ujar Cin Hou-siau murung. Kiranya bukan karena anaknya bohong saja, sehingga Cin Hou siau merasa sedih, yang utama adalah dibawah tekanan Jing hou khek itu dihadapannya dia masih begitu tunduk dan rela menyerah tanpa mau melawan sedikitpun, malah membujuk dirinya supaya tidak bertengkar dengan gurunya, sifatnya yang pengecut ini sungguh berbeda sangat jauh antara bumi dan langit dibanding watak Hong thian lui yang jantan dan perwira itu.

O^~^~^O

Dikempit dibawah ketiak Jing-hou-khek Cin Liong hwi dibawa lari pesat, angin menderu dipinggir kupingnya seperti naik awan mengambang saja rasanya, sungguh hatinya bingung dan gelisah. Entah berapa lama dan berapa jauh sudah Jing hou-khek tiba tiba menurunkan dirinya.

Setelah itu berdiri tegak, dengan muka yang welas asih Jing hou khek menepuk pundaknya, ujarnya, "Liong-hwi membuat kau kaget saja? Apa kau salahkan gurumu?"

"Mana Tecu berani salahkan Suhu," cepat Cin Liong hwi menjura.

"Tindakanku ini demi kebaikanmu juga, rahasia kita sudah konangan oleh ayahmu, selanjutnya pasti dia akan melarang kau berlatih Lwekang perguruanku, bila kau tidak kuseret keluar, bukankah menyia-nyiakan bakatmu ?"

"Tecu paham akan jerih payah Suhu," kata Cin Liong-hwi, jantungnya masih mendebur keras, meski ia mengiakan menurut nada perkataan Jing hou-khek, tapi jelas kelihatan rada terpaksa.

Jing hou khek tertawa loroh loroh, serunya, "Bagus, untuk selanjutnya kita guru dan murid akan lebih leluasa bicara. Aku ingin kau bicara terus terang sesuai dengan isi hatimu, jangan kau kelabui aku. Kali ini aku buat kalian ayah beranak berpisah, apakah kau sendiri tidak merasa kuatir ?"

"Ya, aku kuatir ayah bakal tidak memberi ampun pada aku !"

"Baik, kau mau bicara terus terang, aku senang. Kesukaranmu pasti aku akan bantu membereskan."

Sampai disini Jing-hou khek lantas menepekur seperti berpikir pikir apa, kira-kira sesulutan batang hio baru ia berkata pelan, "Keadaan ayahmu selanjutnya kau tidak perlu kuatir, kelak setelah pelajaran tamat, berhasil angkat nama dan menjunjung tinggi gengsi perguruan, dan lagi tidak mengalami bahaya seperti yang diduganya itu, pasti dia akan maklum akan kesalahan pendapatnya, pasti kau akan dimaafkan. Yang kukuatirkan padamu hanyalah soal lainnya !"

Mendengar uraian orang cukup beralasan Cin Liong hwi jadi berpikir : "Memang urusan sudah terlanjur sedemikian jauh, terpaksa aku harus selesaikan latihanku dulu, nanti bila benar sudah ternama baru pikirkan tindakan selanjutnya." tapi serta mendengar kata kata terakhir Jing-hou khek serta merta hatinya dirundung kekuatiran pula, cepat ia bertanya, "Apa yang Suhu kuatirkan?"

Kata Jing-hou khek, "Lu Tang-wan dengan ayahmu dan Ling Hou merupakan sahabat lama, aku pernah melukai dia, dan kau sekarang adalah muridku, adanya hubungan ini, apalagi ayahmu seorang yang memberati sahabat dan paling menjunjung tinggi gengsi pribadi, mungkin karena alasannya ini ia tidak mau lagi mengakui kau sebagai putranya.''

Dingin perasaan Cin Liong-hwi, katanya, "Lalu cara bagaimana baiknya?''

Posting Komentar